Swasembada Pangan vs Potensi Hayati Maritim Terabaikan: Di Manakah Nyanyian Anak Pesisir?

  • Whatsapp
Penulis, Rizkan Rauzie (dok: istimewa)

PELAKITA.ID – Wacana swasembada pangan telah lama menjadi agenda strategis nasional. Dari pembangunan lumbung pangan hingga proyek food estate, negara berupaya menjamin ketersediaan pangan nasional lewat penguatan sektor pertanian darat.

Di sisi lain, dalam percakapan besar tentang pangan itu, laut—yang mengitari lebih dari dua pertiga wilayah Indonesia—nyaris tak mendapat tempat. Potensi hayati maritim kita, luar biasa besar, justru masih tersisih dari narasi ketahanan dan kedaulatan pangan.

Kondisi ini menunjukkan bahwa pembangunan pangan nasional masih berpijak pada paradigma agraris sempit. Padi, jagung, kedelai, dan komoditas darat lainnya tetap menjadi primadona dalam kebijakan. Sementara laut dan potensi hayatinya hanya disebut sesekali sebagai “komplementer” atau cadangan alternatif.

Padahal, dalam konteks geografis dan ekologis, laut Indonesia menyimpan kekayaan hayati yang tidak dimiliki banyak negara: lebih dari 8.500 spesies ikan, ratusan jenis rumput laut, serta mikroorganisme laut yang berpotensi dikembangkan menjadi sumber pangan masa depan.

Sayangnya, potensi tersebut belum mendapat tempat dalam strategi pangan nasional. Akuakultur laut belum dikembangkan secara maksimal.

Infrastruktur perikanan dan budidaya di wilayah pesisir masih tertinggal. Teknologi pengolahan hasil laut belum merata. Bahkan kebijakan perikanan lebih banyak difokuskan pada pengawasan kapal dan kuota industri, daripada pada pemberdayaan masyarakat pesisir sebagai pelaku utama pengelolaan hayati laut.

Pertanyaan krusialnya: jika laut begitu kaya, mengapa anak-anak pesisir hidup dalam ketertinggalan?

Banyak wilayah pesisir masih mengalami masalah gizi kronis. Ironis, mengingat mereka hidup berdampingan dengan sumber protein laut yang melimpah.

Akses terhadap pendidikan dan kesehatan rendah. Lapangan kerja di sektor kelautan juga makin tergerus oleh industrialisasi yang tidak inklusif.

Generasi muda pesisir memilih merantau karena laut tidak lagi menjanjikan masa depan. Maka nyanyian anak-anak pesisir—dulu tentang perahu, nelayan, dan musim ikan—kian sunyi ditelan proyek reklamasi, tambang pasir, dan pelabuhan industri.

Swasembada pangan seharusnya tidak hanya dilihat sebagai upaya memenuhi kebutuhan logistik nasional, tetapi juga sebagai strategi pemerataan pembangunan, pemberdayaan masyarakat lokal, dan kedaulatan ekologis. Dalam konteks ini, laut dan masyarakat pesisir semestinya menjadi subjek utama, bukan objek sekunder.

Pengembangan pangan laut bukan hanya opsi alternatif, tetapi keniscayaan strategis dalam menghadapi krisis pangan global, perubahan iklim, dan peningkatan kebutuhan protein sehat.

Untuk itu, kita perlu redefinisi menyeluruh atas makna swasembada. Ia bukan sekadar target produksi beras, tetapi kemampuan bangsa memenuhi kebutuhan pangan dari seluruh potensi sumber daya alamnya—baik darat maupun laut.

Pemerintah perlu menyusun kebijakan pangan berbasis maritim: mendorong budidaya rumput laut, ikan laut bernilai tinggi, bivalvia, dan komoditas kelautan lain yang dapat dikembangkan sebagai sumber pangan sekaligus ekonomi lokal.

Lebih jauh, sistem pendidikan dan riset pun harus mendukung transformasi ini. Di sekolah-sekolah pesisir, kurikulum masih berpusat pada pertanian darat. Anak-anak belajar tentang irigasi, sawah, dan pupuk, tetapi tidak tentang oseanografi dasar, konservasi laut, atau teknologi perikanan modern.

Akibatnya, terjadi keterputusan antara ruang hidup masyarakat pesisir dan pengetahuan yang mereka terima. Laut menjadi “asing” di kampung sendiri.

Jika ingin membangun swasembada pangan yang adil dan berkelanjutan, negara perlu mengembalikan suara anak-anak pesisir ke dalam panggung utama pembangunan.

Ini bukan sekadar soal produksi, tapi juga soal identitas, keadilan spasial, dan keberlanjutan ekologis. Karena sesungguhnya, jika potensi hayati laut dikelola dengan baik, bukan hanya perut yang kenyang, tapi juga harkat dan masa depan anak-anak pesisir yang ikut terangkat.

Dalam puisi Chairil Anwar, ada kalimat tajam: “Kami yang kini terbuang.” Semoga itu bukan takdir abadi bagi mereka yang tinggal di tepi laut.

Dengan menjadikan potensi hayati maritim sebagai bagian integral dari swasembada pangan, kita tidak hanya merumuskan ulang strategi pangan nasional, tetapi juga mengembalikan nyanyian anak pesisir ke tempat yang layak: sebagai suara masa depan.

Gowa, 160625

Tentang Penulis:
Rizkan Fauzie adalah alumni Program Studi Mekanisasi Pertanian, Universitas Hasanuddin. Ia aktif dalam kajian keislaman, etika sosial, dan budaya religius di masyarakat rural maupun urban.