Catatan Denun | Mengapa Elit Pemerintahan Menjadi Korup dan Mengabaikan Kepentingan Publik

  • Whatsapp
Sang Dewai tetap tersenyum mesti pedang telah patah (Ilustrasi Pelakita.ID)

PELAKITA.ID – Dengan mengelus dagunya yang dihiasi jenggot putih, seorang kawan jurnalis menunjukkan foto anggota keluarga pejabat di—sebut saja—Negeri Pardokes.

“Inimi yang pandasa-dasa,” katanya dalam bahasa Makassar, merujuk pada seseorang yang sangat aktif dan agresif dalam memanfaatkan kekuasaan.

Di Jakarta, seorang menteri tersungut ketika nama istrinya muncul dalam surat permohonan bantuan perjalanan ke Eropa, berkedok kunjungan kebudayaan yang tidak jelas tujuannya. Publik menilai ini sebagai praktik korupsi atau setidaknya bentuk kolusi dan nepotisme yang telanjang.

Menurut Transparency International, skor Indeks Persepsi Korupsi (CPI) Indonesia tahun 2024 adalah 37, naik dari 34 pada tahun sebelumnya, dan menempatkan Indonesia di peringkat ke-99 dari 180 negara.

Meskipun membaik, posisi ini masih di bawah rata-rata global (44) dan tertinggal dari negara ASEAN seperti Singapura, Malaysia, Timor Leste, dan Vietnam.

Fakta ini menguatkan satu pola yang berulang di banyak negara: elit politik yang awalnya dipercaya rakyat untuk memegang kekuasaan perlahan menjauh dari publik. Korupsi menjadi kebiasaan. Keluhan masyarakat diabaikan.

Praktik ilegal seperti parkir liar dan pembangunan di ruang publik seolah dibiarkan. Keluarga pejabat mendapat prioritas, sementara masyarakat kecil dikesampingkan. Janji kampanye tentang pemberantasan korupsi lenyap begitu saja setelah kekuasaan digenggam.

Mengapa hal ini terus terjadi?

Jawabannya tak hanya soal moralitas individu, tetapi juga struktur kekuasaan yang memungkinkan penyimpangan.

Dalam ilmu politik dan ekonomi, kondisi ini disebut masalah principal–agent. Rakyat sebagai principal menyerahkan mandat kepada pejabat sebagai agent, namun para agent ini sering bekerja dengan sedikit pengawasan dan banyak keleluasaan. Di sinilah peluang untuk menyalahgunakan wewenang muncul.

Konsep lain yang relevan adalah rent-seeking — ketika pejabat menggunakan kekuasaan mereka untuk meraih keuntungan pribadi tanpa menciptakan nilai tambah.

Mereka dapat mengarahkan proyek ke kolega, membentuk regulasi yang menguntungkan kelompok sendiri, atau menggunakan anggaran publik demi memperkuat basis politik. Pelayanan publik pun menjadi alat pengayaan pribadi, bukan sarana kemajuan sosial.

Fenomena elite capture juga banyak terjadi — ketika kelompok kecil yang terkoneksi kuat menguasai proses pengambilan keputusan, sambil menyingkirkan suara dari kelompok marjinal dan masyarakat akar rumput. Institusi demokratis pun bisa dibelokkan bila elit telah cukup kuat mengonsolidasikan kekuasaan.

Keterputusan ini bukan hanya struktural, tapi juga kultural. Seiring waktu, para pemimpin semakin terkurung dalam lingkaran eksklusif, menjauh dari realitas rakyat biasa.

Mereka lebih percaya laporan statistik daripada suara masyarakat. Jarak sosial ini membuat empati terkikis, dan isu-isu seperti kemiskinan atau keadilan tak lagi jadi prioritas.

Fenomena ini bukan hal baru. Robert Michels dalam awal abad ke-20 merumuskan “Hukum Besi Oligarki” — bahwa semua organisasi, bahkan yang demokratis sekalipun, cenderung menuju oligarki. Ketika satu kelompok meraih kekuasaan, mereka akan mempertahankannya dengan membatasi partisipasi dan memperkuat kontrol.

Daron Acemoglu dan James Robinson dalam Why Nations Fail menyebut adanya institusi yang dirancang untuk bersifat eksploitatif, yakni bukan gagal, tetapi berfungsi sesuai rancangan: memindahkan kekayaan dari banyak orang ke segelintir elit. Dalam sistem seperti ini, korupsi adalah fitur, bukan anomali.

Antonio Gramsci menambahkan dimensi kultural melalui teori hegemoni, di mana elit tidak hanya mempertahankan kekuasaan lewat kebijakan atau paksaan, tetapi juga membentuk apa yang dianggap normal dan wajar oleh masyarakat. Ketidakpuasan publik pun bisa diredam sebelum menjadi tuntutan politik.

Di era globalisasi, banyak elit lebih terhubung dengan pasar global dan platform digital ketimbang komunitas lokal. Bahasa teknokratis menggantikan bahasa keadilan. Bahkan ketika negara berjalan efisien, ia bisa terasa asing dan tak peduli secara moral.

Akibatnya, kepercayaan publik terkikis. Rakyat merasa tak didengar, dan memilih menjauh dari proses demokrasi. Dalam kekosongan itulah populisme tumbuh, menjanjikan perubahan namun seringkali hanya mengganti satu bentuk dominasi dengan yang lain.

Jalan keluar

Jalan keluar dari ini bukan hal mudah, tapi bisa dimulai dengan membangun institusi yang efektif dan empatik.

Diperlukan transparansi, media yang bebas, dan pendidikan kewargaan yang mendorong partisipasi kritis. Hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu, dan para pemimpin harus sadar bahwa legitimasi adalah sesuatu yang harus diraih—bukan diwariskan atau dibeli.

Yang paling penting, kita butuh budaya kepemimpinan baru: yang mendengar sebelum bicara, melayani sebelum memerintah, dan memahami bahwa jabatan publik adalah amanah, bukan hadiah.

_
Tamarunang, 5 Juli 2025