Penulis, Dr. Mulyadi Opu Andi Tadampali adalah Dosen SKSG UI-Pascasarjana Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia
PELAKITA.ID – Militer dan politik merupakan tema besar dan luas yang selalu aktual dan faktual dibincangkan, baik di dunia akademik maupun di dunia praktik.
Tema ini juga sangat sensitif dalam konteks kekuasaan, lantaran dua dimensi kekuasaan bertemu dalam institusi non-militer, yaitu: (1) militer yang berkaitan dengan kekuasaan berdimensi kekuatan, berbasis pada otot dan senjata; dan (2) politik yang berkaitan dengan kekuasaan berdimensi kewenangan (otoritas), berbasis pada jabatan/pangkat.
Di dunia akademik, tema ini selalu penting, menarik, dan unik untuk diangkat karena menawarkan berbagai objek studi.
Mulai dari fenomena pemerintahan militer (studi tipe rezim militer), karakteristik militer suatu negara (studi tipologi militer), hingga fenomena perang dan pertempuran militer di suatu kawasan/wilayah (studi tipe perang), serta ragam diplomasi militer oleh negara-negara powerfull (studi bentuk-bentuk diplomasi militer).
Seperti diplomasi kapal induk oleh militer Amerika, diplomasi nuklir oleh militer Rusia, dan diplomasi misil oleh militer China.
Sedangkan di dunia praktis, tema ini selalu menjadi pro-kontra yang mendesak untuk diselesaikan.
Sebab, konflik yang bersifat horizontal dan potensial laten ini dapat memperburuk hubungan sipil-militer, lantaran motifnya lebih cenderung pada pragmatisme politik ketimbang motif ideologis. Implikasinya adalah ketahanan nasional, terutama di bidang pertahanan militer, yang terabaikan.
Padahal, alasan dan penyebab konfliknya hanya dilatari oleh perbedaan asumsi tentang karakteristik pejabat otoritas sipil yang berlatar belakang militer dan non-militer.
Sulit dipungkiri bahwa orang-orang sipil yang anti-rezim otoriter sangat akrab dengan asumsi bahwa pemimpin berlatar belakang militer cenderung otoriter, dan sebaliknya, pemimpin berlatar belakang non-militer cenderung demokratis. Padahal, terdapat banyak kasus di mana keduanya sama-sama tidak demokratis atau sama-sama otoriter.
Bahkan, jika menoleh pada kasus-kasus ekstrem, dengan mudah dapat dirujuk fenomena di mana pejabat otoritas sipil berlatar belakang non-militer justru lebih otoriter dibanding pejabat yang berlatar belakang militer.
Di dunia politik praktis, tema ini terus dipolitisasi untuk saling menyingkirkan, sehingga terkesan ada kompetisi dan arogansi antara orang-orang sipil dan orang-orang militer dalam memperebutkan “lahan politik” yang dipandangnya empuk.
Padahal, tema ini seharusnya terus diadaptasi untuk mencari kesamaan pemahaman dalam membangun pertahanan nasional guna memperkokoh ketahanan nasional, khususnya di bidang pertahanan militer.
Di dunia akademik, mungkin baru saya yang mendalami militer dan politik Indonesia secara linear: dari skripsi S1 (1988-1996), tesis S2 (2001-2004), hingga disertasi S3 (2004-2009).
Studi saya yang relatif panjang tentang militer dan politik di Indonesia dengan objek riset konsepsi dan implementasi dwi fungsi APRI, kekaryaan ABRI, dan supremasi sipil telah menghasilkan teori baru berupa Teori Militer Revolusioner Profesional.
Teori ini melengkapi teori tipologi militer yang ada sebelumnya, yakni: teori militer revolusioner (Amos Perlmutter), teori militer profesional (Samuel Phillips Huntington), dan teori militer pretorian (Eric A. Nordlinger).
Artikel pendek ini bertujuan menarik benang merah pemisah antara tiga tema besar: dwi fungsi APRI, kekaryaan ABRI, dan supremasi sipil, yang dalam praktiknya telah “dioplos”, sehingga menimbulkan resistensi.
