Anak-anak muda belajar tafsir dari video pendek, mendengar ceramah lewat podcast, dan fatwa dapat diperdebatkan di ruang digital oleh siapa saja.
PELAKITA.ID – Agama, sejak awal kehadirannya di tengah umat manusia, bukan sekadar kumpulan ritual dan hukum-hukum sakral. Ia adalah jalan pulang, cahaya di tengah malam sejarah, dan nafas nilai yang membentuk watak peradaban.
Di sisi lain, dalam laju zaman yang kian deras, agama menghadapi tantangan yang tidak ringan: globalisasi yang menghapus batas, teknologi yang menyalip etika, dan generasi baru yang lebih suka bertanya daripada menerima begitu saja.
Kini, di tengah gedung-gedung tinggi dan sinyal internet yang tak pernah tidur, agama tengah diuji: akankah ia menjadi sekadar museum simbol, atau justru menjelma menjadi roh zaman yang lentur dan relevan tanpa kehilangan jati diri? Di sinilah kita melihat: agama sedang — dan harus — bertransformasi.
Dari Dogma ke Dialog
Dulu, suara agama lebih sering terdengar dari menara otoritas yang tunggal. Ia mengalir dari mimbar ke hati umat, sering kali tanpa ruang untuk bertanya, cukup dengan taat. Namun hari ini, otoritas tidak lagi mutlak.
Anak-anak muda belajar tafsir dari video pendek, mendengar ceramah lewat podcast, dan fatwa dapat diperdebatkan di ruang digital oleh siapa saja.
Agama tidak bisa lagi bertahan dalam struktur dogmatis yang kaku. Ia perlu membuka pintu dialog — mendengar, menjawab, dan merangkul. Ulama dan tokoh agama bukan sekadar penjaga tradisi, tetapi juga fasilitator pemahaman baru, jembatan antara hikmah masa lalu dan dinamika zaman kini.
Transformasi ini bukan bentuk kompromi terhadap ajaran, melainkan upaya menjaga ruh agama tetap hidup dalam bahasa yang dimengerti zaman.
Agama yang bertransformasi tidak tinggal diam di menara suci. Ia turun ke lembah kenyataan, hadir di ruang-ruang aktivisme sosial, menjadi suara bagi yang tertindas, menjadi tangan bagi yang lapar, dan menjadi jaring bagi mereka yang terjatuh.
Di berbagai tempat, kita menyaksikan agama tidak lagi sekadar berbicara tentang surga dan neraka, tetapi juga tentang keadilan, pelestarian alam, pendidikan, dan hak-hak perempuan.
Agama melahirkan pesantren ramah lingkungan, gereja yang menjadi dapur umum, dan pura yang menjadi pusat belajar.
Seperti air yang mengalir, agama tidak kehilangan kesuciannya hanya karena menyentuh tanah. Justru di sanalah letak fungsinya: menjadi rahmat bagi semesta.
Teknologi dan Tradisi: Bertemu di Titik Takdir
Perjumpaan antara agama dan teknologi tentu bukan tanpa ketegangan. Di satu sisi, media sosial memungkinkan dakwah menjangkau seluruh penjuru dunia. Di sisi lain, ia juga melahirkan polarisasi, ghibah berjubah syiar, serta penyalahgunaan ayat demi klik dan likes.
Namun, agama yang bertransformasi tidak menolak teknologi. Ia menggunakannya untuk memperluas nilai. Kita melihat kemunculan dai-dai muda yang menyejukkan, ceramah digital yang memeluk, serta komunitas spiritual virtual yang saling menguatkan.
Transformasi ini membuka ruang baru bagi penyebaran pesan ketuhanan — asalkan tetap dikawal oleh akhlak, hikmah, dan adab digital.
Agama yang bertransformasi tidak membentengi diri. Ia merangkul, bukan menghakimi.
Menuntun, bukan menghukum. Ia hadir untuk menenangkan, bukan menakut-nakuti. Ia membuka ruang dialog, menjembatani perbedaan, dan menyuarakan bahwa kemanusiaan adalah inti dari segala ajaran.
Dalam wajahnya yang inklusif, agama menjadi bahasa universal yang menyapa siapa saja — tanpa memandang warna kulit, suku bangsa, bahkan keyakinan.
Agama Sebagai Energi Hidup
Agama yang sejati bukanlah yang berhenti pada seremoni. Ia harus menjadi energi hidup: dalam etos kerja, dalam kesadaran ekologis, dalam kasih sayang kepada sesama, dan dalam kejujuran dalam berpolitik maupun berdagang.
Transformasi agama bukan penyimpangan, melainkan pelurusan arah agar agama tidak tercerabut dari realitas. Ia adalah penyesuaian ruh yang abadi dengan tubuh zaman yang terus berubah.
Kita hidup di masa ketika agama bisa menjadi obor yang menerangi dunia, atau bara yang membakar jika disalahgunakan. Maka tugas kita bersama adalah memastikan bahwa agama tetap menjadi cahaya — bukan alat gelap kekuasaan atau kebencian.
Agama yang bertransformasi adalah agama yang hidup: yang mendidik, bukan mengancam; yang memeluk, bukan memukul; dan yang membebaskan, bukan membelenggu.
Di dalamnya, Tuhan tetap Esa, kitab suci tetap mulia, dan manusia tetap saudara.
___
Muliadi Saleh
Penulis, Pemikir, dan Penggerak Literasi dan Kebudayaan
“Menulis untuk Menginspirasi, Mencerahkan, dan Menggerakkan Peradaban.”