Aisyah Daeng Baji, tradisi dan inspirasi dari tahun 80-an

  • Whatsapp
Anak cucu Aisyah Daeng Baji (dok: istimewa)

DPRD Makassar

PELAKITA.ID – Akhir tahun 70-an, saat masih SD, kami selalu bermain di batang sungai Tambakola yang keruh. Setiap pulang pasti wajah kami merah dan bau lumpur. Orang tua kami sebenarnya sangat tidak menyukainya. Kebiasaan yang selalu mereka awasi.

Aturan tetapnya, saat pulang sekolah, segeralah tidur siang jangan pergi mandi di sungai. Tidak boleh tidak. Entah itu di rumah atau di rumah nenek. Ibu biasa datang mengecek.Nenek sangat mengerti setiap pulang mandi di sungai, saya selalu kembali ke tempat tidur dengan mata memerah.

Sore, saat ibu datang, saya sudah punya jawaban, “lebba’ma attinro!” Sudah tidur!

Rumah saya di depan dan rumah nenek di belakang. kami dipisahkan oleh jalan kecil.

Saban pagi, saya selalu menemani nenek membuat putu cangkiri. Bersama anggota keluarga lain kami bercengkerama dan sesekali minta jatah gratis dari nenek. Wanita ini sangat luar biasa produktifnya. Beliau ahli menenun sarung sutra (lipa’ sabbe). Saya masih terkenang peralatan tenunannya.

Di kolong rumah panggung nenek, tergantung benang sutra dan sarung hasil tenunannya yang sedang dianginkan.

Saat siang hari, irama alat tenun menghentak dan memecah keheningan kampung. Kami yang masih kanak-kanak menikmatinya dengan gairah.

Nenek sesungguhnya pekerja aktif, juga ahli membuat kue. Bannang-bannang, baruasa, apam paranggi, se’ro-se’ro. Kue khas Makassar ini juga kerap menemani kakek menghabiskan kopi bikinan nenek.

Nenek memang ahlinya. Paling senang menemaninya saat menyiapkan biji kopi yang dibelinya di Pasar Galesong.

“Kopi disangrai, dicampur dengan daging kelapa tua, disangrai lagi dan aroma kopi merebak ke kepenjuru kampung. Dia menumbuknya dengan “assung” buatan kakek. Tuk Tak Tuk Tak!”

Nenek sangat perhatian. Setiap pagi, kalau bukan pisang goreng atau kue apam kerap menemani kakek plus secangkir kopi pekat.

Di rumah, ada penggilingan jagung kecil. Tepatnya pemecah jagung, pala dan biji-bijian.penggilingan yang biasa digunakan menghaluskan bahan kue. Nenek kerap membuatkan kami bassang, penganan dari jagung dan roko-roko unti. Dia memang ahlinya.

Eh, kerap kali pula, kue apam itu dibuat dari campuran tuak yang sudah difermentasi dengan ragi.
Satu hal yang selalu terkenang darinya adalah setiap ada undangan pesta perkawinan (pabbuntingang atau paggauk-gaukang) saya selalu dibawanya.

Nenek kuat berjalan kaki. Saya mengekor.

***

Akhir tahun 70-an, saya selalu menemaninya bahkan berjalan kaki sejauh 3 kilo. Saya memang dekat memang nenek. Setiap pulang dari acara itu, tak luput dibungkuskannya kue-kue untukku. Kerap pula, dia sibuk bercengkerama dengan tuan rumah, saya hanya mengais tanah atau bermain pasir.

Aisyah Daeng Baji, hampir semua cucunya selalu cemburu. Dia memperlakukanku begitu istimewa. Saya memang dirawat dan dijaganya. Darinya, pembelajaran tentang kesederhanaan begitu rupa. Aisyah Dg Baji anak sulung dari Daeng Nangga’.

Wanita ini sangat pengertian walau juga tegas, pada suaminya yang nelayan – pelaut yang kerap bermain-main dengan “ballo ase”. Tapi kakek lelaki yang sopan. Jika dia “on” pekerjaannya adalah tidur. Tidak akan pernah melawan jika dijewer telinganya oleh nenek.

Aisyah Dg Baji, kerap membawaku ke Pantai Bayowa, bermain pasir, akkare’ karena dengan anak-anak nelayan. Pantai masih lebar dan panjang ke barat, tempat kami bermain.

Mengenang Aisyah Daeng Baji berarti mengenang saat saya duduk di pahanya. Lalu, berbaring memandang Kota Makassar dari kejauhan saat kami dibawa kakek menuju Pulau Lae-Lae dengan perahu balolang layar tanpa mesin.

