Mustamin Raga | Pemotongan Dana Transfer Daerah

  • Whatsapp
Ilustrasi

Ketika Kepentingan Elit Berbenturan dengan Akal Sehat Rakyat

Oleh: Mustamin Raga (Alumni Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, Pascasarjana Universitas Hasanuddin)


PELAKITA.ID – Kebijakan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa untuk memotong sebagian Transfer ke Daerah (TKD) memicu gelombang protes. Namun menariknya, yang paling keras bersuara bukan rakyat kecil, melainkan para elit daerah: gubernur, bupati, wali kota, hingga pimpinan DPRD.

Mereka berteriak tentang “pelemahan otonomi”, “ketimpangan fiskal”, dan “sentralisasi kekuasaan anggaran”. Tetapi di sisi lain, rakyat justru diam—bahkan sebagian mendukung langkah itu. Sebab bagi rakyat, pemotongan dana bukan ancaman, melainkan mungkin penyelamatan dari keborosan yang telah lama mereka rasakan.

Ketika Dana Tak Lagi Mengalir ke Rakyat

Sejatinya, dana transfer daerah dirancang untuk memastikan pemerataan pembangunan agar desa dan kota kecil hidup berdampingan dalam denyut ekonomi nasional. Namun, realitasnya jauh berbeda.

Data Kementerian Keuangan mencatat, sekitar 32% dana transfer tahun 2023 tidak terserap hingga akhir tahun, setara dengan Rp230 triliun yang mengendap di rekening bank-bank daerah1. Dana publik yang seharusnya menggerakkan ekonomi justru menjadi uang tidur, sementara bunganya memperkaya bank—bukan rakyat.

“Ini bukan hanya masalah administrasi, tapi juga moral dan efisiensi fiskal,” ujar Purbaya dalam sebuah forum diskusi di Jakarta2. Ia menyebut fenomena itu sebagai “inefisiensi sistemik yang memperkaya bank, tapi memiskinkan rakyat.”

Ketika uang publik membeku, ekonomi daerah ikut membisu. Pasar kehilangan pembeli, proyek pembangunan terhenti, dan roda ekonomi rakyat berhenti berputar.

Ironisnya, para pejabat daerah justru sibuk dengan agenda seremonial dan perjalanan dinas yang lebih banyak menghasilkan laporan ketimbang perubahan nyata.

Ironi Otonomi yang Membengkak

Otonomi daerah dilahirkan untuk mendekatkan kesejahteraan kepada rakyat, bukan memperbesar kekuasaan pejabat daerah. Namun dalam praktiknya, otonomi sering menjelma menjadi feodalisme baru, di mana kepala daerah bertindak layaknya raja dan DPRD menjadi bangsawan kecil yang menikmati fasilitas.

Laporan BPK tahun 2024 menunjukkan bahwa lebih dari 40% kegiatan perjalanan dinas di daerah tidak memiliki laporan hasil yang terverifikasi3. Bahkan, di beberapa daerah, anggaran perjalanan dinas lebih besar daripada anggaran pendidikan dan kesehatan.

Kementerian Dalam Negeri mencatat, lebih dari 200 daerah pada 2024 memiliki tingkat serapan anggaran di bawah 70%4, dengan sebagian besar dana habis untuk kegiatan penunjang birokrasi.

Purbaya menilai situasi ini sebagai “pembusukan moral fiskal”. Ia sadar kebijakannya akan membuat para kepala daerah murka. Namun jawabannya tegas: “Lebih baik dimusuhi elit daripada dikhianati nurani.”

Benturan Kepentingan: Elit vs Menteri vs Rakyat

Begitu kebijakan diumumkan, asosiasi pemerintah daerah segera mengirim surat protes. Mereka menuduh pemotongan TKD melemahkan kemampuan daerah menjalankan program prioritas. Tetapi di balik retorika “demi rakyat”, yang mereka khawatirkan sejatinya adalah hilangnya kendali atas aliran dana publik—sumber daya politik yang selama ini menopang kekuasaan mereka.

Rakyat kecil justru memandang perdebatan ini dengan tenang. Mereka tahu siapa yang berteriak karena kehilangan kuasa, dan siapa yang diam karena memang tak pernah merasakan manfaat dana itu.

Seorang petani pernah berkata sederhana, “Dari dulu uang daerah tidak pernah sampai ke sawah kami. Kalau sekarang dipotong, biarlah. Mungkin itu lebih baik.”

Kalimat polos itu menampar kesadaran banyak orang: betapa jauh jarak antara elit daerah dan rakyat yang mereka wakili.

