Mereka mengusulkan kerangka “ekologi politik global”—yakni cara pandang yang memperluas analisis dari level lokal dan nasional ke tingkat transnasional dan planet, mengaitkan proses-proses ekologi dengan arus modal, tenaga kerja, informasi, dan kekuasaan.
PELAKITA.ID – Buku Global Political Ecology (2011) karya Richard Peet, Paul Robbins, dan Michael Watts merupakan kajian mutakhir sekaligus manifesto untuk memperbarui kekuatan kritis ekologi politik di abad ke-21.
Gagasan utama mereka sederhana namun radikal: persoalan lingkungan tidak dapat dipahami terpisah dari struktur politik dan ekonomi yang melahirkannya—yakni struktur yang berakar dalam kapitalisme, kolonialisme, dan ketimpangan global.
Karena itu, mereka menyerukan perlunya perspektif global yang menempatkan konflik ekologi lokal dalam dinamika yang lebih luas: globalisasi neoliberal, tata kelola lingkungan global, dan gerakan perlawanan masyarakat.
1. Dari Ekologi Politik ke Ekologi Politik Global
Ekologi politik lahir pada 1970–1980-an sebagai kritik terhadap pendekatan lingkungan yang apolitis dan teknokratis. Pendekatan awal ini menegaskan bahwa kerusakan lingkungan di tingkat lokal sering kali bukan akibat “ketidaktahuan masyarakat”, melainkan buah dari kebijakan negara, ekspansi kapitalisme, atau reformasi agraria yang timpang.
Namun, Peet, Robbins, dan Watts melihat dunia kini telah berubah drastis. Globalisasi, tata kelola neoliberal, perubahan iklim, dan lahirnya gerakan sosial baru telah mengubah skala dan karakter konflik lingkungan.
Karena itu, mereka mengusulkan kerangka “ekologi politik global”—yakni cara pandang yang memperluas analisis dari level lokal dan nasional ke tingkat transnasional dan planet, mengaitkan proses-proses ekologi dengan arus modal, tenaga kerja, informasi, dan kekuasaan.
Ekologi politik global bukan sekadar label baru, melainkan proyek epistemologis dan politis: upaya untuk menafsir ulang bagaimana kekuasaan bekerja melalui alam di era globalisasi.
2. Fondasi Teoretis: Kekuasaan, Pengetahuan, dan Alam
Di jantung buku ini terdapat perhatian besar terhadap relasi antara kekuasaan dan pengetahuan.
Dengan merujuk pada pemikiran Michel Foucault, Antonio Gramsci, dan tradisi post-Marxis, para penulis berargumen bahwa persoalan lingkungan tidak pernah sekadar bersifat biofisik, tetapi juga politis dan diskursif.
Alam, bagi mereka, bukanlah entitas netral, melainkan ranah sosial yang dibentuk oleh relasi kekuasaan dan makna.
Kekuasaan tidak hanya beroperasi melalui eksploitasi ekonomi atau represi negara, tetapi juga melalui produksi pengetahuan tentang lingkungan—misalnya melalui istilah seperti penggurunan (desertification), keberlanjutan (sustainability), atau pengimbangan karbon (carbon offsetting) yang dikonstruksi oleh lembaga ilmiah, LSM internasional, dan jaringan kebijakan global.
Dengan demikian, pengetahuan menjadi medan pertarungan: narasi yang saling bersaing—antara petani lokal dengan lembaga konservasi global—mencerminkan ketimpangan kekuasaan yang menentukan siapa yang diakui sebagai ahli dan siapa yang disenyapkan.
Pendekatan ini sejalan dengan studi environmentality dan governmentality, yang menyoroti bagaimana kekuasaan mengatur perilaku dan rasionalitas manusia melalui praktik pengelolaan lingkungan.
3. Alam Neoliberal dan Komodifikasi Lingkungan
Salah satu bahasan penting dalam buku ini adalah munculnya lingkungan neoliberal—gagasan bahwa pasar dan hak milik bisa menjadi solusi bagi persoalan ekologi. Peet, Robbins, dan Watts mengkritik keras mekanisme seperti perdagangan karbon, kompensasi keanekaragaman hayati (biodiversity offset), dan pembayaran jasa lingkungan (payment for ecosystem services).
Menurut mereka, kebijakan-kebijakan ini melanjutkan komodifikasi alam, memperluas logika kapitalisme ke ranah yang sebelumnya tak tersentuh pasar. Neoliberalisasi konservasi:
-
Mengubah nilai ekologis menjadi aset finansial.
-
Memberi kekuasaan lebih besar kepada korporasi dan teknokrat.
-
Meminggirkan komunitas lokal dan masyarakat adat.
-
Menghapus dimensi politik keadilan dengan membingkai persoalan lingkungan semata sebagai masalah efisiensi atau manajemen.
Bagi mereka, neoliberalisasi alam bukanlah evolusi alamiah kebijakan lingkungan, melainkan proyek politik yang dibentuk oleh institusi global seperti Bank Dunia, IMF, dan korporasi multinasional.
4. Skala, Jaringan, dan Globalisasi
Inovasi penting dari buku ini adalah pendekatan multi-skala. Jika studi ekologi politik klasik lebih banyak meneliti kasus lokal—seperti erosi tanah di desa atau deforestasi di suatu kawasan—maka Peet, Robbins, dan Watts menunjukkan bahwa analisis semacam itu harus dihubungkan dengan jaringan global yang mengaitkan ekologi lokal dengan pusat-pusat ekonomi dan politik dunia.
