PELAKITA.ID – Kasus kekerasan seksual terus meningkat di sejumlah insitansi atau institusi formal dan informasi, memunculkan pertanyaan: apakah kekerasan seksual akan terus terjadi tanpa solusi konkret untuk menanganinya?
Bagaimana isu tersebut ditangani dengan cermat dan menyeluruh, mari simak obrolan Pelakita.ID dengan Lusia Palulungan, Program Manager Inklusi Yayasan BaKTI sebagai upaya menjelang pelaksanaan Hari Perempuan Internasional tanggal 8 Maret 2025.
Seperti apa pandangan Lusia, alumni FH Unhas angkatan 90 terkait isu itu?Berikut kutipannya.
***
Menurut Lusia. apresiasi patut diberikan kepada pihak yang telah menyelenggarakan berbagai kegiatan untuk menangani kekerasan seksual.
“Sebelum Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 disahkan, situasi kekerasan seksual di Indonesia sangat mengkhawatirkan, dengan banyak kasus yang sulit ditangani akibat berbagai hambatan hukum dan sosial.,” ujar Lusia saat menjawab pertanyaan Pelakita.ID.
Stigma Sosial dan Kendala Hukum
Salah satu tantangan utama dalam menangani kekerasan seksual adalah stigma sosial. Kekerasan seksual sering dikaitkan dengan kehormatan, nilai, dan moral masyarakat, sehingga banyak korban enggan melapor.
“Jika kasus sudah lama terjadi atau berlangsung di ruang privat, penanganan hukumnya semakin sulit,” ucap Lusia.
Dikatakan, KUH Pidana mengatur pelecehan, perkosaan, dan pencabulan baik terhadap orang dewasa maupun anak-anak. Namun, pembuktian menjadi tantangan karena asas “satu saksi bukan saksi” dalam hukum pidana.
“Dalam sistem hukum lama, pembuktian mengandalkan visum, saksi, atau pengakuan pelaku. Banyak kasus mandek karena tidak ada saksi selain korban dan pelaku. Selain itu, tekanan sosial dan rasa malu sering menghalangi korban untuk maju melapor,:” sebutnya.
Dampak Kekerasan Seksual
Dikatakan Lusia, kasus kekerasan seksual dapat berdampak jangka panjang bagi korban. Beberapa korban mengalami cedera fisik serius, seperti kerusakan organ reproduksi atau penyakit menular seksual. Namun, KUH Pidana tidak mengatur mekanisme pemulihan medis dan psikologis bagi korban.
Menurutnya, dampak ekonomi juga signifikan. Korban bisa kehilangan pekerjaan akibat harus menjalani proses hukum dan pemulihan. Undang-Undang Perlindungan Anak pun belum sepenuhnya mencakup aspek ini.
“Oleh karena itu, Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) diusulkan dan akhirnya disahkan pada tahun 2022 setelah perjuangan panjang,” sebutnya.
Peran Undang-Undang TPKS
Proses perumusan Undang-Undang TPKS memakan waktu sekitar 10 tahun, dengan kajian akademik yang mengidentifikasi berbagai bentuk kekerasan seksual yang harus diatur.
“Setelah tiga tahun disahkan, implementasi undang-undang ini masih menghadapi tantangan, terutama dalam pemahaman aparat penegak hukum,” ujar Lusia.
Ditambahkan, salah satu perbedaan utama Undang-Undang TPKS dengan KUH Pidana terletak pada hukum acara dan pembuktian.
“Dalam Undang-Undang TPKS, cukup satu saksi korban ditambah satu alat bukti sah untuk melanjutkan kasus. Bukti seperti visum, keterangan psikolog, atau rekaman percakapan dapat memperkuat laporan korban. Perluasan alat bukti juga membantu korban dalam proses hukum, dengan rekaman CCTV, pakaian korban, atau komunikasi digital yang dapat digunakan sebagai bukti,” terang Lusia.
“Selain menindak pelaku, Undang-Undang TPKS juga memberikan hak restitusi bagi korban. Ganti rugi mencakup biaya medis, kehilangan pekerjaan, serta dampak fisik dan psikologis. Negara juga menyediakan layanan pemulihan melalui berbagai mekanisme pendampingan,” ucapnya.
Peran Komunitas dalam Penanganan Kasus
Salah satu langkah konkret yang telah dilakukan adalah pelatihan paralegal atau pendamping komunitas yang bekerja sama dengan berbagai pihak di tingkat desa dan kelurahan.
