PELAKITA.ID – Setiap manusia lahir dengan fitrah yang suci dan utuh—membawa cahaya kecil yang menandai kemerdekaannya sebagai ciptaan Tuhan. Dari tangisan pertama itu, dunia sejatinya disapa oleh suara keberanian: tanda bahwa hidup dimulai dengan perlawanan terhadap diam.
Sejak awal, manusia tidak pernah diciptakan untuk pasif; ia diciptakan untuk tumbuh, berjuang, dan memaknai hidupnya dengan daya yang unik.
Namun, dalam perjalanan sejarah, fitrah itu sering terkubur di bawah tumpukan sistem, dogma, dan ketimpangan. Banyak manusia kehilangan suaranya bahkan sebelum sempat menyadari bahwa ia memilikinya.
Maka lahirlah apa yang disebut budaya diam—saat masyarakat tak lagi berani bersuara meski hatinya menjerit. Di titik inilah, pemberdayaan menjadi bukan sekadar kebutuhan sosial, melainkan panggilan kemanusiaan: untuk menyalakan kembali fitrah, menemukan suara, dan menumbuhkan keberanian untuk hidup.
Pemberdayaan bukanlah pemberian kekuatan dari yang kuat kepada yang lemah. Ia adalah perjalanan mengembalikan manusia kepada kesadarannya yang paling asli: bahwa ia telah berdaya sejak lahir. Setiap individu memiliki potensi yang khas, dan tugas masyarakat adalah menciptakan ruang agar potensi itu tumbuh—bukan menindasnya atas nama keteraturan.
Dalam konteks ini, pemberdayaan adalah proses spiritual sekaligus sosial; membangkitkan kesadaran bahwa kebebasan berpikir, berpendapat, dan bertindak adalah bagian dari ibadah memuliakan ciptaan.
Di negeri ini, kita sering terjebak dalam semangat “membantu” tanpa benar-benar “memberdayakan”. Bantuan mengalir, tetapi harapan tak tumbuh. Program berjalan, namun suara rakyat tetap sunyi. Padahal pemberdayaan sejati tidak diukur dari banyaknya bantuan, melainkan dari lahirnya keberanian untuk berkata: “Saya bisa. Saya sanggup menentukan hidup saya sendiri.”
Fitrah manusia adalah kebebasan—kebebasan untuk berpikir, merasa, dan memilih jalan hidup tanpa ditaklukkan oleh struktur yang menindas. Dalam kebebasan itulah keunikan manusia terjaga. Tidak ada dua orang yang sama, sebagaimana tidak ada dua daun yang benar-benar serupa. Maka, menghargai perbedaan adalah bagian dari memelihara fitrah. Pemberdayaan sejati bukan menyeragamkan, melainkan menumbuhkan yang beragam.
Namun untuk hidup sesuai fitrah, manusia memerlukan suara—bukan hanya dalam arti literal, tetapi juga suara batin, suara keberanian, suara nurani. Paulo Freire menulis bahwa kesunyian yang dipaksakan adalah bentuk tertinggi dari penindasan.
Maka setiap langkah pemberdayaan harus dimulai dari keberanian untuk bersuara: dari petani yang berani menolak harga tak adil, dari perempuan desa yang berani mengelola ekonomi keluarga, dari anak muda yang berani menggugat masa depan bangsanya. Pemberdayaan tumbuh di tanah keberanian, bukan di ladang ketakutan.
Keberanian adalah energi hidup. Ia menyalakan api pada fitrah dan memberi arah pada suara. Dengan keberanian, manusia menolak hidup di bawah bayang-bayang takdir sosial yang timpang.
Ia sadar, hidup bukan untuk menunggu perubahan, melainkan untuk menjadi bagian darinya. Di sinilah makna terdalam dari berdaya sepanjang hayat: bahwa setiap fase kehidupan adalah ruang untuk memperjuangkan kemanusiaan, memperluas pengaruh kebaikan, dan melawan segala bentuk kebisuan yang melumpuhkan.
Dalam arus besar modernisasi, pemberdayaan harus dijaga agar tidak kehilangan rohnya. Ia bukan semata urusan statistik, pelatihan, atau dana hibah. Ia adalah laku kemanusiaan yang memulihkan martabat. Ia mengajarkan bahwa manusia tidak boleh diukur dari kemampuannya menerima perintah, melainkan dari keberaniannya berpikir dan bertindak sesuai nurani.
Pemberdayaan adalah cara kita memuliakan Tuhan melalui sesama manusia. Sebab, ketika seseorang menemukan suaranya sendiri, ia sedang menghidupkan kembali cahaya fitrahnya—cahaya yang membuat dunia lebih manusiawi. Dan bangsa yang berdaya adalah bangsa yang tidak lagi takut bersuara, tidak tunduk pada budaya diam, karena ia tahu bahwa kemerdekaan bukan hadiah sejarah, melainkan amanah yang harus dijaga setiap hari.
Pada akhirnya, pemberdayaan adalah perjalanan spiritual menuju kematangan diri dan masyarakat. Ia adalah upaya menegakkan kembali martabat manusia sebagai makhluk yang merdeka, berakal, dan berkehendak.
Dan mungkin, tugas kita yang paling mendasar hari ini adalah memastikan bahwa setiap manusia—betapapun kecil suaranya—tidak kehilangan keberanian untuk hidup sesuai fitrahnya. Karena sesungguhnya, hidup yang berdaya adalah hidup yang setia pada fitrah, berani bersuara, dan tak pernah berhenti berjuang untuk memanusiakan manusia.
“Setiap bayi lahir dengan suara tangisan. Lewat tangisan, Tuhan menitipkan pesan untuk tidak pernah diam di hadapan ketidakadilan dan kezaliman.”
Muliadi Saleh
Esais Reflektif | Pemikir Peradaban | Penggerak Literasi | Direktur Eksekutif Lembaga SPASIAL
