PELAKITA.ID – Bulan Syawal datang membawa harapan. Setelah sebulan penuh menjalani latihan spiritual di bulan Ramadan, umat Islam diajak menyempurnakan ibadah dengan berpuasa enam hari di bulan Syawal.
Sebuah amalan yang diyakini mendatangkan pahala seolah berpuasa sepanjang tahun. Namun, lebih dari itu, puasa Syawal bisa dimaknai sebagai simbol kesinambungan—kesinambungan perbaikan, pengendalian diri, dan komitmen terhadap nilai-nilai luhur.
Lalu bagaimana jika bangsa Indonesia, secara kolektif, juga menjalani sebuah “puasa bangsa”?
Bukan semata menahan lapar dan dahaga, tetapi menahan diri dari enam keburukan besar yang selama ini menggerogoti negeri: korupsi, ketimpangan pendidikan, kesenjangan sosial-ekonomi, pengangguran, lemahnya infrastruktur, dan kerusakan lingkungan.
Enam hari puasa Syawal bisa kita maknai sebagai enam hari refleksi kolektif bangsa—sebuah jeda kesadaran untuk menahan diri dari enam penyakit kronis ini. Mari kita renungkan satu per satu.
Hari Pertama: Berpuasa dari Korupsi
Korupsi adalah luka lama yang belum juga sembuh. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada 2024 tercatat 37 dari 100—masih jauh dari harapan. Bahkan, Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) masyarakat menurun dari 3,92 menjadi 3,85 (skala 0–5).
Ini bukan sekadar angka, melainkan cermin budaya yang telah menyusup hingga ke nadi keseharian.
Puasa bangsa hari pertama mengajak kita menahan diri dari segala bentuk kecurangan, menyemai kejujuran, dan menumbuhkan integritas—di kantor, pasar, sekolah, dan ruang-ruang publik lainnya.
Hari Kedua: Berpuasa dari Ketimpangan Pendidikan
Pendidikan belum menjadi jembatan keadilan bagi semua anak bangsa. Akses pendidikan dasar memang meluas, tetapi partisipasi pendidikan tinggi pada usia 19–23 tahun hanya mencapai 29,01% pada 2024.
Artinya, mayoritas generasi muda belum mendapat peluang untuk memperbaiki nasib lewat pendidikan.
Puasa bangsa hari kedua berarti komitmen bersama untuk menciptakan sistem pendidikan yang adil, merata, dan bebas diskriminasi—entah itu berbasis wilayah, ekonomi, atau latar sosial.
Hari Ketiga: Berpuasa dari Kesenjangan Sosial-Ekonomi
Gini Ratio Indonesia berada di angka 0,379. Meski sedikit menurun, ketimpangan tetap membelah. Satu persen penduduk terkaya masih menguasai kekayaan yang besar, sementara jutaan lainnya berjuang untuk makan dan bertahan.
Puasa bangsa hari ketiga mengajak kita menahan diri dari gaya hidup hedonistik dan mulai mendukung kebijakan-kebijakan yang berpihak pada redistribusi kesejahteraan. Karena keadilan sosial bukan retorika, melainkan hak setiap warga.
Hari Keempat: Berpuasa dari Pengangguran dan Ketidaksesuaian Keahlian
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) per Agustus 2024 menurun ke angka 4,91%, namun tantangan utama tetap ada: mismatch antara pendidikan dan kebutuhan industri. Banyak lulusan menganggur karena keterampilan yang tak relevan.
Puasa bangsa hari keempat mengajak kita menahan diri dari sistem yang stagnan, dan berani membuka jalan bagi pelatihan, inovasi, serta penciptaan lapangan kerja yang bermartabat dan berkelanjutan.
Hari Kelima: Berpuasa dari Ketimpangan Infrastruktur dan Layanan Publik
Meski realisasi belanja infrastruktur mencapai Rp282,9 triliun per Oktober 2024, masih banyak daerah terpencil yang tertinggal. Jalan rusak, transportasi publik minim, layanan administratif berbelit, dan fasilitas kesehatan terbatas.
Puasa bangsa hari kelima adalah ajakan menahan diri dari abai dan ketidakpedulian—dan mulai menata pembangunan yang lebih inklusif, tepat guna, dan berpihak pada mereka yang terpinggirkan.
Hari Keenam: Berpuasa dari Kerusakan Lingkungan
Deforestasi seluas 175,4 ribu hektare pada 2024 menunjukkan bahwa alam masih jadi korban. Hutan hilang, habitat punah, air bersih menipis, udara makin tercemar. Ini adalah tanda-tanda krisis ekologis yang tak bisa diabaikan.
Puasa bangsa hari keenam berarti menahan nafsu eksploitasi, dan menggantinya dengan penghormatan terhadap bumi sebagai titipan. Karena lingkungan bukan warisan, melainkan amanah untuk generasi mendatang.
Penutup: Enam Hari, Enam Laku, Enam Pengingat
Enam hari. Enam refleksi. Enam peluang untuk menjadikan Indonesia lebih baik—jika setiap individu, setiap institusi, dan setiap pemimpin bersedia melakukan puasa kolektif dari “dosa-dosa sosial” ini.
Puasa bangsa bukan simbol kosong, tapi bentuk nyata dari kendali diri sosial. Jika satu orang berpuasa, itu baik. Tapi jika satu bangsa berpuasa dari keserakahan, ketidakadilan, dan kelalaian kolektif, maka itu adalah permulaan bagi lahirnya sebuah peradaban baru.
Mari jalani puasa Syawal bukan hanya dengan perut, tapi juga dengan hati dan tindakan kolektif. Enam hari—enam tekad—yang akan menentukan wajah Indonesia dalam dua belas bulan ke depan, dan seterusnya.
Wallahu A’lamu Bissawab.
—Moel’S | 06.04.2025