Di dunia yang bergerak cepat, waktu tak lagi seragam.
PELAKITA.ID – Waktu adalah misteri yang merayap pelan dan diam di sela-sela detak jantung, kedipan mata, dan desir angin. Ia tak terlihat, namun kehadirannya menggerakkan semesta.
Ia tak bersuara, namun gaungnya menggema dalam riuh kehidupan. Waktu tak pernah benar-benar kita miliki—ia hanya singgah, melintasi kita dengan langkah yang tak bisa dihentikan, meninggalkan jejak dalam ingatan, kenangan indah, kerut di wajah, dan reruntuhan masa lalu.
Secara ilmiah, waktu bukanlah hal yang absolut. Teori relativitas Einstein mengajarkan bahwa waktu bisa melambat atau memanjang, bergantung pada kecepatan dan gravitasi—tergantung pada situasi dan kondisi yang kita alami dan rasakan.
Di dunia yang bergerak cepat, waktu tak lagi seragam.
Seseorang di bumi dan seseorang yang menjelajah ruang angkasa dengan kecepatan mendekati cahaya bisa menua dalam ritme yang berbeda.
Maka waktu, yang selama ini kita anggap sebagai penguasa tunggal, ternyata tunduk pada hukum gerak dan ruang. Ia relatif, lentur, dan kadang menipu.
Namun meski bisa dijelaskan oleh ilmu, waktu tetap sakral dalam pandangan hati manusia dan perspektif agama. Dalam setiap kebudayaan, waktu adalah ruh yang menciptakan keteraturan—siang dan malam, musim dan usia. Dalam agama-agama besar, waktu memegang tempat agung dalam dimensi spiritual.
Dalam Islam, waktu adalah amanah. Allah bersumpah atasnya dalam Al-Qur’an: “Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar dalam kerugian…” (QS Al-‘Ashr). Waktu adalah ujian, medan pengabdian, dan jembatan menuju keabadian. Setiap detik dihitung; setiap detak jantung, tarikan napas, dan amal diberi nilai oleh perjalanan waktu.
Dalam Kekristenan, waktu adalah arena kasih karunia. “Untuk segala sesuatu ada masanya,” tulis Pengkhotbah. Ada waktu untuk lahir dan waktu untuk mati. Waktu adalah karunia Tuhan untuk bertumbuh, mengasihi, dan menebus kesalahan.
Dalam Hindu, waktu dipandang sebagai siklus abadi—kala, yang menandai kelahiran, kematian, dan kelahiran kembali. Waktu bukan garis lurus, melainkan lingkaran tak berujung. Dalam tiap putaran, manusia diberi kesempatan untuk menyatu kembali dengan Sang Mahadewa.
Dalam pandangan Buddha, waktu adalah ilusi yang tercipta dari pikiran. Masa lalu telah tiada, masa depan belum datang. Yang nyata hanyalah momen kini. Maka kehadiran penuh dalam saat ini adalah bentuk tertinggi dari kesadaran.
Lalu, bagaimana kita harus menyikapi waktu—makhluk tak kasat mata yang begitu berkuasa ini?
Barangkali jawabannya bukanlah melawan waktu, melainkan merayakannya. Menjadikan tiap detik sebagai kesempatan untuk mencinta, belajar, memberi, dan merenung.
Waktu bukan musuh, tapi sahabat perjalanan—teman setia yang mengingatkan kita bahwa hidup ini fana. Dan justru karena kefanaan itulah, hidup menjadi indah.
Seperti bunga yang hanya mekar semalam, atau senja yang tak pernah tinggal lama—karena terbatas, segalanya menjadi berharga dan bermakna.
Kita bukan penguasa waktu, tapi kita punya kuasa untuk memilih bagaimana menyikapinya. Apakah kita akan larut dalam penyesalan masa lalu? Terpenjara dalam kekhawatiran akan masa depan? Atau justru memilih untuk hadir sepenuhnya dalam detik ini—mendengar, merasakan, menikmati, mencintai?
Karena waktu, sejatinya, bukan hanya tentang jam yang berdetak, melainkan tentang hidup yang terasa dan bermakna. Tentang aktivitas yang menebar manfaat bagi sesama dan semesta.
Waktu adalah puisi semesta yang ditulis dengan sunyi. Dan kita—masing-masing dari kita—adalah penyair yang memaknainya melalui hidup dan peran yang kita jalani. Kita bertanggung jawab atas bagaimana kita menggunakan anugerah ini, kepada Sang Pencipta dan Pemberi waktu.
Wallahu A‘lamu Bishawab.
Moel’S@08042025