Mengapa Perguruan Tinggi Harus Berubah Sebelum Terlambat? Mari simak tulisan Ir. Muliadi Saleh, alumni Fakultas Pertanian Unhas dan pegfiat pembangunan daerah.
PELAKITA.ID – Dunia kini bergerak dalam ritme yang tak lagi bisa diprediksi oleh kalender akademik. Ia meloncat, berbelok, bahkan kadang membalikkan arah tanpa peringatan. Dunia kerja tak lagi menunggu ijazah, tetapi menuntut kecakapan.
Dinamika global tak lagi bersandar pada gelar, tetapi pada kemampuan berpikir, mencipta, beradaptasi, dan berjejaring. Di tengah guncangan zaman ini, pertanyaan mendesak pun muncul: masih relevankah perguruan tinggi saat ini, dan bagaimana cara meresponsnya agar tidak tertinggal—atau ditinggalkan?
Ironisnya, saat sumber pengetahuan tersebar bebas—melalui video daring, kursus digital, podcast pakar, hingga diskusi komunitas global—masih ada kampus yang terjebak dalam silabus lama, metode ceramah satu arah, dan penilaian berbasis angka yang kehilangan konteks.
Perguruan tinggi menjadi seperti museum pengetahuan, bukan lagi laboratorium kehidupan.
Padahal, tugas kampus sejatinya bukan sekadar mentransfer pelajaran, tetapi menyalakan rasa ingin tahu, melatih keberanian bertanya, dan menghidupkan daya intelektual mahasiswa.
Menurut Future of Jobs Report 2023 dari World Economic Forum, 44% keterampilan di dunia kerja akan berubah sebelum 2028.
Sementara itu, laporan McKinsey Global Institute (2022) menunjukkan bahwa hanya 20% lulusan perguruan tinggi di negara berkembang yang benar-benar siap menghadapi tantangan industri digital. Ini menandakan jurang yang semakin lebar antara ruang kelas dan dunia kerja.
Pakar pendidikan Finlandia, Pasi Sahlberg, menyatakan bahwa pendidikan tinggi kini dituntut bukan hanya mengajarkan isi kepala, tetapi juga membentuk ketahanan mental, keterampilan abad ke-21, dan makna keberdayaan.
Di Indonesia, Prof. Anies Baswedan pernah mengungkapkan, “Zaman ini bukan lagi soal siapa yang tahu lebih dulu, tetapi siapa yang bisa terus belajar meski dunia berubah lebih cepat dari buku pelajaran.”
Perguruan tinggi masa kini harus bertransformasi: dari sekadar penyedia ilmu menjadi arsitek pembelajar seumur hidup. Mahasiswa perlu diperlengkapi dengan empat kompas utama: daya analisis, keberanian berinovasi, kepercayaan diri menyampaikan gagasan, dan kemampuan membangun jejaring lintas batas.
Keempatnya adalah mata uang baru dalam lanskap global yang cair dan kompetitif.
Namun, realitas di lapangan masih jauh dari harapan. Banyak kampus masih mendefinisikan keberhasilan mahasiswa dari nilai ujian dan skripsi yang rapi—bukan dari kemampuan menyelesaikan persoalan nyata. Banyak dosen menilai dari kepatuhan, bukan keberanian berpikir berbeda.
Kurikulum pun masih menekankan hafalan, bukan pemaknaan. Padahal dunia luar menilai lulusan dari kemampuan menyusun logika, membangun solusi, serta beradaptasi di bawah tekanan.
Jika tidak segera berbenah, kita akan kehilangan generasi emas—mereka yang cerdas namun gamang, penuh potensi tetapi terjebak sistem usang. Lulus dengan nilai tinggi, tapi gugup saat wawancara kerja. Menguasai teori ekonomi digital, tapi asing dengan kerja remote dan ekosistem startup.
Apa gunanya mengajar empat tahun jika mahasiswa tak tahu cara belajar setelah lulus? Apa artinya menghafal diktat jika tidak bisa menyaring informasi di tengah banjir data? Apa makna skripsi ilmiah jika tak bisa membedakan berita palsu dan fakta sehari-hari?
Kini saatnya kampus menghapus tembok antara akademik dan praktik, teori dan realitas, dosen dan dunia luar.

