Ni’matullah RB: Menulis sebagai Kontrol Sosial

  • Whatsapp
Ni'matullah RB (dok: Pelakita.ID)

Ia juga menyinggung minimnya ruang terbuka hijau di Makassar, yang sangat jauh tertinggal dibanding kota-kota besar seperti Jakarta.

PELAKITA.ID – Di tengah situasi sosial-politik dan ekonomi yang semakin dinamis dan rentan terpolirasi menjadi konflik sosial, Ketua DPD Partai Demokrat Sulawesi Selatan, Ni’matullah Erbe, mengajak masyarakat untuk aktif menulis dan berpikir kritis tentang apa yang sedang terjadi di sekeliling kita.

Menurutnya, ada urgensi untuk memetakan ulang peran warga dalam pembangunan—baik dalam ruang privat maupun publik.

“Turbulensinya sangat tinggi, pergeseran terjadi sangat cepat. Karena itu, perlu ada kelompok-kelompok yang memikirkan bagaimana kita bisa menjadi lebih baik, lebih sejahtera,” ujarnya dalam Workshop Menulis Isu Desa-Kota yang digelar oleh Pelakita.ID di Cafe Red Corner, Jumat, 11 April 2025.

Acara ini didukung oleh jejaring Partai Demokrat Sulsel, Ketua IKA Unhas Samarinda hingga tokoh KKSS Tolitoli, Rustan Rewa.

Memahami Barang Privat dan Publik

Ni’matullah memulai dengan menjelaskan pentingnya membedakan antara barang privat (private goods) dan barang publik (public goods).

Dalam praktiknya, kata pria yang akrab disapa Ketua Besar itu, masyarakat sering kali tidak bisa membedakan keduanya.

“Akibatnya, muncul tuntutan-tuntutan kepada pemerintah daerah yang sejatinya bukan tanggung jawab negara, melainkan urusan pribadi atau komunitas,” kata dia.

Sebaliknya, banyak aspek yang jelas-jelas merupakan bagian dari hak publik malah terabaikan. Salah satu yang paling krusial, menurutnya, adalah lingkungan hidup.

“Lingkungan hidup itu adalah barang publik. Sayangnya, pemerintah dari pusat sampai daerah cenderung mengabaikannya. Padahal, ini hak kita sebagai warga untuk mendapatkan lingkungan yang sehat dan bebas bencana,” tegasnya.

Banjir, Gunung Gundul, dan Minimnya Ruang Terbuka Hijau

Sebagai contoh nyata, Ni’matullah menyinggung Kota Makassar yang kini akrab dengan genangan dan banjir musiman. Padahal, di masa lalu, daerah-daerah seperti Pangkep dan Maros nyaris tidak pernah mengalami banjir.

“Gunung mulai gundul, sungai tidak diurus. Pemerintah kota seperti tidak menganggap ini persoalan serius,” ungkapnya prihatin.

Para peserta Wokrhsop Menulis Isu Desa-Kota (dok: Pelakita.ID)

Ia juga menyinggung minimnya ruang terbuka hijau di Makassar, yang sangat jauh tertinggal dibanding kota-kota besar seperti Jakarta.

Menulis: Tindakan Sederhana dengan Dampak Besar

Ni’matullah mengajak warga dan kelompok masyarakat sipil untuk aktif menulis soal isu-isu publik yang kerap terabaikan.

Menurutnya, tidak perlu menjadi penulis profesional atau menerbitkan opini di media nasional. Cukup dengan membahasnya di forum-forum kecil, tulisan-tulisan blog, atau diskusi komunitas.

“Kalau hal-hal kecil ini kita kerjakan ramai-ramai, itu luar biasa dampaknya,” ujarnya.

Ia mencontohkan seorang bupati di Jawa yang tiap kali ada perayaan keluarga seperti ulang tahun, ia menanam pohon.

Tradisi kecil yang bisa menjadi simbol kepedulian nyata terhadap lingkungan.

Pemerintahan dan Narasi Besar yang Menenggelamkan Isu Rakyat

Ni’matullah juga menyoroti cara pemerintah—baik pusat maupun daerah—sering kali hanya mengangkat isu-isu besar yang ‘wah’, seperti proyek jalan dan jembatan, sementara masalah pendidikan, kesehatan, nelayan, dan kebersihan lingkungan jarang mendapat tempat.

“Kalau bukan suara media, tak akan dibicarakan. Media pun terjebak ikut bicara soal headline besar, padahal soal-soal warga tak kalah pentingnya.”

Ia bahkan menyindir bagaimana proyek pengelolaan sampah hanya dibahas dari sisi teknologi, bukan dari akar persoalan seperti efisiensi, lahan, atau transparansi anggaran.

Menulis Sebagai Kontrol Sosial

Dalam penutupnya, Ni’matullah menekankan bahwa menulis adalah bagian dari kontrol sosial. Ia berharap semakin banyak penulis yang mampu menyuarakan kegelisahan publik secara tajam namun realistis.

“Tulisan-tulisan semacam itu penting untuk melawan narasi besar yang kerap menenggelamkan suara rakyat. Kita perlu tulisan yang menggigit dan menyentuh kenyataan.”

Dengan semangat ini, Ni’matullah berharap gerakan menulis bisa menjadi bagian dari kesadaran warga untuk menjaga, memperjuangkan, dan membenahi kehidupan bersama.

Redaksi