Program ini telah diterapkan dalam program inklusi di 102 desa. Mitra daerah didorong untuk membentuk Layanan Berbasis Komunitas (LBK) dengan pendamping terlatih.
“Dalam praktiknya, terdapat hambatan formal dalam penanganan kasus. Untuk mengatasi hal ini, pendamping dibekali dengan kartu identitas (ID card) dan Surat Keputusan (SK) dari kepala desa, kepala dinas, bupati, atau wali kota,” katanya.
“Hal ini bertujuan memastikan bahwa mereka memiliki akses ke berbagai layanan pemerintah dan kepolisian,” tambahnya.
Disebutkan, LBK atau layanan paralegal yang dibentuk oleh organisasi masyarakat sipil (CSO) juga bekerja sama dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) melalui Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA).
“Dengan adanya kerja sama ini, kasus dapat dirujuk antara lembaga untuk memastikan korban mendapatkan bantuan terbaik,” sebutnya.
Saat ini, kata Lusia, semakin banyak desa yang mengalokasikan Dana Desa untuk mendukung sosialisasi berbagai undang-undang terkait perlindungan anak, penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, dan kekerasan seksual.
“Pemerintah desa juga menyelenggarakan pelatihan bagi pendamping serta membiayai operasional layanan di desa,” ujarnya.
Pencegahan Kekerasan Seksual di Kampus
Kasus kekerasan seksual juga terjadi di lingkungan pendidikan. Permendikbud No. 30 dan Permendikbud No. 55 mewajibkan perguruan tinggi untuk melakukan survei kekerasan seksual setiap semester. Namun, jumlah kasus yang dilaporkan kampus masih jauh lebih kecil dibandingkan dengan data survei.
Relasi kuasa yang tidak seimbang antara dosen dan mahasiswa menjadi tantangan tersendiri. Konsultasi akademik yang dilakukan di ruang privat dapat menciptakan celah bagi kekerasan seksual.
“Oleh karena itu, perguruan tinggi perlu menyediakan ruang konsultasi yang lebih terbuka,” sebut Lusia.
Selain membentuk Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (TPPKS), kata Lusia, kampus harus memastikan infrastruktur mendukung pencegahan kekerasan seksual.
“Beberapa langkah yang dapat diterapkan adalah penggunaan pintu dan dinding kaca di ruang pertemuan untuk meningkatkan transparansi serta kebijakan larangan aktivitas kampus di atas jam tertentu,” jelasnya.
Meskipun sudah ada peraturan, banyak perguruan tinggi belum mengoptimalkan pelaksanaan kebijakan ini karena keterbatasan anggaran, minimnya pelatihan bagi anggota Satgas, dan kurangnya infrastruktur yang mendukung pencegahan kekerasan seksual.
Perguruan tinggi yang tidak memperbarui data kekerasan seksual dapat menghadapi sanksi, seperti pengurangan dana dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek).
Tantangan dalam Alokasi Anggaran
Di tengah refocusing dan pemangkasan anggaran di berbagai institusi, advokasi terhadap isu pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak menjadi semakin penting.
Tantangan utama dalam pengalokasian anggaran adalah perspektif kepala daerah yang sering kali lebih fokus pada pembangunan fisik dibandingkan layanan sosial.
Menurut Lusia, beberapa kepala daerah menilai kinerja dari hasil yang terlihat secara langsung, seperti pembangunan infrastruktur, dibandingkan dengan layanan perlindungan yang sifatnya tidak kasat mata.
“Padahal, satu kasus kekerasan bisa memerlukan penanganan yang kompleks dan jangka panjang,” ucap dia.
Selain itu, terdapat kesalahpahaman di kalangan pejabat, termasuk anggota DPRD, yang menganggap bahwa kinerja DP3A harus diekspos di media seperti dinas lainnya. Padahal, kasus kekerasan tidak bisa dipublikasikan secara terbuka karena dapat merugikan korban.
Oleh karena itu, ujar Lusia, advokasi untuk meningkatkan pemahaman para pengambil kebijakan harus terus dilakukan agar kebijakan yang diambil lebih berpihak kepada korban.
“Dengan sistem yang lebih baik dan dukungan semua pihak, diharapkan kekerasan seksual dapat diminimalisir, serta korban mendapatkan keadilan dan pemulihan yang layak,” pungkasnya.
Editor Denun