Uang yang Membeku, Moral yang Layu

Laporan DJPK mencatat hingga Desember 2024, terdapat lebih dari 120 pemerintah daerah yang menimbun dana di atas Rp1 triliun di bank5. Alasannya klasik: menunggu tender, revisi aturan, atau perencanaan ulang. Namun analisis Kemenkeu justru menemukan bahwa daerah-daerah itu paling banyak menganggarkan belanja non-produktif seperti jamuan, perjalanan, dan kegiatan seremonial.

Purbaya menyebut fenomena itu sebagai “paradoks pembangunan”—dana ada, tapi manfaatnya nihil6. “Negara kehilangan denyut moral ketika uang rakyat hanya menjadi alat memoles citra pejabat,” ujarnya.

Kebijakan pemotongan TKD akhirnya menjadi semacam terapi kejut fiskal, cara pemerintah pusat memaksa daerah belajar disiplin dan bertanggung jawab.

Rakyat Sebagai Penonton dan Korban

Rakyat mungkin tidak tahu apa itu DAU, DAK, atau TKD. Yang mereka tahu hanyalah bahwa jalan desa rusak, puskesmas kekurangan obat, dan irigasi tak pernah diperbaiki. Mereka tidak tahu uangnya mengendap di rekening pemerintah daerah.

Maka ketika Purbaya memangkas dana, sebagian rakyat justru melihat harapan baru—bukan karena mereka akan menerima uang lebih, tapi karena akhirnya ada pejabat yang berani menegur penguasa daerah.

Bagi rakyat, itulah bentuk keadilan yang sesungguhnya: keberanian menegakkan akal sehat di tengah hiruk-pikuk kepentingan.

Politik Anggaran dan Ilusi Kesejahteraan

Dalam dunia politik, anggaran bukan hanya alat pembangunan, tapi juga alat kekuasaan. Karena itu, pemotongan dana selalu disambut resistensi. Namun Purbaya menegaskan, “Desentralisasi tanpa disiplin fiskal hanya memperluas wilayah korupsi.”7

Pernyataannya memicu kemarahan banyak kepala daerah, tetapi disambut tepuk tangan masyarakat sipil dan akademisi. Sebab desentralisasi yang tanpa tanggung jawab hanyalah selimut bagi praktik penyimpangan dan patronase.

Jika uang publik tidak digunakan tepat waktu dan tepat guna, maka pemotongan bukan hukuman—melainkan pembelajaran.

Menimbang Masa Depan Desentralisasi

Kebijakan pemotongan TKD memang bisa menunda sejumlah proyek, tetapi efek jangka panjangnya lebih penting: daerah dipaksa menjadi lebih kreatif dan akuntabel.

Desentralisasi seharusnya menjadi ruang inovasi, bukan arena lomba menghabiskan anggaran. Seperti kata Purbaya, “Pembangunan bukan diukur dari banyaknya dana, tetapi dari keberanian menggunakannya dengan benar.”

Pada akhirnya, konflik antara Purbaya dan para elit daerah bukan semata pertarungan kebijakan, melainkan pertarungan moral. Ketika elit berteriak soal “hak otonomi”, rakyat bertanya balik: “Hak untuk siapa? Untuk kami, atau untuk kalian?”

Langkah Purbaya menjadi simbol perlawanan terhadap feodalisme fiskal—melawan pola pikir lama yang menempatkan kekuasaan di atas akal sehat.

Dan sebagaimana hukum alam politik: rakyat akan tahu siapa yang benar, sebab kejujuran selalu terdengar paling nyaring ketika kepentingan berisik menutup telinga.

___
Footnotes

  1. Kementerian Keuangan RI, Data Realisasi Transfer ke Daerah Tahun 2023, DJPK, 2024.

  2. Purbaya Yudhi Sadewa, Forum Ekonomi dan Fiskal Nasional 2024, Jakarta.

  3. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI, Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester II Tahun 2024, hlm. 18–21.

  4. Kementerian Dalam Negeri, Laporan Evaluasi Kinerja Keuangan Daerah 2024, Ditjen Bina Keuangan Daerah.

  5. DJPK, Laporan Dana Mengendap di Rekening Pemerintah Daerah per Desember 2024, www.djpk.kemenkeu.go.id.

  6. Purbaya Yudhi Sadewa, Catatan Fiskal dan Integritas Publik, pidato di UI, 2024.

  7. Purbaya Yudhi Sadewa, wawancara di Kompas TV, 3 Juni 2024.