Kolom Mulyadi Opu Andi Tadampali: Pemilu Curang dan Implikasinya

  • Whatsapp
r. Mulyadi (Opu Andi Tadampali), Dosen Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia

DPRD Makassar

PELAKITA.ID – Mulyadi atau dikenal sebagai Opu Andi Tadampali, pengajar Ilmu Politik di Universitas Indonesia membagikan perspektifnya tentang praktik Pemilu curang.

Seperti apa implikasinya bagi demokrasi dan masa depan bangsa, mari simak.

_____

Read More

Secara teoritis dan praktis, hasil pemilu adalah otoritas sipil, yakni pejabat politik puncak yang bergerak atas dasar mandat kedaulatan rakyat. Otoritas sipil inilah yang akan membentuk dan menjalankan pemerintahan repsentatif secara periodik.

Akan tetapi dalam kasus kecurangan pemilu yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM), dapat dipastikan bahwa otoritas sipil: pejabat politik puncak yang terpilih tersebut tidak memiliki legitimasi politik dan justifikasi politik yang memadai dalam membentuk dan menjalankan pemerintahan representatif secara periodik.

Ada dua implikasi politik bila otoritas sipil tidak memiliki legitimasi politik dan justifikasi politik yang memadai, yakni:

Pertama, dalam membentuk dan menjalankan pemerintahan repsentatif secara periodik akan mengoperasikan kekuasaan buruk (power over).

Kedua, kapabilitas sistem politik tidak menghasilkan adaptasi politik, integrasi politik, dan stabilitas politik.

Konsekuensi dari dua implikasi politik itu adalah demokrasi berada di jalur kehancurannya.

Pada implikasi pertama, akibat operasi kekuasaan buruk (power over); adalah tegaknya rezim politik anti-demokrasi yang ditandai oleh sebuah pemerintahan yang menindas, anti-kritik, anti-perubahan, status quo, dan korup.

Di bawah rezim politik non-demokrtatis (bisa despotis, otoriter, totaliter, atau fasis), demokrasi terpental jauh di luar tiga jalur tahap-tahap pertumbuahan dan perkembangannya.

Yaitu, tahap transisi demokrasi, tahap konsolidasi demokrasi, dan tahap tertib demokrasi, yang ditandai oleh penyelenggaraan pemerintahan yang buruk: tidak transparan, tidak akuntabel, tidak kredibel, dan tidak partisipatif.

Pada implikasi kedua, akibat kapabilitas sistem politik yang tidak menghasilkan adaptasi politik, integrasi politik, dan stabilitas politik adalah merebaknya ketidakpuasan politik.

Rendahnya kapabilitas responsif, kapabilitas distributif-alokatif, kapabilitas regulatif, kapabilitas simbolik, kapabilitas ekstraktif, kapabilitas domestik, dan kapabilitasi  internasional menjadi dasar terbentuknya oposisi politik loyal yang bersifat laten dan permanen.

Selain itu, di level elit dan massa juga terbentuk pembangkangan politik yang sifatnya silent majority yang secara perlahan muncul sebagai noisy minority lalu membesar menjadi people power.

Menyadari  ancaman pembangkangan politik akibat krisis legitimasi politik dan justifikasi politik, rezim politik ini segera melakukan dua metode opensif politik aktif sebagai upaya penyelamatan diri, yakni: persuasi politik dan koersi politik.

Pada metode persuasi politik, rezim politik akan mengencarkan dua operasi politik rahasia, yakni, pertama, operasi suap politik, dengan membujuk semua pihak yang dianggapnya berseberangan untuk kembali mendukungnya dengan iming-iming atau imbalan uang, barang, jasa, pangkat dan jabatan hingga seks.

Kedua, operasi manipulasi politik, dengan membentuk kelompok perlawanan politik yang akan melakukan propaganda politik dan agitasi politik, seperti kelompok influencer politik dan buzzer politik.

Kedua operasi politik rahasia itu bertujuan untuk memobilisasi dukungan politik kepada rezim politiknya.

Pada metode koersi politik, rezim politik akan gencar melakukan teror dan intimidasi melalui tiga operasi politik rahasia untuk political assassination, yakni personal delegitimazion, yakni menyerang pribadi atau merusak reputasi personal siapa saja yang dianggapnya sebagai oposisi politik;

Yang kedua, extra judicial killing, yakni menghilangkan nyawa oposisinya dengan  mengatasnamakan penegakan hukum; dan  ketigam unlawfull killing, yakni menghilangkan nyawa oposisi politiknya di luar penegakan hukum.

Operasi ketiga ini umumnya sulit diketahui, karena umumnya menggunakan cara-cara non-konvensional, seperti santet, racun, kecelakaan, atau jasa kriminal.

Baik operasi politik rahasia persuasi politik maupun operasi politik rahasia koersi politik, keduanya bertujuan untuk menghentikan gerakan oposisi terutama yang dianggap ingin menggulingkan rezim politiknya.

 

Bersambung …

Related posts