Kolom Rizkan Fauzie | Mengurai Benang Tipis antara Laku Berintegritas dan Penjilatan

  • Whatsapp
Ilustrasi Pelakita.ID

Seperti dikemukakan Michel Foucault, kekuasaan tidak hanya menindas, tetapi juga memproduksi wacana dan ‘kebenaran’.  Maka, ketika penguasa mendefinisikan integritas sebagai loyalitas tanpa syarat, penjilatan pun memperoleh legitimasi dalam narasi etika organisasi.

PELAKITA.ID – Dalam lanskap sosial yang sarat hierarki dan kompetisi—terutama di lingkungan kekuasaan seperti birokrasi, politik, dan korporasi—kerap muncul paradoks antara dua sikap yang tampak serupa secara lahiriah, namun sejatinya bertolak belakang: integritas dan penjilatan.

Keduanya sama-sama bisa terlihat “loyal”, “patuh”, dan “mendukung atasan”. Namun, dalam kajian sosiologi kekuasaan, keduanya menempati kutub yang sangat berbeda, baik secara moral maupun sosiologis.

Artikel ini hendak menelusuri secara lebih dalam bagaimana garis tipis antara integritas dan penjilatan dibentuk oleh relasi kuasa, struktur sosial, serta norma-norma simbolik yang berlaku dalam masyarakat.

Pilar Moral dalam Struktur Kekuasaan

Secara etimologis, integritas berasal dari kata integer, yang berarti utuh. Dalam konteks sosial, integritas mengacu pada kualitas pribadi yang menjunjung konsistensi antara nilai dan tindakan, terlebih saat berhadapan dengan tekanan kekuasaan.

Individu yang berintegritas cenderung berpegang pada kebenaran, keadilan, dan etika, meskipun pilihan ini dapat bertentangan dengan kepentingan penguasa.

Dalam perspektif Max Weber mengenai etika kerja dan birokrasi, integritas dapat dikaitkan dengan etika tanggung jawab (ethic of responsibility), yakni tanggung jawab moral atas konsekuensi tindakan, bukan sekadar ketaatan pada prosedur formal.

Di dalam sistem kekuasaan modern, mereka yang menjaga integritas justru kerap berada dalam posisi rentan, sebab sistem yang lebih mementingkan loyalitas personal ketimbang nilai universal cenderung menyingkirkan suara-suara kritis.

Penjilat: Simbiosis Parasitik dalam Relasi Kuasa

Sebaliknya, penjilat adalah sosok yang menjadikan kekuasaan sebagai pusat gravitasi moralnya.

Penjilatan merupakan bentuk adaptasi sosial ekstrem, di mana seseorang secara sadar merendahkan nilai-nilai personal demi memperoleh perlindungan, kedekatan, atau keuntungan dari pemegang kuasa.

Dalam teori sosiologi simbolik, perilaku penjilat dapat dipahami sebagai tindakan performatif—suatu sandiwara loyalitas yang dimainkan demi kepentingan pribadi.

Pierre Bourdieu, dalam teori modal sosial dan habitus, menjelaskan bahwa penjilat memanfaatkan habitus subordinat—yakni kebiasaan berada dalam struktur dominasi—sehingga strategi yang dipilih adalah menyenangkan penguasa untuk memperoleh kapital simbolik: pengakuan, akses, atau kekuasaan.

Dengan demikian, penjilat bukan sekadar pribadi yang lemah karakter, tetapi juga produk dari sistem sosial yang memberi ganjaran pada loyalitas semu.

Benang Tipis: Persinggungan Simbolik dan Ambiguitas Sosial

Secara lahiriah, integritas dan penjilatan kerap tampak serupa: sama-sama mematuhi pimpinan, menunjukkan loyalitas, dan menghindari konflik. Namun, perbedaan utamanya terletak pada niat, konteks, dan dampak sosial dari tindakan tersebut.