Kolaborasi dengan industri, NGO, komunitas kreatif, bahkan dunia seni, harus menjadi bagian dari proses belajar. Mata kuliah tak perlu dibatasi 3 SKS dalam ruang kelas, tetapi bisa hadir dalam bentuk proyek sosial, hackathon, laboratorium virtual, hingga program mentoring profesional.
Inovasi dalam Pendidikan: Hackathon, Laboratorium Virtual, dan Mentoring Profesional
Beberapa perguruan tinggi telah mulai mengimplementasikan pendekatan inovatif. Misalnya, hackathon seperti ICStar Hackathon 2024 dari PT Orbit Nasional Edukasi (ONE Indonesia) yang diikuti oleh lebih dari 1.700 mahasiswa dari berbagai universitas. Kompetisi ini menekankan pengembangan AI dan aplikasi digital sebagai bekal mahasiswa menghadapi tantangan dunia kerja.
Hackathon bukan sekadar lomba, melainkan ajang latihan berpikir out of the box, bekerja dalam tekanan waktu, dan berkolaborasi lintas disiplin.
Misalnya, tema seperti Future Classroom Challenge memadukan mahasiswa teknologi, psikologi pendidikan, dan desain untuk menciptakan ruang belajar masa depan yang interaktif dan berbasis pengalaman. Tema lain seperti EduTech for All, Green Hack, hingga Youth for Mental Health mendorong solusi sosial berbasis teknologi yang inklusif dan relevan.
Data dari Stanford University (2023) menunjukkan bahwa partisipasi rutin dalam hackathon meningkatkan kemampuan kolaboratif lintas disiplin hingga 38%, serta memperkuat kemampuan berpikir kritis dan problem-solving. Di Indonesia, mahasiswa UGM melalui GreenHack 2024 menciptakan Sea Turtle Sphere, aplikasi konservasi penyu berbasis komunitas. Di Makassar, UMI menggelar Generative AI Hackathon yang mengeksplorasi integrasi AI dalam sistem pendidikan lokal.
Selain hackathon, laboratorium virtual juga berkembang. Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) meluncurkan Metaverse Moot Court Mahkamah Konstitusi, sebuah laboratorium hukum virtual pertama di Indonesia yang menawarkan pengalaman sidang simulasi dalam ruang digital.
Program mentoring profesional juga penting. Mahasiswa dibimbing langsung oleh praktisi industri untuk memahami lebih dalam dunia kerja yang sebenarnya—bukan hanya dari buku teks, tetapi dari pengalaman nyata.
Transformasi Perguruan Tinggi: Keniscayaan Zaman
Transformasi ini bukan pilihan, tapi keharusan. Kurikulum harus diperbarui secara berkala, teknologi perlu diintegrasikan dalam pembelajaran, dan kemitraan dengan industri harus diperkuat. Pendidikan tinggi harus melahirkan problem-solver, bukan hanya pencari kerja. Kampus harus menjadi pusat inovasi dan kewirausahaan, tempat mahasiswa menjadi agen perubahan yang menciptakan solusi dan lapangan kerja.
Dosen bukan lagi satu-satunya sumber ilmu, tetapi fasilitator dan pembelajar sepanjang hayat. Kampus perlu menjadi ekosistem inklusif, berkelanjutan, dan terhubung secara global. Kurikulum berbasis proyek dan interdisipliner menjadi jalan menuju masa depan.
Pendidikan tinggi juga harus menanamkan kesadaran identitas dan nilai. Menjadi manusia pembelajar bukan hanya menyerap informasi, tetapi memahami tempat kita berdiri di tengah zaman yang terus berubah—berpikir kritis tanpa sinis, berempati tanpa naif, dan bersaing tanpa kehilangan moralitas.
Kampus masa depan bukan menara gading, tapi jembatan: antara masa lalu dan masa depan, antara mimpi dan realitas, antara potensi dan pencapaian.
Dunia sudah berubah. Jika kampus tetap kaku dan statis, ia akan ditinggalkan oleh generasi yang tidak menunggu untuk diajari, tetapi haus untuk belajar sendiri.
Kini saatnya bertanya: apakah perguruan tinggi kita siap menjadi bagian dari masa depan, atau tetap menjadi bayang-bayang masa lalu?
Semoga kecintaan kita pada generasi bangsa ini membawa kita pada diskusi dan tindakan konstruktif demi masa depan bersama. Ayo..! Wallahu a’lam bisshawab.
-Moel’S@02052025-
Editor: Denun