PELAKITA.ID – Sembari menunggu penerbangan sore ke Muscat, saya mengikuti percakapan menarik di grup WAG IKA FIKP Unhas.
Ada beberapa nama di grup ini yang amat saya hormati sebagai saudara, sebagai kakak. Agak melo ya? Tidak apa-apa. Ada Prof. Iqbal Djawad, Rijal Idrus, Anto Bachtiar, hingga Dg Taba alias Taswin Munier. Nama terakhir ini kawan seangkatan di Smansa Makassar, angkatan ’89.
Perbincangan di WAG FIKP itu menghasilkan artikel di Pelakita.ID atas nama Bachrianto Bachtiar. Kado untuk Pelakita.ID, meski dia sendiri tak pernah bilang itu untuk Pelakita.
Link-nya di sini:
https://pelakita.id/2025/05/01/bachrianto-bachtiar-membaca-tanda-zaman-dan-arah-transformasi-sosial/
Sensei Iqbal, yang kerap saya sapa Om Imba, adalah dosen Ekologi Laut saat saya kuliah di Ilmu dan Teknologi Kelautan Unhas. Kak Rijal, saya tidak tahu kapan mulai akrab, tapi intinya lingkarannya tidak jauh dari kolega profesi, juga organisasi seperti HMI dan LSM. Banyak teman Kak Rijal, adalah teman saya juga.
Nama ketiga, Bachrianto Bachtiar, bukan nama asing di kalangan aktivis pergerakan Unhas tahun 80-an, di HMI, Luwu Raya, hingga dunia LSM.

Kak Anto—begitu sapaan akrab saya—saya kenal dalam pekerjaan saya di Lembaga Pengkajian Pedesaan Pantai dan Masyarakat (LP3M) Makassar.
Saya bergabung di LSM ini dan menjadikan sosok seperti Sufir Laude, Pahir Halim, Syamsu Alam Hamid, Sujahri Van Gobel, hingga Kak Ono dan Syamsiri Ismail sebagai mentor ber-LSM.
Kak Anto ada di Lembaga Mitra Lingkungan dan seperjuangan dengan Tetta Asmin Amin dan Ashar Karateng—Ashar saat ini adalah Direktur The COMMIT Foundation, tempat saya menjabat sebagai Sekretaris Eksekutif.
Kak Anto adalah dosen di Perikanan (sekarang FIKP Unhas) sampai sekitar awal 2020-an. Dia mengundurkan diri meski menurutnya sempat ditahan-tahan oleh Rektor Unhas saat itu, Ibu Dwia.
Tapi begitulah Anto, berani mengambil keputusan di tengah makin banyaknya senior yang kelimpungan di usia menuanya. “Begini saja, ngopi, bicara sama kalian semua,” katanya saat kami ngobrol dua hari lalu di Kopizone.
Lucu dan Tajam
Tentang profesi akademis Kak Anto, saya kenal baik saat ada ponakannya, Wiwik, mahasiswa Perikanan Unhas yang magang di LP3M kala itu. Saya jadi supervisor mereka saat magang di proyek LP3M di Taka Bonerate.
“Janganmaki saya periksa laporanmu kalau Komar sudah periksa,”
itu ucapannya saat Wiwik, Edil, dan beberapa anak Perikanan bertemu saya setelah masa magang mereka selesai.
Bangga dong ya? Semacam pujian dari Kak Anto.
Waktu berlalu, musim berganti, ruang-ruang interaksi Kak Anto tahun 2000-an adalah di kafe di Jalan Sungai Saddang—saya lupa namanya.

