Buruh Bukan Alat, Mereka Napas Kehidupan

  • Whatsapp
Buruh di Pelabuhan Paotere (dok: Pelakita.ID)

PELAKITA.ID – Di negeri yang menjunjung tinggi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, masih terlalu banyak peluh yang belum terbayar lunas.

Buruh terlalu banyak tangan kasar yang menunduk dalam diam. Terlalu banyak suara serak yang hanya terdengar setahun sekali—itu pun sering dibungkam atas nama stabilitas.

Mereka menyebutnya buruh. Kita lebih suka menyebut mereka “tenaga kerja”, “karyawan”, atau “pekerja lapangan”.

Istilah-istilah yang terdengar lebih halus, namun tak mengubah kenyataan: mereka memikul beban terberat dari roda ekonomi, tetapi sering menerima imbalan paling ringan.

Pernahkah kita bertanya: siapa yang membuat pakaian yang kita kenakan, merakit kendaraan yang kita kendarai, atau memanen padi yang kita makan setiap hari?

Jawabannya: para buruh—mereka yang bangun sebelum matahari terbit dan pulang saat cahaya telah padam.

Mereka tak tercatat dalam buku sejarah, tetapi menjadi fondasi tak tertulis dari peradaban.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, hingga Februari 2024 terdapat lebih dari 78 juta orang bekerja sebagai buruh, karyawan, dan pegawai di Indonesia.

Namun, hanya 44 persen yang menikmati pekerjaan layak. Artinya, lebih dari separuhnya hidup dalam bayang-bayang eksploitasi: kontrak tanpa kepastian, upah minimum yang disulap menjadi cukup oleh retorika penguasa, serta absennya perlindungan kesehatan dan jaminan sosial.

Masihkah kita berani menyebut ini sebagai kemajuan?

Hari Buruh Internasional, 1 Mei, sering dijadikan panggung teatrikal oleh mereka yang duduk di kursi kekuasaan.

Ada pidato, bunga, janji—tapi tidak ada perubahan berarti.

Di balik perayaan simbolik itu, ribuan buruh justru kehilangan pekerjaan karena bersuara. Pekerja perempuan kehilangan hak cuti melahirkan.

Tukang sapu, buruh tani, kuli bangunan, dan pengemudi ojol terus berjalan, meski hidup mereka terasa tak berpijak.

Tokoh buruh internasional, Eugene V. Debs, pernah berkata, “While there is a lower class, I am in it; while there is a criminal element, I am of it; while there is a soul in prison, I am not free.”

Sebuah ungkapan solidaritas yang mengingatkan kita bahwa kebebasan sejati takkan pernah hadir selama masih ada manusia yang tertindas.

Apakah keadilan sosial hanya milik mereka yang punya saham?

Dalam Islam, buruh dipandang mulia. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Seseorang yang makan dari hasil keringatnya sendiri lebih dicintai Allah daripada yang meminta-minta.”

Bahkan beliau menegaskan, “Bayarlah upah sebelum keringatnya kering.” Namun ironi terjadi di negeri mayoritas Muslim ini. Kita memuliakan ibadah, tapi mengabaikan pekerja. Kita khusyuk mendengar khutbah, tapi menutup mata atas upah yang belum dibayar.

Sungguh ironis.

Saat kita memperingati Hari Buruh, sejatinya kita sedang bercermin. Apa yang kita lihat? Sebuah bangsa yang adil dan beradab? Atau negeri yang sibuk membungkus ketidakadilan dengan statistik dan jargon pembangunan?

Buruh bukan sekadar angka di tabel Excel. Bukan deretan nama di daftar absensi.

Mereka adalah manusia—dengan harapan, keluarga yang menanti di rumah, dan anak-anak yang bercita-cita naik panggung wisuda, bukan panggung demonstrasi.

Jangan lagi kita menyederhanakan perjuangan mereka menjadi seremoni satu hari. Jadikan Hari Buruh sebagai momentum untuk mereformasi sistem kerja yang timpang. Hentikan kriminalisasi terhadap serikat pekerja. Hapuskan kontrak seumur hidup. Wujudkan jaminan sosial yang benar-benar menjamin. Dan yang terpenting: naikkan upah minimum yang mencukupi kebutuhan dasar manusia.

Buruh bukan alat. Mereka adalah nafas kehidupan. Tanpa mereka, gedung-gedung megah hanyalah kerangka kosong. Jalanan hanya debu tak berarah. Negara hanyalah nama tanpa isi.

Jika kita masih tega membiarkan mereka hidup dalam nestapa, maka kita sedang menggali kubur bagi martabat kemanusiaan itu sendiri.