Liputan Khusus: Dialektika Usaha Perikanan Sulsel, antara Jargon dan Aksi Nyata

  • Whatsapp
Ikan tuna di pelabbuhan pendaratan ikan (dok: Pelakita.ID)

DPRD Makassar

PELAKITA.ID – Publik di Sulsel terbagi dua saat mendengar ide Pj Gubernur Sulsel Bahtiar Baharuddin. Ada yang pro ide  intensifikasi dan ekstensifikasi budidaya pisang namun ada juga yang kontra.

Yang pro menyebut perlu ketahanan pangan, dan pisang menjadi sumber pangan dan devisa bagi daerah sepanjang lahan yang ada dimanfaatkan untuk massifikasi penanaman pisang secara intensif.

Yang kontra, menilainya sebagai hal ecek-ecek atau bukan aspek stratagis dan krusial.

Yang kontra menilai Pj Gubernur mestinya mengkoordinasi dan mengkonsolidasi sumber daya pembangunan daerah sehingga semakin banyak pelaku usaha yang muncul dan menggunakan komoditi yang sudah familiar dengan warga seperti udang, kakao, padi, jagung hingga perikanan.

Fokus Kelautan dan Perikanan

Leher udang terbelit persoalan penyakit, kakao kian langka, jagung dan rumput laut harganya labil cenderung melemah.

Untuk aspek perikanan mereka berharap bukan hanya 1 000 rumpon yang digadang-gadang tetapi pengelolaan sumber daya perikanan dengan ekeftif, efisien dan berdaya saing.

Sejumlah pihak menyayangkan mengapa Sulsel masih tetap di bawah Jawa Timur dan DKI Jakarta sebagai eksportir produk perikanan padahal dari sisi sumber daya Jatim dan DKI Jakarta tak sekaya Sulsel dari sisi kandungan sumber daya alam, darat dan laut. Toh, Sulsel adalah episentrum NKRI.

Optimisme disampaikan Nazruddin Maddepungeng, pelaku usaha perikanan yang saat ini intens berkunjung ke sentra perikanan di Jawa.

Dia menilai Pulau Sulawesi, khususnya Sulsel surganya sumberdaya terbaharukan, pertanian, perkebunan, budidaya perikanan dan kelautan, ekosistem sosial sudah mengakar kuat dan menjadi kearifan lokal.

“Selalu surplus produk sumber daya atau bahan baku dan penopang ketahanan pangan nasional. Kemunduran atau tertinggalnya Sulsel dengan Jaŵa adalah pada pengelolaan hilirisasi produk (pengolahan) yang memberikan nilai tambah. masih terpusat di pulau Jawa,” ujarnya.

Terkait itu, Andi Nurjaya Nurdin, alumni Ilmu Kelautan Unhas menyebut Pemda harus mendorong menggeliatnya BUMD dan sektor swastanya agar mengisi lini untuk  hilirisasi ini. Pemda yang harus mengambil prakarsa.

Terkait situasi perikanan di Sulawesi termasuk di Kota Kendari, pendapat menarik disampaikan Kepala Pelabuhan Perikanan Kendari, Syahril A. Raup.

“Ikan Kendari ekspor lewat Jatim, Makassar juga kirim lewat Jatim. Kenapa bisa begitu? Karena sistem hub pelabuhan untuk eksport harus melalui pelabuhan di Tanjung Perak di Surabaya atau Tanjung Priok Jakarta sebelum ke negara tujuan,” timpal alumni Ilmu Kelautan Unhas angkatan 94 itu.

Menurutnya, ikan dari Kendari dikeluarkan dari kontainer, lalu dimasukin kembali ke kontainer ekspor, sehingga pencatatan ekspor tinggi di sana.

Terkait denyut bisnis perikanan, Nazruddin menilai 38 provinsi di Indonesia, khusus untuk ketahanan pangan 90  persen masih membutuhkan bantuan pangan dari provinsi lain.

“Kenapa? Karena keterbatasan lahan, klimatologi dan sumberdaya manusia. Posisi Sulsel mampu mengirim tenaga kerja pertanian, perkebunan, budidaya dan perikanan sehingga wilayah pemukiman berkembang sebagai sentra² ekonomi,” tandasnya.

Dia juga menanggapi pandangan Syahril bahwa shipping agency (perwakilan pengurusan kapal kargo) banyak berkantor di Jatim, pelabuhan Tanjung Perak banyak disinggahi kapal-kapal besar untuk rute antar benua.