Dalam struktur kekuasaan yang tidak demokratis, penjilatan sering dibungkus dengan retorika integritas: “Saya patuh demi stabilitas”, “Saya setuju karena ini keputusan pemimpin”, dan ungkapan sejenis.

Ambiguitas ini menjadikan garis pemisah antara keduanya tampak samar. Di banyak organisasi, individu yang jujur dan kritis justru dicap tidak loyal, sementara penjilat dipandang kooperatif dan dapat dipercaya. Kekuasaan, dalam hal ini, menciptakan ilusi moral yang membingungkan.

Seperti dikemukakan Michel Foucault, kekuasaan tidak hanya menindas, tetapi juga memproduksi wacana dan ‘kebenaran’.  Maka, ketika penguasa mendefinisikan integritas sebagai loyalitas tanpa syarat, penjilatan pun memperoleh legitimasi dalam narasi etika organisasi.

Sosiologi Kekuasaan dan Mekanisme Legitimasi Penjilatan

Relasi antara individu dan kekuasaan tidak pernah netral. Dalam banyak kasus, sistem kekuasaan secara aktif mereproduksi struktur penjilatan.

Di sejumlah lembaga, karier seseorang lebih ditentukan oleh kedekatan personal dan kemampuan menyenangkan atasan daripada oleh integritas atau kapabilitas profesional.

Antonio Gramsci, dalam teorinya tentang hegemoni, menyatakan bahwa kekuasaan bertahan bukan hanya melalui paksaan, tetapi juga melalui persetujuan yang dibangun dari bawah.

Dalam konteks ini, penjilat adalah agen hegemonik yang mereproduksi kekuasaan melalui penguatan ilusi bahwa pemimpin tidak boleh disalahkan dan bahwa kesetiaan berarti selalu menyetujui.

Dampak Sosial dan Kultural

Pembingkaian yang kabur antara integritas dan penjilatan memiliki dampak besar dalam pembentukan budaya organisasi dan masyarakat.

Bila penjilat diberi tempat, maka nilai-nilai seperti kejujuran dan kompetensi akan tersingkir. Lembaga akan kehilangan fungsi koreksi internal, dan keputusan strategis akan diambil berdasarkan relasi personal, bukan pertimbangan rasional atau profesional.

Dalam jangka panjang, hal ini melemahkan kapasitas adaptif organisasi dan merusak kepercayaan sosial.

Sebaliknya, jika integritas dihargai, sistem akan memiliki mekanisme pengawasan yang sehat. Kritik dipandang sebagai bentuk cinta, bukan pengkhianatan. Ini adalah kondisi ideal dalam masyarakat demokratis dan meritokratis, di mana kebenaran lebih diutamakan daripada kedekatan pribadi.

Menemukan Keseimbangan Baru

Dalam realitas sosial yang kompleks, integritas dan penjilatan memang sering kali bersinggungan secara simbolik. Namun, penting bagi kita untuk membedakan keduanya secara jernih dan kritis.

Tugas kita bukan sekadar mencela penjilat atau memuji integritas secara abstrak, melainkan membangun sistem yang memfasilitasi ekspresi kebenaran tanpa rasa takut, serta memberi ganjaran pada keberanian moral, bukan sekadar kesetiaan seremonial.

Sosiologi kekuasaan mengajarkan bahwa relasi sosial dibentuk oleh struktur dan wacana.

Maka, untuk mempertegas batas antara integritas dan penjilatan, kita perlu mereformasi struktur kekuasaan itu sendiri—dengan menciptakan ruang diskusi yang setara, sistem evaluasi yang adil, dan budaya organisasi yang menghargai nilai, bukan sekadar relasi.

Hanya dengan cara itulah, kita bisa mengurai benang tipis yang selama ini mengaburkan dua hal yang sejatinya sangat bertolak belakang.

___

Mengurai Benang Tipis antara Laku Berintegritas dan Penjilatan, ditulis oleh Rizkan Fauzie S. [Mekan88]

Tulisan dan segala konsekuensi merupakan tanggung jawab penulis