Konsekuensi Setelah MK Tinjau UU ITE

  • Whatsapp
Contoh kebebasan ekspresi (CNN)

PELAKITA.ID – Mahkamah Konstitusi (MK) pada 29 April 2025 telah mengabulkan sebagian uji materi terhadap Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Putusan ini menjadi tonggak penting dalam sejarah kebebasan berekspresi dan perlindungan hak-hak sipil di Indonesia. Dengan meninjau dan merevisi sejumlah pasal yang selama ini dianggap multitafsir dan rentan disalahgunakan, MK telah membuka jalan menuju kehidupan demokrasi yang lebih sehat dan setara.

Putusan Kunci dan Dampaknya

Salah satu poin penting dalam putusan MK adalah terhadap Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang mengatur pencemaran nama baik. MK menegaskan bahwa pasal ini tidak dapat digunakan untuk mempidanakan kritik terhadap lembaga pemerintah, institusi, maupun korporasi.

Ini berarti, ruang untuk menyampaikan aspirasi, kritik, dan evaluasi terhadap badan publik kini lebih terbuka dan terlindungi secara hukum.

Selanjutnya, Pasal 14 dan 15 UU No. 1 Tahun 1946 yang disisipkan melalui UU ITE dan mengatur soal penyebaran berita bohong (hoaks), kini hanya dapat digunakan untuk mempidanakan tindakan yang benar-benar menyebabkan kerusuhan atau gangguan fisik terhadap ketertiban umum.

Dengan kata lain, tidak semua penyebaran informasi yang keliru atau hoaks di dunia digital bisa serta-merta diproses secara pidana.

Putusan lain yang tak kalah penting adalah terhadap Pasal 27A jo. Pasal 45 ayat (4) yang merupakan tambahan dalam revisi terakhir UU ITE. MK menegaskan bahwa kritik sebagai bentuk koreksi tidak dapat dijerat hukum. Ini adalah perlindungan konkret bagi kritik konstruktif yang dilandasi oleh kepentingan publik, bukan sekadar opini negatif atau penghinaan personal.

Dampak Positif terhadap Demokrasi

Putusan MK ini membawa angin segar bagi kehidupan demokrasi di Indonesia. Pertama, keputusan ini melindungi kebebasan berekspresi dan berpendapat yang selama ini kerap terancam oleh jerat pasal-pasal karet. Warga negara kini memiliki ruang yang lebih aman untuk menyampaikan kritik terhadap kebijakan, tanpa rasa takut akan kriminalisasi.

Kedua, ini adalah langkah strategis untuk mencegah penyalahgunaan hukum sebagai alat pembungkam suara-suara kritis, terutama dari kalangan aktivis, jurnalis, dan pengguna media sosial. UU ITE kerap menjadi instrumen represif yang menyasar mereka yang vokal, dan keputusan ini mengurangi celah penyalahgunaan tersebut.

Ketiga, keputusan ini memperkuat peran publik sebagai pengawas kekuasaan. Kritik yang disampaikan melalui media sosial, forum diskusi, atau tulisan kini dapat diposisikan sebagai bagian sah dari kontrol sosial terhadap pemerintah dan lembaga publik lainnya.

Keempat, institusi negara dan korporasi kini akan lebih terdorong untuk terbuka dan akuntabel, karena tidak lagi bisa berlindung di balik laporan pencemaran nama baik ketika menghadapi kritik publik.

Terakhir, MK juga membantu memperjelas batas hukum antara kebebasan berekspresi dan pelanggaran hukum. Hanya ekspresi yang berdampak nyata secara fisik, seperti menimbulkan kerusuhan atau ketertiban umum terganggu, yang dapat dijerat pidana.

Putusan MK atas uji materi UU ITE ini menjadi contoh nyata bagaimana konstitusi melindungi hak asasi warga dan mendorong iklim demokrasi yang sehat.

Ini juga menjadi pengingat bagi semua pihak—pemerintah, penegak hukum, dan masyarakat sipil—bahwa kritik bukanlah musuh negara, melainkan bagian penting dari proses koreksi, akuntabilitas, dan pembelajaran kolektif.