Mengingat luasnya lingkup dan maknanya, artikel ini hanya menyajikan deskripsi singkat ketiganya, di mana pokok-pokok isinya bersumber dari hasil riset skripsi, tesis, dan disertasi saya.
Dwi Fungsi APRI
Dari sudut pandang militer, konsepsi dwi fungsi Angkatan Perang Republik Indonesia (Dwi Fungsi APRI) sejatinya merupakan turunan dari konsepsi perang total (total war).
Secara historis, konsepsi ini sudah dikenal lama di negara-negara klasik Yunani Kuno dalam bentuknya yang tradisional, seperti dalam Perang Peloponnesia, Perang Troya, dan Perang Messenia, yang dicirikan oleh perlawanan total dengan pelibatan warga sipil sebagai prajurit dan mobilisasi sumber daya politik serta ekonomi.
Konsepsi ini lalu berkembang menjadi modern di tangan Jenderal Prusia, Carl Phillip Gottfried von Clausewitz.
Di Indonesia sendiri, dari sudut pandang sejarah politik militer, dwi fungsi APRI merupakan hasil kreasi yang memadukan kemahiran perang gerilya dari Jenderal Soedirman (hasil didikan militer PETA/Heiho Jepang) dan kemahiran perang teritorial dari Jenderal A.H. Nasution (hasil didikan militer KNIL Belanda).
Ide ini mulai diterapkan pada masa Perang Kemerdekaan I/Gerilya I dan dikembangkan pada masa Perang Kemerdekaan II/Gerilya II sebagai perangkat perang gerilya Pemerintahan Rakyat Semesta.
Kekaryaan ABRI
Ide kekaryaan ABRI yang dicetuskan oleh Jenderal A.H. Nasution pasca-penumpasan pemberontakan daerah (DI/TII dan PRRI/Permesta) sangat mengakar pada prinsip kepeloporan dan kedaruratan. Konsepsi ini merupakan turunan dari fungsi misi sipil (civic mission) militer.
Oleh karena itu, secara politis, kekaryaan ABRI sejatinya adalah pedoman otoritas sipil dalam permintaan bantuan kepada pihak militer guna menempatkan prajurit aktif dalam jabatan non-militer yang berkaitan langsung dengan tugas dan fungsi pemerintahan umum.
Supremasi Sipil
Konsep supremasi sipil mengacu pada kontrol otoritas sipil terhadap penggunaan kekuasaan (kekuatan) militer.
Dalam konteks relasi sipil-militer, makna otoritas sipil merujuk pada institusi politik (lembaga pemerintahan negara) yang bergerak atas dasar mandat kedaulatan rakyat, seperti eksekutif politik puncak (Presiden) dan legislatif puncak (DPR) yang pejabat/anggotanya dipilih berdasarkan hasil pemilu.
Negara Polisi vs Negara Militer
Ibarat mengidap kanker ganas, penyakit Republik ini sudah berada di stadium tiga (level oligarkis). Tinggal menunggu naik ke stadium empat (level mobokrasi/ochlokratia) untuk memasuki kematiannya.
Pada era Presiden Soeharto, Republik ini berada di bawah bayang-bayang “negara militer”. Selanjutnya, dari era Gus Dur hingga era Jokowi, Republik ini berada di bawah bayang-bayang “negara polisi”.
Keduanya buruk dan tidak diinginkan oleh publik politik. Namun, sebagai perbandingan, secara teoritis jika dilihat dari bahayanya, “negara polisi” lebih berbahaya dibanding “negara militer”.
Bahaya dalam “negara militer” adalah militer menindas warga negara dengan senjata dan birokrasi. Sebaliknya, dalam “negara polisi”, polisi menindas warga negara dengan menggunakan senjata, hukum, dan birokrasi.
___
Tulisan ini adalah sepenuhnya merupakan hak dan tanggungjawab penulis