Insights | Luka yang Tak Terlihat

  • Whatsapp

PELAKITA.ID – Awan kelabu menggantung di langit ketika Baco La Bor  melangkah ke dalam kantor dengan senyum tipis yang lebih mirip garis lurus.

Di ruangan yang dipenuhi suara ketikan dan obrolan lirih, ia adalah sosok yang tak pernah absen melontarkan komentar sinis.

“Wah, kerjaannya lambat banget. Ini kantor atau panti jompo?” katanya, menepuk bahu seorang rekan kerja, sebelum berlalu dengan seringai puas.

Di balik kemeja rapinya, Baco La Bor  bukanlah pria yang bahagia. Sejak kecil, ia tumbuh dalam lingkungan yang keras, penuh tuntutan. Ayahnya, seorang pensiunan militer, tidak pernah menunjukkan kelembutan.

“Laki-laki tidak boleh lemah,” adalah mantra yang tertanam dalam dirinya. Setiap kesalahan kecil langsung disambut dengan cemoohan.

“Masa anak laki-laki takut gelap? Cemen!”

Ketika dewasa, Baco La Bor  tanpa sadar meniru pola itu. Sarkasme menjadi senjatanya. Ia bukanlah pria yang jahat, hanya saja ia tidak tahu cara lain untuk berinteraksi. Ia pikir, jika ia bisa menjatuhkan orang lain lebih dulu, ia tak perlu merasa rentan.

Namun, tidak semua orang bisa menerimanya dengan mudah. Salah satunya adalah Beche de Mer, rekan kerja baru yang baru saja bergabung.

Beche de Mer bukan tipe orang yang biasa berdebat. Tapi hari itu, saat Baco La Bor  dengan entengnya berkomentar, “Oh, jadi kamu lulusan universitas itu? Pantas aja lemot,”

Beche de Mer menatapnya dengan mata tajam. “Kenapa kamu suka meremehkan orang, Baco La Bor ? Apa itu membuatmu merasa lebih baik?”

Baco La Bor  terdiam. Jarang ada yang menantangnya seperti itu. Biasanya, orang-orang hanya tertawa atau menghindarinya. Ia mendengus kecil, lalu berkata, “Santai aja, itu cuma bercanda. Kamu terlalu baper.”

Beche de Mer tidak tersenyum. “Kalau begitu, coba pikirkan. Kalau semua orang bercanda seperti itu kepadamu setiap hari, apa kamu akan tetap tersenyum?”

Kata-kata Beche de Mer menggema di kepalanya sepanjang hari. Malamnya, saat ia memandang bayangannya di cermin, sesuatu terasa menyesakkan. Ia mengingat ayahnya, mengingat dirinya sendiri saat masih kecil—ketakutan, merasa tidak cukup baik, tapi tetap tersenyum agar terlihat kuat.

Mungkinkah selama ini ia hanya mengulang luka yang pernah ia terima?

Keesokan harinya, Baco La Bor  datang ke kantor dengan kebiasaan yang sama—melemparkan lelucon sarkas. Namun, sebelum kata-kata itu keluar, ia melihat wajah Beche de Mer dan beberapa rekan lainnya. Kali ini, ia memilih diam.

Mungkin, ini saatnya belajar cara lain untuk berbicara.

Penulis La Vecchia