John Stuart Mill dan Relevansi Gagasannya dalam Pembangunan Indonesia

  • Whatsapp
John Stuart Mill dan Relevansi Gagasannya dalam Pembangunan Indonesia (ilustrasi Pelakita.ID)

PELAKITA.ID – Di tengah perdebatan global tentang arah pembangunan yang berkelanjutan, adil, dan berbasis manusia, pemikiran klasik dari tokoh seperti John Stuart Mill kembali menemukan relevansinya.

Sebagai seorang filsuf dan ekonom politik asal Inggris pada abad ke-19,

Mill tidak hanya dikenal sebagai tokoh penting dalam tradisi liberalisme, tetapi juga sebagai pemikir awal dalam studi pembangunan yang menempatkan kesejahteraan manusia dan kebebasan individu di pusat panggung pembangunan sosial.

Siapa John Stuart Mill?

Lahir pada tahun 1806 dan wafat pada 1873, Mill merupakan murid dan penerus pemikiran Jeremy Bentham, tokoh utilitarianisme. Namun, Mill memperluas dan memodifikasi gagasan Bentham dengan memasukkan dimensi moral, pendidikan, dan kebebasan dalam analisis ekonomi dan sosialnya.

Karya-karyanya yang paling berpengaruh antara lain On Liberty, Utilitarianism, The Subjection of Women, dan Principles of Political Economy.

Mill menolak melihat pembangunan hanya sebagai pertumbuhan ekonomi semata. Baginya, pembangunan sejati adalah proses multidimensi yang melibatkan kebahagiaan manusia, kebebasan berpikir, keadilan sosial, dan keberlanjutan ekologis.

Gagasan-Gagasan Utama Mill dalam Pembangunan

1. Utilitarianisme Berbasis Kemanusiaan

Prinsip paling mendasar dari Mill adalah gagasan bahwa tujuan setiap kebijakan publik adalah memaksimalkan kebahagiaan bagi sebanyak mungkin orang — “the greatest happiness for the greatest number”. Dalam konteks pembangunan, ini berarti bahwa kebijakan ekonomi atau sosial harus dilihat dari sejauh mana mereka meningkatkan kualitas hidup rakyat, bukan sekadar pertumbuhan PDB.

2. Kebebasan Individu dan Partisipasi

Dalam On Liberty, Mill menekankan pentingnya kebebasan berpikir, berbicara, dan bertindak selama tidak merugikan orang lain. Ia percaya bahwa pembangunan sejati tidak mungkin terjadi tanpa individu yang bebas dan berdaya. Gagasan ini menginspirasi pemikiran modern seperti pendekatan capability dari Amartya Sen, yang melihat pembangunan sebagai perluasan kebebasan substantif manusia.

3. Perekonomian dan Negara Stasioner

Mill memiliki pandangan unik bahwa pertumbuhan ekonomi tidak dapat berlangsung selamanya. Ia memperkenalkan konsep “stationary state” — suatu kondisi di mana pertumbuhan kuantitatif melambat, tetapi kualitas hidup tetap dapat meningkat melalui distribusi yang lebih adil, peningkatan pendidikan, dan nilai-nilai moral.

Ia memperingatkan bahaya eksploitasi alam dan ketimpangan sosial akibat industrialisasi tanpa kontrol.

4. Kesetaraan Gender

Jauh melampaui zamannya, Mill menyerukan kesetaraan hak bagi perempuan dalam The Subjection of Women.

Ia menilai bahwa masyarakat tidak akan mencapai kemajuan sejati tanpa menghapus dominasi laki-laki dan membuka ruang partisipasi setara bagi perempuan dalam pendidikan, ekonomi, dan politik.

Relevansi Pemikiran Mill dalam Konteks Indonesia

Meski hidup di abad ke-19, pemikiran Mill tetap relevan dengan tantangan dan arah pembangunan Indonesia hari ini.

a) Pendekatan Berbasis Manusia

Pembangunan di Indonesia kini tidak lagi semata-mata bertumpu pada angka pertumbuhan ekonomi, melainkan mengacu pada Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).

Fokus pada pendidikan, kesehatan, dan pengurangan kemiskinan mencerminkan semangat Mill dalam menempatkan kebahagiaan dan kesejahteraan manusia sebagai tujuan utama pembangunan.

b) Desentralisasi dan Partisipasi Publik

Mill percaya bahwa partisipasi adalah bagian dari pembelajaran politik dan perbaikan sosial.

Di Indonesia, proses desentralisasi pasca-Reformasi membuka ruang bagi masyarakat untuk terlibat dalam perencanaan dan pengawasan pembangunan daerah. Ini sejalan dengan pandangan Mill tentang pentingnya partisipasi warga negara dalam demokrasi.

c) Keberlanjutan Ekologis

Konsep “stationary state” Mill menjadi sangat relevan saat Indonesia menghadapi krisis lingkungan — mulai dari deforestasi, krisis air, pencemaran laut, hingga perubahan iklim.

Gagasan Mill menegaskan bahwa pembangunan harus memperhatikan batas daya dukung lingkungan dan menghindari kerusakan jangka panjang.

d) Kesetaraan Gender dan Inklusi Sosial

Meskipun telah banyak kemajuan, kesenjangan gender di Indonesia masih nyata dalam akses pendidikan, kesempatan kerja, dan representasi politik. Pemikiran Mill dapat menjadi dasar moral dan intelektual untuk mendorong kebijakan yang lebih inklusif dan adil terhadap perempuan dan kelompok rentan lainnya.

e) Etika dan Pendidikan Karakter

Mill menekankan pentingnya pendidikan tidak hanya sebagai transmisi pengetahuan teknis, tetapi juga pembentukan karakter dan moral publik. Dalam konteks Indonesia saat ini, tantangan intoleransi, hoaks, dan krisis etika publik menegaskan pentingnya penguatan pendidikan karakter dan kewarganegaraan aktif.

Catatan Kritis

Meski banyak gagasannya relevan, pemikiran Mill tetap perlu disesuaikan dengan konteks pascakolonial seperti Indonesia. Mill hidup dalam masyarakat kolonial Inggris, dan sebagian pandangannya masih terikat pada asumsi Eropa-sentris.

Ia juga kurang menyoroti ketimpangan struktural dan kekuasaan global yang memengaruhi negara-negara berkembang. Maka, pendekatan Mill sebaiknya dilengkapi dengan analisis kontemporer tentang kolonialisme, ketimpangan global, dan keadilan ekologis.

John Stuart Mill menawarkan kerangka etis dan filosofis yang kuat untuk memahami pembangunan secara lebih utuh. Di tengah dunia yang semakin kompleks, pemikiran Mill tetap menjadi cahaya bagi pembangunan yang bukan hanya tumbuh, tetapi juga berkeadilan, berkelanjutan, dan membebaskan.

Di Indonesia, tantangan seperti ketimpangan, degradasi lingkungan, dan krisis etika publik menunjukkan bahwa warisan pemikiran Mill masih sangat relevan untuk dijadikan rujukan — baik dalam kebijakan publik maupun pendidikan generasi masa depan.