Riset LIPI (2023) mengungkapkan bahwa dari 1.000 mahasiswa perantauan asal luar Jawa, hanya 27 persen yang menyatakan bersedia kembali ke daerah asal setelah menyelesaikan studi.
PELAKITA.ID – Mereka tidak lari dari tanah kelahiran. Mereka hanya mengejar sesuatu yang tak tersedia di tempat mereka dibesarkan: ruang untuk berpikir, tempat untuk tumbuh, dan jalan yang tidak terus-menerus dibendung oleh birokrasi, nepotisme, atau rendahnya penghargaan terhadap ilmu pengetahuan.
Mereka bukan pembelot, bukan kutu loncat. Mereka hanya ingin hidup sepenuhnya sebagai manusia merdeka yang berpikir.
Maka, bersama ribuan lainnya, mereka menjadi bagian dari arus besar yang dikenal sebagai brain drain—sebuah kehilangan dalam tubuh bangsa, ketika yang terbaik merasa asing di negeri sendiri.
Seringkali mereka yang cerdas dan disekolahkan dengan beasiswa negara, dengan harapan kembali membangun kampung halaman, justru menetap di kota asing—baik di luar maupun di dalam negeri. Brain drain bukan sekadar statistik. Ia adalah narasi tentang rindu yang tak terbalas oleh tanah air.
Suara dari generasi yang merasa tak didengar. Sebuah bangsa yang membanggakan lulusan luar negeri, namun tak menyediakan tempat pulang yang layak, hanya bisa menatap mereka dari kejauhan.
Data dari World Bank dan Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa lebih dari 9.000 diaspora Indonesia bekerja di bidang sains dan teknologi di luar negeri.
Sebagian besar berada di Amerika Serikat, Jepang, Jerman, dan Australia. Laporan BPS 2024 mencatat bahwa 53% mahasiswa Indonesia yang melanjutkan studi S2 dan S3 di luar negeri memilih untuk bekerja di sana.
Mereka tak pulang bukan karena lupa, tetapi karena tak mendapat tawaran kerja yang sepadan atau kecewa terhadap sistem kerja yang tidak meritokratis.
Namun, brain drain tak hanya terjadi antarnegara. Ia juga menjalar diam-diam di dalam negeri sendiri: dari pulau ke pulau, dari provinsi ke pusat, dari pinggiran ke ibu kota.
Terbayang jika Papua mengirim anak-anak terbaiknya melalui beasiswa otsus, namun setelah kuliah di Jawa, hanya sedikit yang kembali. Sumatera mencetak dokter-dokter muda, tetapi rumah sakit daerah tetap kekurangan tenaga medis. Sulawesi dan Kalimantan membesarkan sarjana pertanian dan kehutanan, namun sawah dan hutan mereka dikelola orang luar.
Maka, mengalirlah otak-otak muda itu ke Jakarta, ke Bandung, ke Semarang—lalu menetap, membangun hidup di tengah gemerlap pusat kekuasaan.
Riset LIPI (2023) mengungkapkan bahwa dari 1.000 mahasiswa perantauan asal luar Jawa, hanya 27 persen yang menyatakan bersedia kembali ke daerah asal setelah menyelesaikan studi.
Alasan utamanya adalah minimnya lapangan kerja bermutu, buruknya infrastruktur kerja, serta terbatasnya jejaring profesional dan kesempatan karier. Bahkan, sebagian merasa tidak diterima di kampung halaman, seolah menjadi orang asing setelah mendapat pendidikan tinggi.
Apa yang tampak sebagai urbanisasi biasa sejatinya adalah kehilangan intelektual. Sebab brain drain regional membentuk pusaran ketimpangan: daerah menyemai, pusat memanen. Desa mendidik, kota memetik. Kampung membesarkan, ibu kota menuai. Padahal negeri ini bukan hanya milik pusat, dan kecerdasan bukan hanya hak mereka yang lahir dekat kekuasaan.
