Tanah, Tubuh, dan Takdir Bangsa

  • Whatsapp
Ilstrasi Pelakita.ID

Bangsa agraris seperti Indonesia sejatinya memiliki kebijaksanaan lama tentang hal ini. Nilai-nilai agraris yang diwariskan leluhur — kesabaran, kebersamaan, dan keseimbangan — adalah fondasi moral bangsa.

PELAKITA.ID – Asal kita dari tanah, diberi makan oleh tanah, dan kelak disambut kembali olehnya. Di sanalah takdir bangsa ini sesungguhnya berakar — di rahim bumi yang sabar.

Sebuah warisan kesadaran yang mengingatkan bahwa hidup sejatinya adalah perjanjian antara manusia dan bumi. “Jangan sakiti tanah, karena ia bukan sekadar benda; ia ibu.” Kalimat sederhana itu sesungguhnya mengandung filsafat yang dalam: bahwa manusia dan tanah bukan dua entitas yang terpisah, melainkan satu kesatuan eksistensial yang saling menopang.

Leluhur bangsa ini memahami tanah bukan sebagai sumber daya, melainkan sumber makna. Mereka menanam dengan ritual, memanen dengan syukur, dan menjaga kesuburan dengan doa. Menyentuh tanah berarti menyentuh kehidupan.

Bagi mereka, menanam bukan sekadar kegiatan pertanian, tetapi tindakan spiritual. Dalam setiap benih yang disemai, terselip pengakuan bahwa kehidupan tidak pernah berdiri sendiri. Itulah sebabnya tanah dianggap suci — tempat di mana tubuh manusia berpadu dengan roh alam.

Namun, dalam arus modernitas, hubungan itu mulai retak. Tanah kini lebih sering dipandang sebagai komoditas yang bisa dibeli, dijual, dan dikuasai. Di banyak tempat, sawah dijadikan perumahan, ladang berubah menjadi pabrik. Orang-orang berpindah dari mencangkul ke menandatangani berkas, dari memelihara bumi ke mempercepat pembangunan.

Kita lupa bahwa ketika tanah kehilangan fungsi sosial dan spiritualnya, yang gersang bukan hanya lahan, tapi juga jiwa bangsa.

Krisis Lahan, Krisis Jiwa

Krisis lahan sejatinya adalah krisis kebudayaan. Ia menandai pergeseran dari hidup bersama tanah menjadi hidup di atas tanah.
Petani yang kehilangan sawah bukan sekadar kehilangan sumber penghasilan, tetapi kehilangan jati dirinya sebagai penjaga bumi.
Ketika tanah dikuasai oleh logika pasar, nilai kemanusiaan ikut tereduksi menjadi angka dan batas. Kita membangun kota-kota yang tinggi, tapi kehilangan akar yang menancap dalam.

Tanah yang dulu lembut kini menjadi keras bukan hanya karena kering, melainkan karena kehilangan sentuhan kasih. Hujan turun, tapi tidak menumbuhkan. Bumi bergetar, tapi bukan karena doa. Ia menjerit dalam diam — tanda bahwa hubungan antara manusia dan tanah telah rusak secara spiritual.

Dalam pandangan ekologis yang lebih luas, setiap krisis tanah adalah peringatan moral. Ia menunjukkan bahwa kita sedang memperlakukan ibu sebagai objek eksploitasi, bukan sebagai sumber kehidupan. Di titik ini, krisis ekologis berubah menjadi cermin dari krisis eksistensial bangsa.

Menanam Sejati

Menanam sejatinya adalah bentuk paling tua dari doa. Saat seseorang menanam, ia sedang mempercayakan hidupnya kepada waktu dan bumi. Ia belajar menunggu, bersyukur, dan menerima.

Dalam tindakan sederhana itu terkandung pelajaran tentang keberlanjutan, kesetiaan, dan kerendahan hati.

Menanam bukan hanya soal padi dan panen. Ia adalah cara manusia menulis masa depan dengan bahasa bumi.

Ketika tangan menyentuh tanah, saat itulah tubuh dan jiwa kembali berdialog dengan asalnya. Dan mungkin di sanalah letak kebahagiaan yang paling hakiki: ketika manusia sadar bahwa dirinya hanyalah bagian kecil dari sistem kehidupan yang jauh lebih besar.

Bangsa agraris seperti Indonesia sejatinya memiliki kebijaksanaan lama tentang hal ini. Nilai-nilai agraris yang diwariskan leluhur — kesabaran, kebersamaan, dan keseimbangan — adalah fondasi moral bangsa. Namun modernitas yang tergesa membuat kita kehilangan tempo hidup yang diatur oleh musim, oleh waktu menanam dan memanen. Kita kehilangan kesadaran bahwa menanam adalah juga mencipta peradaban.

Tanah Sebagai Cermin Diri

Kini, di tengah dunia yang serba digital dan instan, kita perlu kembali belajar kepada tanah. Ia diam, namun mengajarkan keseimbangan. Ia pasrah, namun mengandung kekuatan. Ia memberi tanpa meminta. Tanah bukan hanya dasar pijakan, tetapi juga guru kehidupan. Di sanalah tubuh kita disusun, jiwa kita diasah, dan takdir bangsa kita ditulis.

Bangsa yang menghormati tanahnya akan berdiri kokoh, karena ia tahu dari mana ia berasal. Tapi bangsa yang melupakan tanahnya akan goyah — karena kehilangan akar yang memberi makna pada setiap langkahnya.

Tanah, tubuh, dan takdir bangsa sejatinya satu kesatuan yang tak terpisahkan. Di dalam tanah, tubuh menemukan asal. Dari tubuh, lahir tindakan yang menumbuhkan. Dan dari tindakan itulah takdir bangsa ditentukan: apakah kita akan menjadi bangsa yang menanam kehidupan, atau bangsa yang membiarkan ibu pertiwi merintih.

Dan mungkin, di akhir semua ini, kita hanya perlu kembali pada satu kesadaran purba:
tanah bukan benda mati; ia ibu yang menyusui peradaban.

Ia hidup di setiap butir nasi, setiap helai daun, dan setiap doa yang dipanjatkan di ladang. Ia menunggu — bukan untuk dimiliki, melainkan untuk dicintai.