Kami berkunjung ke saudaranya di sana, Daeng Rangka’. Angin senja memandu kami menuju utara, menikmati perjalanan dan sesekali menyaksikan rembulan yang masih malu-malu muncul.

Mengenang Aisyah Daeng Baji, berarti mengenang betapa baik hatinya, nenekku itu. Tidak pernah terdengar cekcok dengan tetangga, sabar saat tidak punya dan punya cara jitu, memuaskan kami.

Saat beras tidak cukup untuk kami cucu-cucunya, sesekali dicampurnya beras dengan jagung dan kacang hijau.

Ah, saya menyukai saat berbaring di sampingnya. Dia mengusap kepala dan sesekali menarik batang rambutku dengan perlahan. Ya, perlahan. Menggerak-gerakkan jemarinya di kepala dan meninabobokan di paladang (teras rumah panggung).

***

Wanita tak biasa ini memang mengagumkan. Bahkan saat kuliahpun, niatnya begitu tulus. Pernah suatu ketika, di masukkannya ikan bete-bete kering, ke dalam kantong plastik dan berkata, bawalah ke Tamalanrea.

Saya tidak menampiknya walau baunya minta ampun.Dari Galesong hingga Tello, paket itu masih setia menemani. Walau bau ikan kering itu, begitu mencekik indera pencium. Saya harus bawa ikan ini.

Saat turun di pintu satu Unhas, sang sopir dengan muka “terlipat” bilang, “coba saya tahu, kau bawa ikan bau, saya nda kasih naikki”.

Saya sedih mendengarnya, tapi kemudian tersenyum setelah membayangkan sikap tulus pemberian nenek. Setahu saya, nenek Baji bersaudara enam orang. Seorang saudaranya telah berpulang lebih dulu. Nenek Baji kakak tertua.

Saudaranya yang lain adalah Daeng Te’ne, Daeng Rampu, Daeng Ngasseng, Daeng Ngasi, Daeng Ella. Saya tidak ingat persis, tanggal meninggal saudaranya yang lain. Seingatku, nenek Te’ne, Rampu dan I Asseng meninggalnya hampir bersamaan.

Lalu diikuti oleh Daeng Ngasseng belasan tahun kemudian. Usia mereka antara 70 hingga 80 tahun. Saat ini, yang masih tersisa adalah Daeng Ngella. Saudara lelaki dan adik bungsu nenek Baji.

Umurnya yang relatif panjang membuat saya yakin bahwa ini juga berkaitan dengan perilaku hidupnya yang sederhana.

Kebiasaannya melakukan perjalanan jauh dan malas dibonceng sepeda atau motor. Menyukai ikan dan terbiasa dengan masakan umbi-umbian. Umbi talas, ubi jalar kerap menjadi menu pagi kami.

Dari nenek Baji pulalah, sawah terakhir peninggalan leluhurnya masih bertahan sementara saudaranya yang lain telah melego miliknya. Nenek Baji, nenek yang taat membayar pajak sawahnya.

Dia selalu menyebut “teako kaluppai abbayara sima tanayya”. Jangan selalu lupa membayar pajak sawah kita, katanya pada anak-anaknya. Tidak jarang dia yang pergi mengurusnya.

“Tea’ laloko balukangi I Seko” Jangan sesekali menjual I Seko.

I Seko adalah sebutan pada sawahnya yang berjarak 5 kilo dari kediamaannya. Sawah peninggalan orang tuanya, Daeng Nagga yang menjadi haknya.

Saudaranya yang lain juga punya sawah sendiri walau banyak yang sudah berpindah tangan. Saya tidak pernah mengunjungi sawahnya karena selama ini sawah itu dibagihasilkan dengan warga di sekitar Kampung Pattinoang, Galesong.

Sawah itu pula yang selalu menjadi bahan godaan, bahan lelucon bagi anak-anaknya. “Kapan kita jual I Seko untuk kita bagi-bagi – untuk anak dan cucu?” Kata anaknya pada beberapa kesempatan. Tentu saja dia marah.

***

Sebelum rumahnya berubah seperti sekarang ini. Rumah kediamaan nenek adalah rumah panggung yang tidak begitu kokoh walau terlihat luas.

Di bagian depan ada teras (orang Makassar menyebutnya paladang), teras sebelah kiri berukuran 2 x 2, tempat Battu daeng Ngalli suaminya, mengaso dan menikmati kopi dan bercengkerama dengan cucu-cucunya jika datang.