Di sana banyak kegiatan digelar, apalagi ternyata Kak Anto adalah sosok di balik berdirinya Sulawesi Community Foundation bersama Haji Ashar.
Sampai di sini, saya semakin yakin bahwa sosok seperti beliau ada dalam lingkar pergaulan saya. Apalagi belakangan SCF juga kerap mengajak saya ke sejumlah kegiatan mereka—di Makassar, di Mamuju, dan tempat lainnya.
Sampai di sini, pembaca pasti tahu mengapa saya tidak bisa berkelit atau menghindari sosok Bachrianto Bachtiar. Dari sisi akademik, profesi, hingga urusan perkopian, selalu saja bertemu dia. Apalagi di media sosial. Kak Anto adalah praktisi media sosial yang cukup aktif—dia ada di Twitter, Instagram, hingga Facebook.
Di Facebook itulah saya tahu bahwa hari ini, Jumat, 2 Mei 2025, adalah ulang tahunnya.
Sahabat saya, A.M. Riady, menyebut Kak Anto sebagai sosok lucu, suka humor, dan nyaris tak pernah terlihat serius. Salah satu cerita Adi adalah kebiasaan Kak Anto tertidur saat menyetir. Saya tidak begitu yakin, tapi begitulah kisahnya.
Kalau urusan anekdot, canda tawa, juga kritikan tajam, Kak Anto memang jagonya. Kadang kalau dibalas, dia langsung menjawab,
“Ekokko ngapa?”
(Maksudnya: “Kau mau apa?”)
Nada bercanda, tapi terasa juga resistensinya.
Prof. Iqbal pernah bilang ke saya:
“Lawanmi itu Anto, lompoi pakkaleangna!”
Mengapa Tetap Hormat?
Susterang, ada satu hal yang membuat saya terus berpikir setiap kali berinteraksi dengan Bachrianto Bachtiar: mengapa saya tetap menaruh hormat, bahkan rasa kagum, meski ia kerap melontarkan kritik tajam yang kadang bikin kita baper? Jawabannya ada di kisah-kisah di atas.
Kak Anto, bagi sebagian orang yang saya kenal, dianggap sering membuat jengkel dengan celetukan atau sikapnya yang tidak selalu menyenangkan. Tapi bagi saya, justru dari sana saya merasa ada sesuatu yang perlu saya pelajari darinya.
Saya kira, Kak Anto bukan tipe yang menyenangkan dalam semua suasana. Ia tidak pernah repot menyesuaikan nada bicaranya agar terdengar halus.
Jika tidak setuju, ia akan mengatakannya langsung—kadang dengan gaya blak-blakan yang membuat orang berpikir dua kali sebelum duduk semeja dengannya lagi. Tapi dari gaya komunikasi seperti itu saya justru menemukan ketulusan. Seriuska ini.

“Untuk apa kau berpura-pura, daripada nanti menyesal-ko.”
Saya kira, ia mengkritik bukan karena ingin menjatuhkan. Toh, kami ini adik-adiknya, mahasiswanya, circle-nya. Ia menyanggah bukan karena ingin menunjukkan siapa paling pintar.
Ia berbicara karena ia peduli—dan menunjukkan kepedulian dengan caranya sendiri. Itulah yang membuat saya tetap respek padanya, meski sering merasa “dihajar” secara verbal di depan orang lain.
Mengidolai seseorang bukan berarti menyukai segala aspeknya. Kadang kita menghargai orang bukan karena ia sempurna, tetapi karena ia jujur apa adanya—dengan segala kerumitan dan ketidaksempurnaannya.
Di era ketika banyak orang berpura-pura menyenangkan demi diterima, orang seperti Kak Anto adalah cermin yang menantang kita menatap diri sendiri tanpa topeng.
Saya sering mendapati ia menjadi orang pertama yang menyatakan ketidaksetujuan dalam sebuah perbincangan—saya sebut ini sebagai diskursus. Tapi anehnya, ketika rapat bubar dan tensi mereda, dialah yang pertama bertanya,
“Tadi kamu oke, tapi kayaknya kamu belum keluarin semuanya. Kenapa nahan?”
Ia mengritik, tapi juga mendengar. Ia menantang, tapi juga mendorong. Kira-kira begitu penggambarannya. Eaaa…
Untuk dipetik hikmahnya—di tengah perayaan ulang tahun Kak Anto—saya menyadari bahwa orang seperti dia membuat kita tumbuh karena ia tak memberi ruang nyaman untuk bersembunyi. Ia mengusik ego, memaksa kita mengevaluasi gagasan sendiri, dan tak jarang, membuat kita berpikir lebih dalam dari biasanya.
Saya juga sering tidak setuju dengannya. Tapi dari semua ketidaksetujuan itu, saya belajar pentingnya memiliki orang yang berani berbeda di lingkaran kita.
Tanpa orang seperti dia, kita mungkin terlalu mudah terjebak dalam ruang gema yang hanya mengulang-ulang apa yang ingin kita dengar.
Menghormati seseorang tak selalu berarti menyukai sikapnya. Mengidolai seseorang kadang justru hadir karena keberaniannya menjadi autentik—bukan karena kepandaiannya menyenangkan semua orang.
Sasah belaaa…
Happy Birthday, Opu.
Denun, Muscat, 2 Mei 2025