“Kalau kapal besar mengambil rute pelabuhan Makassar dengan muatan 20 hingga 00 kontainer, rugi operator-agen kapal, tidak efisien sehingga Pelabuhan Tanjung Perak dan Tanjung Priuk masih ideal karena seluruh hasil hilirisasi muatan terkumpul,” jelasnya.

Oleh karena itu, kata dia, Pulau Sulawesi harus menjadi Proyek Strategis Nasiional PSN untuk Ketahanan Pangan.

“Banyak wilayah provinsi punya potensi tetapi kendala tenaga kerja dan pengetahuan, termasuk infrastruktur,” tandasnya.

Andi Nurjaya menambahkan, produksi penangkapan ikan (laut) sekira 7 – 8 juta ton pertahun. “Harusnya bisa menggambarkan berapa income, baik untuk pelaku usaha langsung mau pun distributor atau eksportir,” kata dia.

Dia masih sangsi seberapa besar yang dibutuhkan dalam negeri.  “Karena kita banyak impor ikan juga. Data-data ini mesti dirapikan, agar kebijakan yang dibuat lebih tepat dan berdaya guna,” kata dia.

Masifkan Direct Call

Anggota DPRD Sulawesi Selatan, Andi Januar Jaury Dharwis kepada Pelakita.ID menilai, mestinya, pemanfaatan sumber daya hasil bumi dan laut bisa dimanfaatkan dengan membuka lebih banyak layanan direct call.

“Perlu memperbanyak direct call untuk kargo ikan, baik laut maupun udara,” tanggapnya.

terkait kinerja usaha atau ekspor Sulsel agar taka terlampaui Jatim.

“Pelayanan bisa langsung ke negara tujuan ekspor, atau lebih banyak kapal-kapal pelayaran internasioinal yang diajak ke Makassar,” kata dia.

“Setidaknya, kargo-kargo yang keluar langsung dari pelabuhan-pelabuhan Sulsel ke pelabuhan negara hub, untuk selanjutnya terdistribusi secara global,” tambah pria yang akrab disapa JJ itu.

Menurut dia, dengan rekayasan sebagai pelabuhan hub terbesar di Indonesia Timur, mestinya Makassar bisa merebut fungsi Tanjung Perak atau Tanjung Priuk di Jakarta.

“Tergantung mereka yang di Pusat, untuk menjabarkan seperti BUMN, Pelindo serta Dirjen Perhubungan Laut,” tutupnya.

Menambahkan Januar, Nazruddin menyatakan, secara faktual membandingkan Kawasan Industri Nasional, KIMA di Biringkanaya yang luasnya 250 Ha dan hanya di satu kota dan satu kecamatan dibandingkàn Kawasan Industri di Propinsi Jawa Timur tersebar merata di tiap kab/kota.

“Sangat sulit mengejar ketertinggalan dan ketimpangan pembangunan nasional, perlu diluruskan kebijakan industri nasional,” kata politisi Demokrat Sulsel ini.

“Bahwa pembangunan industri harus dekat dengan sumber bahan baku, sehingga menciptakan daya saing produk dan efisiensi sehingga biaya pemulihan ekonomi tidak terpusat di pulau Jawa,” jelas Nazruddin.

Wilayah Pantura, kata Nazruddin, sebagai pusat distribusi dan lalulintas nasional sudah sangat padat, tiap tahun anggaran ratusan milyar dipakai untuk perbaikan, peningkatan jalan. Kalau macet antrinya kilometer.

“Mmembandingkan jalan nasional trans Sulawesi Makassar-Parepare, lalulintas truk besar/kontainer bisa dihitung dengan jari,” ucapnya.

“Jalan Nasional Pantura didominasi mobil truk, tronton, kontainer, mobil gandeng, jalur sangat padat menghubungkan Jatim-Jateng-Jabar-Jakarta. Katanya 80 persen urat nadi perekonomian nasional untuk mendukung rantai pasok bahan baku-hilirasi industri nasional,” tandas Naz.

Andi Nurjaya merangkum bahwa sesungguhnya adagium tentang pelabuhan harus dekat dengan sumber tidak sepenuhnya tepat, karena banyak pelabuhan yang sangat sibuk dan maju berada jauh dari sumber, seperti; pelabuhan yang ada di Singapura.

“Pelabuhan akan maju apabila memenuhi beberapa prasyarat, antara lain  modernisasi fasilitas dan peralatan
pelayanan prima, jaminan sekuritas tinggi dan kepastian biaya,” kunci Andi Nurjaya.

 

Redaksi

 

Related posts