Di balik semua ini, tersimpan ironi pembangunan yang dalam. Kota-kota besar menjadi terlalu padat dengan talenta, sementara daerah tertinggal makin kekurangan tenaga penggerak.
Sekolah pelosok kekurangan guru inspiratif, rumah sakit kehilangan tenaga spesialis, kantor pemerintah daerah kesulitan mencari analis kebijakan dan perencana strategis. Tanpa sadar, kita membiarkan satu bagian negeri tumbuh subur, sementara bagian lain mengering dalam sunyi.
Lalu, apa yang membuat mereka pergi? Sebagian bilang karena gaji kecil. Tapi lebih dari itu, karena di banyak tempat, akal sehat dan profesionalisme tak diberi ruang.
Proyek-proyek diatur bukan untuk hasil, tapi untuk bagi-bagi. Karya tak dihargai, ide dicurigai, dan integritas dianggap gangguan. Maka yang tersisa hanyalah pergi. Bukan karena tak cinta, tapi karena cinta pun bisa habis jika tak dirawat.
Menyalahkan mereka yang pergi bukanlah solusi. Mereka bukan pengkhianat. Mereka adalah cermin dari sistem yang gagal menyediakan rumah. Cermin bahwa keadilan spasial belum ditegakkan. Bahwa pembangunan terlalu lama menumpuk di satu titik, mengabaikan ribuan desa yang punya potensi.
Kita tak bisa hanya mengandalkan semangat nasionalisme sambil terus membiarkan ketimpangan. Jika negara ingin anak-anaknya pulang, maka negara harus menjadikan kampung halaman mereka tempat yang layak untuk pulang.
Pemerintah harus hadir di daerah, bukan hanya lewat baliho dan kunjungan seremonial, tapi lewat kehadiran nyata: pusat riset, rumah sakit modern, universitas unggulan, jejaring profesional, dan ruang karya yang terbuka.
Kita butuh keberanian untuk memindahkan pusat-pusat intelektual dan birokrasi keluar dari Jakarta, bukan hanya dalam wacana, tapi dalam langkah nyata.
Kita perlu menjadikan wilayah timur Indonesia bukan hanya sebagai ladang sumber daya, tetapi juga sebagai sumber ilmu, sains, dan budaya. Kita perlu menyusun ulang peta keadilan: dari yang semula Jawa-sentris menjadi Indonesia-sentris—Indonesia Raya.
Jika tidak, brain drain akan terus menguras daya hidup bangsa. Mengikis harapan dari pinggiran. Dan negeri ini, alih-alih menjadi Indonesia yang satu, akan menjadi kolase yang retak: pusat yang menumpuk dan pinggiran yang dilupakan.
Kita harus belajar bahwa pembangunan bukan sekadar soal infrastruktur fisik, tetapi juga soal menghargai manusia dan ilmunya. Bahwa membangun negara tak cukup dengan membangun ibu kota baru, jika jiwa bangsanya justru pergi satu per satu.
Dan bahwa mimpi seharusnya bisa hidup di mana saja—termasuk di kampung-kampung tempat mereka pertama kali berdoa.
Brain drain adalah alarm yang menjerit pelan. Jangan biarkan ia terus menjadi lagu perpisahan yang tak kunjung selesai. Sebab bangsa besar bukanlah bangsa yang hanya membanggakan ibu kotanya, melainkan bangsa yang membuat seluruh anaknya merasa ingin pulang—dan bangga menyebut tanah air sebagai rumah.
INDONESIA KEBANGGAANKU. INDONESIA RAYA

Brain Drain: Ketika Otak Bangsa Mengalir Pergi
Artikel ditulis oleh Muliadi Saleh
Penulis, Pemikir, Penggerak Literasi dan Kebudayaan. Slogan: Menulis untuk Menginspirasi, Mencerahkan, dan Menggerakkan Peradaban