Mereka memperkenalkan konsep “politik skala” (scalar politics), yakni cara para aktor menggunakan berbagai tingkat skala (lokal, nasional, global) untuk memperjuangkan kepentingannya. Misalnya:
-
Negara dapat memosisikan hutan sebagai “penyerap karbon global” demi memperoleh pendanaan internasional.
-
LSM dapat menginternasionalisasi perjuangan lokal melalui jaringan advokasi lintas negara.
-
Korporasi dapat memindahkan biaya ekologis ke Selatan global sembari mengklaim praktik keberlanjutan.
Politik skala ini menegaskan bahwa tata kelola lingkungan bersifat relasional dan senantiasa menjadi ajang perebutan antaraktor dan antarwilayah.
5. Keadilan Lingkungan dan Kritik Pascakolonial
Sumbangan penting lain dari Global Political Ecology adalah penekanan pada keadilan lingkungan dan kesadaran pascakolonial.
Para penulis menegaskan bahwa kerusakan lingkungan tidak tersebar secara merata, melainkan mengikuti pola dominasi kolonial dan ketergantungan ekonomi global.
Melalui berbagai contoh—mulai dari ekstraksi minyak di Nigeria hingga konservasi di Amerika Latin—buku ini menunjukkan bagaimana kapitalisme global menciptakan “zona pengorbanan” (sacrifice zones) di mana komunitas termarjinalkan menanggung biaya sosial-ekologis demi kemakmuran global.
Analisis ini sejalan dengan gerakan keadilan lingkungan yang menuntut:
-
Pengakuan terhadap suara dan budaya lokal.
-
Redistribusi manfaat dan beban ekologis secara adil.
-
Partisipasi dan akuntabilitas dalam pengambilan keputusan.
Peet, Robbins, dan Watts menilai bahwa tata kelola lingkungan global sering menyembunyikan ketimpangan di balik narasi universal seperti sustainability dan resilience, sehingga justru memperpanjang imperialisme ekologis.
6. Perlawanan, Alternatif, dan Politik Harapan
Meskipun sarat kritik, buku ini tidak bersifat pesimistis. Ia juga menyoroti ruang-ruang perlawanan dan harapan—dari gerakan akar rumput hingga ekonomi alternatif dan pengetahuan lokal.
Para penulis menekankan agensi masyarakat lokal sebagai subjek politik yang aktif, bukan korban pasif. Mereka menyoroti contoh:
-
Sistem pengetahuan ekologis masyarakat adat yang menantang hegemoni sains Barat.
-
Gerakan sosial yang menghubungkan isu kelas, ras, dan lingkungan (misalnya Via Campesina atau gerakan keadilan iklim).
-
Eksperimen ekonomi solidaritas dan degrowth sebagai alternatif terhadap globalisasi neoliberal.
Ruang-ruang perlawanan ini mewujudkan apa yang disebut Peet sebagai “ekologi pembebasan” (liberation ecology)—visi politik lingkungan yang berlandaskan keadilan sosial, demokrasi, dan emansipasi manusia.
7. Refleksi Metodologis
Peet, Robbins, dan Watts menyerukan pendekatan kritis, reflektif, dan pluralistik dalam ekologi politik. Mereka menegaskan bahwa studi lingkungan harus bersifat empiris dan kontekstual, tetapi juga berlandaskan teori dan keberpihakan politik.
Ekologi politik, menurut mereka, harus menjembatani disiplin ilmu—geografi, antropologi, ekologi, dan ekonomi politik—serta tetap peka terhadap pengalaman sehari-hari masyarakat yang terdampak perubahan lingkungan.
Mereka juga menekankan pentingnya dekolonisasi pengetahuan: mempertanyakan dominasi teori dan metode Barat dalam wacana lingkungan, serta mendorong kolaborasi sejajar antara peneliti, aktivis, dan komunitas lokal.
8. Proyek Ekologi Politik Global: Seruan untuk Bertindak
Pesan utama Global Political Ecology bersifat analitis sekaligus normatif. Secara analitis, ia menawarkan alat untuk memahami keterkaitan antara lingkungan, kekuasaan, dan globalisasi. Secara normatif, ia menyerukan transformasi terhadap tatanan global yang melanggengkan kerusakan lingkungan dan ketimpangan sosial.
Intisarinya dapat diringkas dalam empat proposisi:
-
Alam itu politis. Masalah lingkungan tak terpisah dari persoalan kekuasaan, keadilan, dan ketimpangan.
-
Skala itu penting. Ekologi lokal dibentuk oleh proses politik-ekonomi global.
-
Pengetahuan itu diperebutkan. Diskursus ilmiah dan kebijakan adalah arena pertarungan makna dan otoritas.
-
Perubahan itu mungkin. Perlawanan, solidaritas, dan visi alternatif dapat mengubah politik lingkungan dan pembangunan.
Penutup
Melalui Global Political Ecology, Peet, Robbins, dan Watts menghidupkan kembali semangat kritis ekologi politik sebagai proyek global yang transformatif. Mereka menantang pembaca untuk melihat alam bukan sekadar latar politik, tetapi sebagai arena tempat kekuasaan beroperasi dan dilawan.
Dengan menghubungkan isu lingkungan dengan persoalan kelas, ras, gender, dan imperium, mereka memperluas cakrawala teori pembangunan dan gerakan lingkungan. Pesan mereka tetap sangat relevan hingga kini: di tengah krisis iklim, ekstraktivisme, dan ketimpangan global, tugas ekologi politik bukan sekadar memahami dunia, melainkan mengubah kondisi sosial dan politik yang melahirkan krisis lingkungan itu sendiri.
