Karena meskipun AI bisa meniru suara, ia tak bisa meniru doa. Ia bisa menyalin lukisan, tapi tak bisa melukis perasaan. Ia bisa menulis puisi, namun tak pernah tahu bagaimana rasanya patah hati dan harapan.
___
Artikel Yang Tak Bisa Digantikan: Mencari Hakikat Manusia di Era Otomasi, ditulis oleh Muliadi Saleh, sosok penulis, pemikir, penggerak literasi dan kebudayaan. Dia “Menulis untuk menginspirasi, mencerahkan, dan menggerakkan peradaban.”
PELAKITA.ID – Sesuatu sedang bergeser—perlahan, tapi pasti. Ia hadir tanpa suara, tanpa seremoni agung, namun mengubah segalanya. Namanya Artificial Intelligence, atau yang kini kita kenal sebagai AI.
Ia bukan sekadar penemuan baru. Ia adalah babak baru. AI tak mengenal lelah, tak merasa lapar, tak menuntut upah. Ia bekerja dalam diam, namun hasilnya mengguncang.
Dulu, teknologi membantu manusia. Kini, ia mulai menggantikan. Di sudut-sudut kantor dan pusat layanan pelanggan, mesin cerdas telah berdiri menggantikan operator.
Di ruang redaksi, algoritma menulis berita. Di laboratorium dan rumah sakit, AI membaca hasil rontgen dengan presisi mengagumkan.
Ia tidak sekadar meniru kerja manusia, tapi menyempurnakannya dalam hitungan detik.
Di tengah semua ini, manusia mulai bertanya: adakah yang masih tersisa untuk kami?
Yang hilang bukan hanya pekerjaan, tapi juga harga diri. Sebab dalam bekerja, manusia tak sekadar mencari penghidupan—ia mencari makna.
Ketika mesin hadir dengan kecepatan dan ketepatan yang luar biasa, ketakutan mulai menggelayuti: apakah kami masih relevan?
Apakah kami akan menjadi sisa-sisa sejarah dalam dunia yang dikuasai oleh mesin? Kini kita menyaksikan gelombang besar pemutusan hubungan kerja, bukan karena krisis, melainkan karena mesin bisa bekerja lebih cepat, murah, dan stabil.
Profesi yang dulu dianggap aman—kasir, operator, editor, sopir, bahkan akuntan dan pengacara—pelan-pelan bergeser. Kita hidup di zaman di mana data lebih berharga dari darah.
Dulu hidup diukur dari tenaga. Kini, nilai tertinggi ada pada informasi dan kemampuan mengelolanya.Namun, di tengah gelombang ini, masih ada yang tak tergantikan. Mesin bisa meniru suara, bahkan ekspresi emosi. Tapi ia tak bisa merasakan. Ia bisa mengenali wajah, namun tak tahu bagaimana menenangkan air mata.
Ia bisa melukis, tapi tak paham rindu. Di situlah letak kekuatan kita: manusia dengan rasa. Dengan cinta. Dengan nurani. Justru itu yang harus diperkuat.
Ini bukan akhir zaman. Ini awal yang baru. Sebab setiap revolusi besar selalu membawa peluang. Listrik menggantikan malam. Internet mengguncang perpustakaan. Kini AI mengetuk pintu-pintu yang dulu tertutup.
Pertanyaannya bukan lagi “apa yang akan hilang,” tapi “apa yang akan kita temukan kembali dari kemanusiaan kita?”
Yang bertahan bukan yang paling kuat atau cerdas, tapi yang paling lentur dalam beradaptasi. Kita tak perlu bersaing dengan AI dalam hal yang ia kuasai.
Kita harus mengasah kembali apa yang hanya bisa dilakukan manusia: berpikir kritis, mencipta, berempati, mencinta, memaafkan. Dunia kerja ke depan bukan hanya soal keterampilan teknis, tapi juga kedalaman etis.
Pendidikan harus berubah. Sekolah bukan lagi ruang hafalan, tapi taman yang menumbuhkan nurani dan nalar.
Kita butuh generasi yang tak sekadar bisa menjawab soal, tapi mampu merumuskan pertanyaan baru.
Di tengah percepatan zaman, satu hal tetap: dunia masih membutuhkan manusia. Sepenuhnya. Dan hanya manusia yang bisa mengenali dirinya sendiri.
Di situlah letak kekuatan kita yang tak tergantikan.
Penulis Muliadi Saleh, dapat dihubungi melalui email: muliadisaleh@gmail.com
___
Editor: Denun