Resensi Buku | A. Amiruddin, Nakhoda dari Timur – Edisi Revisi

  • Whatsapp
Buku A. Amiruddin, Nakhoda dari Timur – Edisi Revisi menghadirkan lima bagian utama yang masing-masing memuat sejumlah tulisan. (dok: Pelakita.ID)

Konon, anekdot yang melekat padanya berbunyi: “Jangankan orang hidup, orang mati saja bisa dia bangunkan dan pindahkan.”

Penulis: M. Dahlan Abubakar, Rudy Harahap, S.M. Noor, Baso Amir, dan Ridwan Effendy
Penerbit: Unhas Press
Tahun Terbit: 2024
Tebal: 604 halaman

Sekilas Tentang Buku

Buku A. Amiruddin, Nakhoda dari Timur – Edisi Revisi menghadirkan lima bagian utama yang masing-masing memuat sejumlah tulisan.

Bagian pertama, “Kehilangan Kedua”, berisi kisah penolakan jabatan oleh A. Amiruddin hingga puisi yang ditulis untuk memperingati 40 hari kepergiannya.

Bagian kedua, “Rumah Pakue”, memuat tulisan tentang Desa Gilireng hingga pengalaman mengajar di Semenanjung Malaysia. Bagian-bagian lain mengangkat tema pemindahan kampus Unhas, kisah “Luka Parah”, dan bagian reflektif “Mereka Mengenang Nakhoda” yang memuat 36 tulisan dari berbagai tokoh.

Bagian-bagian tersebut menyuguhkan cakrawala yang kaya tentang sosok A. Amiruddin—seorang figur berprestasi yang tak hanya meninggalkan jejak di dunia akademik, tetapi juga dalam prakti, etika birokrasi dan dinamika perencanaan dan implementasi pembangunan daerah.

Dari sisi tata letak, buku ini tampil baik. Pemilihan jenis dan ukuran huruf ramah bagi pembaca usia 50 tahun ke atas.

Meski ada yang menganggap sampulnya kurang modern, bagi penulis resensi ini, desain tersebut justru terasa heroik dan menyenangkan, terutama karena menampilkan senyum khas A. Amiruddin.

Ringkasan Isi

Buku ini menghamparkan sisi-sisi personal dan profesional Prof. Dr. Ahmad Amiruddin—seorang ilmuwan, akademisi, dan birokrat terkemuka Indonesia.

Ia menjabat sebagai Gubernur Sulawesi Selatan selama dua periode (1983–1993), setelah sebelumnya menjabat sebagai Rektor Universitas Hasanuddin (1973–1982).

Selama menjabat rektor, ia memprakarsai pemindahan kampus Unhas dari Baraya ke Tamalanrea, yang diresmikan pada 17 September 1981.

=Sebagai gubernur, Prof. Amiruddin memperkenalkan pendekatan pembangunan yang dikenal sebagai “Tri Konsep Pembangunan Sulsel”, yang mencakup perubahan pola pikir, perwilayahan komoditas, dan strategi petik-olah-jual.

Konsep ini kemudian menjadi cikal bakal dari gagasan hilirisasi yang kini ramai digaungkan, meskipun penerapannya tidak selalu konsisten.

Penulis buku ini berupaya menggali alasan di balik dedikasi A. Amiruddin dalam membangun Sulsel. Tak hanya gagasan-gagasannya yang terbukti berhasil, tetapi juga keberanian dan kegigihannya dalam menghadapi tantangan serta melawan arus pandangan utama (mainstream).

Beberapa kebijakan yang awalnya kontroversial, seperti pemindahan pekuburan Tionghoa di Jalan Urip Sumohardjo, kini dikenang sebagai wujud ketegasan dan visi ke depan.

Konon, anekdot yang melekat padanya berbunyi: “Jangankan orang hidup, orang mati saja bisa dia bangunkan dan pindahkan.”

Ulasan Kritis

Kekuatan utama buku ini terletak pada kekayaan narasinya tentang kehidupan pribadi, latar pendidikan, jaringan profesional, dan rekam jejak birokrasi A. Amiruddin. Buku ini relevan sebagai bahan renungan ulang tentang arti pendidikan, etika, serta keberanian dalam pengambilan keputusan penting demi kemajuan daerah.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Lebih dari sekadar biografi, buku ini adalah dokumen penting yang menyimpan jejak intelektual, etis, dan strategis dari seorang tokoh besar.

Ia dapat dijadikan rujukan oleh siapa pun—baik perencana pembangunan, akademisi, aktivis LSM, hingga pemimpin pemerintahan—yang ingin belajar dari keberanian dan visi seorang nakhoda dari timur yang telah menjadikan Sulawesi Selatan sebagai cermin kemajuan Indonesia.

Satu lagi, buku ini cocok dibaca peserta HBH KKSS, atau peserta Pertemuan Saudagar Bugis Makassar yang akan dihelat pekan ini.

Penulis Daeng Nuntung, founder Pelakita.ID