Pengelolaan Risiko Bencana menurut Bupati Lutra Indah Putri Indriani

  • Whatsapp
Bupati Luwu Utara, (kedua dari kiri atas) saat menjadi penanggap pada diskusi refleksi pengursangan risiko bencana berbasis komunitas, Selasa, 9/9/2021

DPRD Makassar

Apa itu manajemen risiko bencana? Apa yang mesti disiapkan? Teori kebencanaan menyebutkan, ada tiga aspeknya yaitu pencegahan bencana, mitigasi dan kesiapsiagaan bencana. Lalu seperti apa dimensi pengelolaan ini di mata Bupati Luwu Utara, Indah Putri Indriani yang beberapa waktu daerahnya dilanda banjir bandang itu?

PELAKITA.ID – Meski mengaku sedang dalam perjalanan keluar Kota Masamba, Bupati Luwu Utara, Indah Putri Indriani menyempatkan diri berbagi perspektif pada acara virtual meeting Refleksi Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis Komunitas bertema “Merajut Kerja sama Pemerintah dan Masyarakat dalam PRBBK pada Masa Pandemi di Sulselbar” Rabu, 8 September 2021

Read More

“Mohon maaf, saya dari perjalanan ke luar daerah, maaf kalau suara saya kurang jelas,” katanya memulai pandangannya.

Bagi Indah, acara tersebut sangat penting sebab beberapa narasumber seperti Baso Gandangsura, S.H, Kades Boneloemo di Luwu, Baharuddin, warga kelurahan sekitar Danau Tempe hingga Shafar Malolo, difabel di Mamuju telah bercerita praktik inspiratif terkait kearifan lokal sebagai respon atas urgensi pengelolaan risiko bencana.

Indah yang baru saja didapuk sebagai Ketua DPD Golkar Lutra ini juga memberi apresiasi untuk narasumber Musdalifah yang bercerita tentang perlunya sosialisasi dokumen pengurangan risiko bencana ke daerah-daerah.

“Bukan hanya dokumennya tetapi bagaimana tindak lanjutnya dilaksanakan, dalam rangka meningkatkan kesadaran dan kapasitas masyarakat,” ujarnya.

Penekanan Indah

Menurut Indah Putri Indriani, pengurangan risiko bencana berbasis komunitas berarti bicara serangkaian upaya mengurangi risiko bencana, penyadaran, peningikatan kemampuan dalam menghadapi bencana, atau upaya fisik dan non-fisik, oleh masyarakat secara aktif dan partisipatif.

Lalu yang kedua adalah perlunya partisipasi aktif semua kalangan untuk ikut andil di dalamnya.

“Jika semua kepala desa seperti Pak Baso di Bonelemo Luwu, maka akan sangat membantu pemerintah daerah dalam upaya mitigasi bencana, akan sangat membantu,” katanya.

Menurut Indah, Pak Baso telah menjelaskan secara fasih tentang upaya yang dilakukannya.

“Pengenalan terdapat sumberdaya desanya, potensi bencana, dan antisipasi kalau terjadi bencana, terkait mitigasi, baik struktural maupun non-sturktural,” ucapnya.

“Kalau semua kepala desa memahami peran aktif masyarakat, dalam meminimalkan risiko bencana maka tujuan pemerintahan dalam upaya mitigasi risiko dapat diminimalkan, bisa zero victim,” tanggapnya.

Dia juga menjelaskan bahwa terkait mitigasi non-structural, dalam meningkatkan kesadaran masyarakat, kapasitas masyarakat dalam menghadapi ancaman bencana perlu adanya regiulasi penatanan ruang.

“Ini memang harus direviu berkala, contohnya, RTRW – rencana tata ruang wilayah, memang diharapkan sekali lima tahun atau ketika dianggap RTRW sudah tidak sesuai lalu dengan kondisi perkembangan yang ada,” katanya.

Demikian pula RDTR kecamatan-kecamatan. “Contohnya di Lutra, akibat banjir kemarin, Kota Masamba, seperti yang Prof Adi sebutkan bahwa 33 persen, RDTR di Masamba tidak lagi sesuai, nah tentu ini harus disosialisasikan kepada masyarakat,” katanya.

“Termasuk zonasi, ancaman bencana, yang mana zona merah, kuning, hiiau sehingga sejak awal mereka sudah mengenali lokasinya. Dimana lokasi bencana, dan potensi seperti apa,” tambahnya.

Poin yang juga ditekankan Indah adalah perlunya sosialisasi kebencanaan. “Sosisalisasi nggak masif, bahkan dokumen tidak dimiliki oleh pemerintah daerah, salah satu lokasi yang yang disebut berpotensi besar bencana adalah Luwu Utara tetapi dokumen tidak tersosialisasikan dengan baik,” ujarnya.

“Tentu kita tidak bisa hanya berharap pemerintah atau Pemda, kenapa tidak dimasifkan saja melalui media social untuk perluasan informasi, informasi tentang kebencanaan adalah hak warga sesuai UU 14/2008,” tegasnya.

Bupati Indah Putri Indriani (kanan atas) saat memberi paparan pada refleksi PRB Sulselbar (dok: istimewa)

Simulasi bencana

Lalu poin berikut yang ditekankan Indah adalah perlunya simulasi bencana.  “Simulasi ini penting untuk secara teratur dilakukan dilakukan, sehigga budaya sadar bencana dilakukan, seperti yang sudah dijelaskan di desa, di Wajo, dan Luwu, itu karena pertama  mereka mengenali lokasi dan melakukan mitigasi, sosialiisasi dan simulasi, akhirnya muncul yang namanya budaya, sadar bencana di keluarga,” terangnya.

Bagi Indah, dengan kondisi demikian warga bisa lebih mudah beradaptasi atas risiko hidup di daerah bencana.

“Mereka tidak ada persoalan lagi, pada lokasi bencana, bukan hanya itu tetapi diri, kapasitas sudah siap kalau bencana itu terjadi,” katanya.

Menurut satu-satunya Bupati perempuan di Sulawesi Selatan saat ini, hal itu yang kini terus didorong secara terus menerus di Luwu Utara.

“Kita sampaikan pada level paling kecil, bukan hanya pada tingkat desa tetapi keluarga dan kalau setiap keluarga punya kesadaran, mempunyai kapasitas, saya yakin akan tumbuh budaya ini,” ucapnya.

Hal serupa, kata Indah, juga berlaku untuk kelompok-kelompok difabel, kelompok perempuan.

“Setelah bencana, kelompok inilah yang paling merasakan kelompok rentan, kelompok perempuan, anak-anak, difabel,” tambahnya.

“Oleh karena itu kesiapan menjadi sangat penting, menyiapkaan masyarakat dan semua kelompok, ini pembelajaran kami di Luwu Utara, salah satu program pemerintah adalah Kampung Siaga, dan pula Desa Tanggap Bencana melalui program ini diharapkan masyarakat memiliki kesadaran atas ancaman bencana,” jelasnya.

“Bencana tidak bisa kita hindari tetapi risiko dapat kita miminalkan,” pungkasnya.

 

Penulis: K. Azis

Related posts