PELAKITA.ID – Di dapur rumah, di restoran yang sibuk, dan di pasar tradisional yang semarak — selalu ada yang tersisa. Sepiring nasi yang tak habis, sayur layu di ujung hari, kulit buah dan sisa sayuran yang mengering di bak sampah.
Di balik tumpukan sisa itu, tersimpan kisah tentang bagaimana kita memperlakukan rezeki — dan bagaimana bumi menanggung akibatnya.
Setiap tahun, dunia membuang hampir sepertiga dari total pangan yang diproduksi. Di Indonesia, angka itu berarti jutaan ton makanan yang tak pernah sampai ke meja makan. Ironisnya, pada saat yang sama, jutaan orang masih berjuang melawan kelaparan dan gizi buruk. Inilah paradoks zaman kita: kelimpahan yang menciptakan kelangkaan, kemajuan yang menimbulkan kehilangan.
Namun, sisa tak selalu berarti sia-sia. Dalam pandangan ekologis dan spiritual, tidak ada yang benar-benar menjadi “sampah” — hanya energi yang menunggu diubah bentuk dan maknanya.
Di tangan yang sadar, sisa pangan bisa menjadi sumber kehidupan baru: kulit sayuran menjadi pupuk kompos, ampas kopi menjadi media tanam jamur, limbah buah diolah menjadi pakan ternak atau bioenzim rumah tangga. Di kota-kota besar, tumbuh gerakan food rescue yang menyalurkan makanan berlebih ke dapur-dapur sosial. Di kampus dan pesantren, muncul komunitas yang mengubah sisa kantin menjadi pupuk bagi kebun urban.
Begitulah, food waste bertransformasi menjadi food wisdom — dari kesadaran bahwa pangan bukan sekadar komoditas, tetapi amanah.
Dalam ajaran Islam, Rasulullah SAW bersabda:
“Janganlah kamu menyia-nyiakan makanan, karena kamu tidak tahu di bagian mana letak keberkahannya.” (HR. Muslim)
Dan dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman:
“Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A’raf: 31)
Keduanya bukan hanya nasihat moral, tetapi juga prinsip ekologis yang mendalam. Moderasi dalam konsumsi adalah fondasi keberlanjutan. Menyisakan berarti kehilangan, dan kehilangan yang terus-menerus akan berujung pada kehancuran.
Sains modern kini meneguhkan kebijaksanaan lama itu. Berbagai riset menunjukkan bahwa pengelolaan limbah pangan dapat menurunkan emisi gas rumah kaca secara signifikan. Setiap kilogram makanan yang tidak terbuang berarti penghematan air, tanah, dan energi yang tak ternilai. Di laboratorium inovatif, para ilmuwan bahkan berhasil mengubah sisa pangan menjadi bioplastik, bioenergi, hingga bahan kosmetik alami.
Kita hidup di era ketika makanan bukan lagi sekadar soal rasa, melainkan soal tanggung jawab. Setiap sendok yang kita habiskan, setiap sisa yang kita olah, adalah bagian dari narasi besar tentang keberlanjutan bumi.
Karena di balik setiap sisa, ada kesempatan untuk memperbaiki dunia — dimulai dari piring sendiri.
Mungkin inilah makna baru dari rezeki yang berkah: bukan seberapa banyak yang kita dapat, tetapi seberapa sedikit yang kita buang.
Dan ketika kita belajar menghormati sisa, sejatinya kita sedang belajar menghormati kehidupan itu sendiri.
Muliadi Saleh
Direktur Eksekutif Lembaga SPASIAL
Penulis dan pemerhati pangan berkelanjutan
