PELAKITA.ID – Perikanan rajungan di Indonesia memiliki peran penting dalam perekonomian nasional, terutama sebagai komoditas ekspor utama ke Amerika Serikat.
Sayangnya, industri ini menghadapi berbagai tantangan, mulai dari isu keberlanjutan, regulasi, hingga kesejahteraan nelayan skala kecil.
Artikel merupakan sintesa paparan Irham Rapy, Koordinator Kolaborasi Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan pada Knowledge Sharing Session Alumni Ilmu Kelautan Unhas yang digelar oleh Pelakita.ID kerjasama Ikatan Sarjana Kelautan Unhas ISLA Unhas, pada Jumat, 7 Maret 2025.
Berikut sejumlah petikan penting.
Dinamika Perikanan Rajungan Indonesia
Menurut Irham, rajungan merupakan salah satu komoditas ekspor terbesar Indonesia, menempati peringkat keempat berdasarkan volume dan ketiga berdasarkan nilai ekspor.
Sebagian besar produksi (85-90%) dikirim ke Amerika Serikat, menjadikan Indonesia sebagai eksportir rajungan terbesar ke negara tersebut dengan kontribusi sekitar 44% dari total impor rajungan Amerika, mengungguli China dan Filipina.
“Meskipun dominan di pasar global, perikanan rajungan menghadapi fluktuasi yang dipengaruhi oleh permintaan di Amerika, di mana konsumsi rajungan lebih banyak terjadi di restoran dan acara khusus, bukan sebagai makanan pokok. Hal ini menyebabkan harga rajungan cenderung tinggi,: kata dia.
Selain itu, kata Irham, mayoritas tangkapan rajungan di Indonesia berasal dari perikanan skala kecil.
“Diperkirakan ada sekitar 90.000 nelayan yang menggunakan kapal berukuran kurang dari 5 GT, 130.000 pekerja pengupas (mayoritas perempuan), serta 550 miniplant yang tersebar di seluruh Indonesia,” ujar Irham.
“Dengan rantai pasok yang kompleks dan keterbatasan infrastruktur, tantangan dalam menjaga kualitas dan keberlanjutan rajungan menjadi semakin besar,” sebutnya.
Tantangan Perikanan Rajungan
“Salah satu tantangan utama dalam perikanan rajungan adalah kurangnya dokumentasi dan data perikanan yang akurat,” ungkap Irham.
Dikatakan, banyak kapal nelayan yang tidak terdaftar secara resmi karena rajungan tidak didaratkan di pelabuhan resmi.
Ini mengakibatkan sulitnya pemantauan wilayah tangkap serta rentannya praktik Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU) Fishing.
Menurut laporan United States International Trade Commission tahun 2021, sekitar 15,4% produk perikanan Indonesia yang masuk ke Amerika berasal dari perikanan IUU.
“Hal ini memicu permintaan industri dan importir untuk meningkatkan transparansi dalam rantai pasok rajungan,” ucapnya.
Selain itu, Irham menyebut, standar keberlanjutan seperti sertifikasi Marine Stewardship Council (MSC) menjadi tantangan tersendiri bagi nelayan skala kecil karena membutuhkan waktu dan biaya tinggi.
“Oleh karena itu, program Fisheries Improvement Project (FIP) hadir sebagai langkah perbaikan yang menjembatani perikanan skala kecil menuju sertifikasi internasional,: tambahnya.
Upaya Keberlanjutan: Kolaborasi Multi-Pihak
Dikatakan Irham, dalam menghadapi tantangan ini, berbagai pihak telah melakukan inisiatif strategis: Pendekatan Pasar dan Regulasi.
Yaitu, organisasi seperti SP International NGO berperan dalam menggunakan kekuatan pasar untuk mendorong perbaikan sistem perikanan.
Dengan melibatkan lebih dari 30 mitra industri besar serta 150 perusahaan dalam Supply Chain Round Table, kebijakan pengadaan berkelanjutan diterapkan untuk meningkatkan praktik perikanan yang bertanggung jawab.
Kedua, Pendampingan Nelayan. Sejak 2020, pendekatan berbasis nelayan menjadi fokus utama. Hal ini mencakup:
“Memastikan hak nelayan dalam menangkap ikan sesuai regulasi, memperkuat organisasi nelayan agar lebih mandiri dan melibatkan berbagai pihak dalam menciptakan perikanan rajungan yang lebih berkelanjutan,” terang Irham.
Ketiga, mendorong adanya Forum Komunikasi Nelayan Rajungan Nusantara (Forkom Nelangsa)
Kata Irham, nelayan rajungan telah berinisiatif membentuk forum komunikasi yang bertujuan untuk meningkatkan manajemen dan pengambilan keputusan dalam perikanan.
“Forkom Nelangsa, yang telah dikawal sejak 2020, menjadi wadah diskusi bagi nelayan dari berbagai provinsi seperti Lampung, Jawa, dan Sulawesi,” sebutnya.
“Salah satu fokus utama forum ini adalah membantu nelayan dalam proses pendaftaran kapal dan akses ke sistem pendataan perikanan. Dengan pelatihan yang diberikan, nelayan kini dapat mencatat hasil tangkapan mereka sendiri untuk membantu estimasi stok perikanan.
Keempat, inisiatif konservasi dan ekonomi. “Beberapa kelompok nelayan telah mengembangkan program untuk membebaskan diri dari jeratan utang dan menerapkan praktik konservasi seperti budidaya rajungan bertelur sebelum dilepas kembali ke alam,” sebut Irham.
Di sisi bisnis, forum ini juga mulai membentuk koperasi nelayan guna meningkatkan distribusi yang lebih adil dan memberikan akses kepada BPJS Kesehatan serta dana darurat bagi anggotanya.
Masa Depan Perikanan Rajungan
Keberlanjutan perikanan rajungan memerlukan sinergi antara berbagai pemangku kepentingan.
Dengan kolaborasi antara pemerintah, industri, NGO, dan nelayan, perikanan rajungan Indonesia dapat terus berkembang, meningkatkan kesejahteraan nelayan kecil, serta memenuhi standar keberlanjutan pasar internasional.
“Melalui pendekatan pasar yang bertanggung jawab, regulasi yang lebih ketat, serta partisipasi aktif dari komunitas nelayan, masa depan perikanan rajungan yang lebih adil dan berkelanjutan dapat terwujud,” sebut Irham.
Editor Denun