Shafar Malolo, cerita difabel Mamuju menghadapi bencana

  • Whatsapp
Shafar Malolo bersama koleganya dari Gema Difabel Mamuju (dok: istimewa)

DPRD Makassar

PELAKITA.ID – Shafar Malolo, Ketua Gerakan Mandiri (Gema) Difabel Mamuju, Sulawesi Barat berbagi pengalaman dan perspektif pada kegiatan Refleksi Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis Komunitas (PRBBK) Sulselbar bagian 1, Rabu, 8 September 2021.

Refleksi tersebut bertema Merajut Kerja sama Pemerintah dan Masyarakat dalam PRBBK pada Masa Pandemi di Sulselbar.

Read More

Acara tersebut digelar oleh aktivis dan organisasi pemerhati isu-isu kesiapsiagaan dan pengelolaan risiko bencana Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat dalam rangka persiapan pelaksanaan Konferensi Nasional Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis Komunitas (KNPRBBK) XIV Tahun 2021.

Konferensi tersebut bertema PRBBK sebagai Strategi Percepatan Penanggulangan Bencana dan Percepatan Pandemi COVID-19 di Indonesia.

“Kami merasa sangat ketakutan. Di tengah guncangan hebat orang-orang berlarian keluar rumah atau gedung, kami difabel hanya memilih menunduk di bawah meja atau benda apa saja yang dapat kami jangkau,” kenangnya di depan peserta virtual meeting yang diikuti tidak kurang 70 peserta ini.

Shafar hadir bersama beberapa narasumber seperti Musdalifah (Ketua BEK SPAM Makassar), Baharuddin, warga dusun yang bermukim sekitar Danau Tempe, Kepala Desa Baso, SH, dari Desa Bonelemo Luwu.

Selain itu terdapat pula beberapa penanggap. Yaitu anggota DPRD Sulawesi Selatan dari Partai Demokrat, Andi Januar Jaury Dharwis, Bupati Luwu Utara, Indah Putri Indriani serta Guru Besar Kebencanaan Unhas Prof Adi Maulana dari Fakultas Teknik Unhas.

Acara dipandu oleh Ardadi S.Farm, M.Kes dari Biro Kesra Pemprov Sulsel.

Shafar melanjutkan ceritanya. “Lalu kita melihat rumah atau gedung rubuh, kami tak yakin bisa selamat. Kami hanya bisa pasrah menunggu gempa reda dan kami keluar ruangan lalu mengungsi ke tempat tinggi,” tambah pria yang mengaku online dari Pulau Karampuang, Mamuju saat berbagi cerita ini, Selasa, 8/9/2021.

Shafar juga bercerita tentang apa yang disebutnya konsolidasi setelah bencana, adalah bagaimana dia berinisiatif untuk menyiapkan diri merespon pasca bencana gempa Mamuju saat itu.

Dia mernyebut bahwa setelah dua hari di pengungsian, dia memutuskan kembali ke sekretariat.

“Saat itu posko bantuan pemerintah mulai berdiri, namun tidak ada akses, kami tak bisa ikut berdesakan dan saling dorong. Saya bersama istri dan beberapa teman segera membuka posko,” ucap pria yang saat ini menggunakan kruk atau tongkat ini.

Setelah itu, lanjut Shafar, tim relawan kemanusiaan inklusi (TRK Unklusi) melalui koordinasi dengan organisasi Perdik Sulsel dan Pokja Opdis di Sulawesi Tengah hadir memberi dukungan.

“Kami membuka posko dan mulai menghimpun bantuan dari berbagai jaringan organisasi Gema Difabel untuk kami salurkan ke penyintas difabel. kami melakukan asesmen internal, asesmen kami kemudian didukung YEU (Fokus Kelompok Rentan) dan ASB (Kaji Cepat di Sektor Wash,” tambahnya.

“Dalam membantu masyarakat di pengungsian dengan memberi layanan air bersih, kami tidak hanya membantu difabel dan kelompok berisiko tinggi lainnya, tapi semua orang yang membutuhkan,” jelasnya.

Terkait sistem pendukung yang membuat difabel bisa merespon, menurut Shafar, pihaknya bisa belajar dari pengalaman di Palu, Sulawesi Tengah dan ditambah sebagai penyintas dan sekaligus merespon bencana:

“Selain dukungan dari Mitra NGO, juga dukungan dari sesama OPD dengan membangun Jaringan dan Kini telah terbentuk Tim Relawan Kemanusiaan (TRK) Inklusi,” katanya.

Lalu apa tantangannya selama merespon dan bagaimana mengatasinya?

“Mobilitas terhambat saat di lapangan baik saat mendata maupun merespon berdasar hasil asesmen. Kami mengatasinya dengan bekerja inklusi—bersinergi dengan relawan non-difabel. Inklusi membuat kami bisa saling melengkapi,” jelasnya.

Shafar memberikan beberapa rekomendasi terkait ;posisi difabel ke depan untuk BNPB dan BPBD serta pihak terkait.

“Pertama, pemerintah Kota Mamuju membangun kembali dengan mengedepankan prinsip desain universal, kedua, meningkatkan pelayanan kesehatan dengan memasukkan alat bantu difabel menjadi tanggungan BPJS,” ucapnya.

“Ketiga, mengadakan pelatihan PRB inklusif serta memberi ruang partisipasi difabel dan stakeholder kebencanaan berkolaborasi dengan organisasi difabel ,” pungkasnya.  (KAZ)

 

 

Related posts