Mustamin Raga | Uang Koperasi

  • Whatsapp
Ilustrasi Mustamin Raga

Mereka punya slogan manis tentang keuangan inklusif, tapi cobalah tanyakan pada tukang bentor, tukang parkir, atau ibu warung di pojokan kampung: adakah mereka bisa meminjam sejuta saja tanpa jaminan? Tanpa surat, tanpa fotokopi tiga lembar, tanpa tanda tangan suami, tanpa saldo mengendap?

PELAKITA.ID – Entah siapa yang pertama kali memberi nama “uang koperasi”, tapi seolah-olah uang itu punya sayap dan hati. Ia datang cepat, menolong tanpa banyak bertanya, lalu pergi meninggalkan tanda tangan kecil di atas kuitansi berbunga tinggi.

Ah, uang koperasi—kadang tampak seperti malaikat penolong, namun dua atau tiga bulan kemudian, wajahnya berubah menjadi penagih yang tak kenal belas kasih.

Namun begitulah hidup di negeri yang lembaganya sibuk mencatat angka dan melupakan rasa. Ketika rakyat kecil menahan napas karena biaya sekolah anak tiba-tiba jatuh tempo, atau saat dapur menjerit karena gas habis sementara gaji belum cair, siapa yang datang lebih dulu? Bukan bank, bukan lembaga resmi, bukan pula kementerian yang gemar berkoar soal pemberdayaan rakyat. Yang datang justru petugas koperasi, berjaket lusuh tapi sigap, membawa formulir dan senyum yang meyakinkan.

“Cuma KTP, Pak, dan tanda tangan surat ini. Cepat cair.”

Kalimat itu seperti musik pengantar tidur bagi rakyat yang letih dihantam badai kebutuhan. Tak peduli bunga yang kelak menggerogoti sisa gaji bulanan—karena hari ini yang penting anak bisa sekolah dan dapur tetap mengepul.

Di sisi lain, bank-bank pemerintah yang megah dengan lantai marmer dan pendingin ruangan sejuk seperti ruang tunggu surga, tampak terlalu sibuk mematut diri.

Mereka punya slogan manis tentang keuangan inklusif, tapi cobalah tanyakan pada tukang bentor, tukang parkir, atau ibu warung di pojokan kampung: adakah mereka bisa meminjam sejuta saja tanpa jaminan? Tanpa surat, tanpa fotokopi tiga lembar, tanpa tanda tangan suami, tanpa saldo mengendap?

Ah, bank-bank itu memang baik… asal kita sudah punya uang.

Mereka berdiri gagah di pusat kota, memandang rakyat kecil dari balik kaca bening seperti menatap koleksi langka di museum. Jaraknya bukan hanya fisik, tapi juga emosional.

Rakyat kecil butuh uang cepat untuk membeli beras, sementara bank butuh waktu lama untuk memeriksa berkas. Rakyat kecil ingin solusi, tapi bank ingin verifikasi. Rakyat kecil butuh kepercayaan, tapi bank menuntut jaminan. Pada akhirnya, rakyat kecil menyerah dan kembali ke pangkuan uang koperasi—si penolong yang mahal tapi nyata.

Betapa ironis. Negara ini punya banyak lembaga keuangan resmi yang katanya pro rakyat, tapi justru rakyatlah yang harus proaktif mencari tolongannya sendiri—dengan bunga yang lebih mencekik.

Dan koperasi? Ia tertawa kecil di balik pintu. Ia tahu, setiap minggu selalu ada yang datang dengan wajah cemas dan suara lirih:

“Bu, saya cuma butuh dua juta. Nanti gajian saya lunasi.”

Dan petugas koperasi akan menjawab dengan sopan, penuh profesionalisme ekonomi rakyat:

“Tidak apa-apa, Pak. Bunga kecil saja, sepuluh persen per bulan.”

Begitulah cara penolong rakyat bekerja—penuh cinta, tapi dengan bunga tagihan yang kadang gila.

Maka tak salah jika uang koperasi disebut uang setengah malaikat. Ia punya niat baik, tapi juga gigi tajam. Ia bukan iblis yang menipu, tapi juga bukan wali yang tulus. Ia hidup di ruang kosong yang ditinggalkan oleh bank-bank sombong dan kebijakan negara yang lupa arah.

Rakyat kecil, di bawah bayang-bayang papan reklame bank plat merah yang gemerlap, hanya bisa berucap pelan:

“Terima kasih, koperasi. Walau kau menyakiti kami pelan-pelan, setidaknya kau datang saat kami butuh.”

Dan di saat yang sama, mereka berharap suatu hari ada lembaga resmi yang meniru cara koperasi menolong—cepat, mudah, tanpa ribet, dan manusiawi. Tapi harapan itu barangkali terlalu romantis bagi negeri yang lebih sibuk menata laporan keuangan daripada menata rasa kemanusiaan.

Jadi, sampai saat itu tiba, koperasi akan tetap berjaya.

Ia akan terus berkeliling dengan motor tuanya, membawa berkas pinjaman dan pulpen hitam, menolong yang kesusahan sambil menyiapkan tagihan berikutnya.

Sungguh, uang koperasi adalah satire paling nyata dari kebijakan publik di negeri ini: yang cepat datang, tapi perlahan memiskinkan. Namun anehnya, kita tetap berterima kasih. Sebab di antara semua janji lembaga resmi yang manis di bibir tapi pahit di hati, hanya koperasilah yang benar-benar datang ketika kita butuh.

Dan bukankah di zaman sekarang, itu sudah cukup untuk disebut penolong?

__
Gerhana Alauddin, 5 November 2025