Di teras sebelah kanan, paladang yang lebih luas dan memanjang kiri-kanan adalah tempat kami (anak dan cucunya) menikmati sarapan, bermain dan tidur siang. Lantainya adalah papan. Sebelumnya adalah jalinan bilah bambu.

Di ruang tamu sebelah kanan terdapat satu dipan, sedang di kiri adalah emapt kursi kecil. Agak ke kiri lagi adalah tempatnya menenun. Dulu, sekitar tahun 80-an. Pekerjaan yang kemudian tidak dilakoninya sejak akhir 80-an.

Saya kira, nenek adalah penenun sarung Makassar (non sutra) sedang anaknya Dahlia adalah penenun sutra walau belakangan juga sudah beralih menggunakan mesin jahit.

Di ruang depan terdapat dua tempat tidur (sebagaimana lazimnya rumah tempo dulu, di dekat ruang tamu tempat tidur memang “diperlihatkan” pada tamu. Di ruang dalam, ini adalah ruang istirahat nenek Baji. Saya selalu tidur di sini. Ruangan seukuran 4 x 3 meter.

Dengan jendela ukuran 30 meter x satu meter. Tidak ada pemisah atau penutup koridor dari ruang tamu dan melewati tempat tidurnya. Kita bisa menyaksikan nenek tidur di sana.

Agak ke dalam adalah ruang dapur yang bersambung dengan satu “anak kamar” tempat menempatkan tungku masak yang dilengkapi dengan tempat meletakkan kayu-bakar, sabut dan batok kelapa kering. Di ruang inilah kami, cucunya kerap menemaninya.

Saat anaknya yang bungsu sibuk menenun, kami bercengkerama dan menemani nenek di dapur.

Dapur bagi warga Makassar di sebut, “dasere” atau “paddaserang”. Umumnya dapat dibangun dengan menggunakan tiang bambu dan dengan lantai dari bilah bambu. Selain untuk memudahkan aliran asap dapur juga memberi kemudahan jika hendak membuang sisa-sisa lauk pauk.

Di kolong rumah, telah siap ayam dan kucing menunggu giliran.

Satu yang kami suka dari kebiasaan dahulu yang menjadi kebiasaan nenek adalah, menghangatkan badan seusai salat subuh.

Kami menyebutnya a’rimbu atau membakar api unggun. Kemudian tidak lama setelah itu, nenek sudah siap dengan hidangannya, biasanya antara pukul 7-8 pagi.

***

Nenek Baji, kerap memasak ikan pallu kacci, ikan kecil yang dimasak dengan campuran asam atau mangga. Kami menyebutnya, pallu kacci. Ikan-ikan kecil itu seperti bête-bete (kepe), layang dan mairo (teri).

Nenek sangat jarang membeli ikan karena setiap pagi selalu berkunjung ke anaknya di Bayowa yang suaminya nelayan. Ada dua orang anaknya yang bermukin di daerah pesisir Bayowa. Kami sering dibawanya ke sana.

Banyak anak-anaknya menyebut Daeng Baji sangat irit dan “pelit”. Tapi dia memang tidak pernah terlihat punya uang kecuali memiliki simpanan gabah dan keterampilan menenun dan berjualan kue-kue.

Kerajinan dan ketelatenannya, dan tentu saja, ketat mengeluarkan duit. Duit yang saya maksud adalah hasil penjualan gabah, walaupun belakangan ini tidak pernah menjadi “success storynya”. Beberapa tahun belakangan dia selalu menyimpan hasil panennya alias tidak menjualnya.

Nenek pintar menyimpan. Nenek kerap menjadi tempat kami meminta. Sesuatu yang hampir tidak pernah ditolaknya ketika saya meminta uangnya.

Jikapun tidak, pasti ada saja penggantinya, jika tidak ada uang, kuepun jadi. Pernah sekali, saya dibuat sembelit karena memakan kua “putu cangkiri” yang dibuatnya dan ternyata belum sepenuhnya matang, belum masak. Ini karena, saya terburu-buru meminta untuk saya bawa ke sekolah.

Kuburannya kini ada tidak jauh dari jembatan Tambakola atau sekitar 400 meter dari rumah kediamannya berdampingan dengan saudaranya Huda’ Daeng Ngasi.

Daeng Baji, catatan ini adalah doa untukmu. Semoga tenang dan ditemani cahaya kasih di sana. Saya merasakan kebanggaan teramat sangat saat membisikkan di telingamu, “angngu’rangijaki toh?”

“Syahadatjaki?”

Engkau tidak berkata-kata, tapi hanya satu anggukan manis…

Tamarunang, 17 Januari 2018

Related posts