Yayasan Plan Internasional dan DFW Indonesia gelar workshop deteksi dini praktik kerja paksa dan perdagangan manusia

  • Whatsapp
Para peserta workshop deteksi dini kerja paksa perikanan di Tegal (dok: DFW Indonesia)

DPRD Makassar

“Jumlah kasus dari aduan sebanyak 33 korban.” Amrullah, fasilitator SAFE Seas Tegal

 

Read More

PELAKITA.ID

Pemerintah Indonesia diminta aktif dan terus meningkatkan perlindungan pada masyarakat pesisir yang bekerja sebagai awak kapal perikanan (AKP) di dalam dan luar negeri.

Hingga kini, keberadaan para awak kapal perikanan tersebut dinilai masih belum mendapatkan perlindungan penuh, meski mereka telah menyumbang devisa yang teramat besar bagi negara.

Koordinator Nasional Destructive Fishing (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan menyatakan perlunya Pemerintah meningkatkan perlindungan AKP untuk mengurangi potensi praktik kerja paksa dan perdagangan orang yang masih sering terjadi pada sub sektor perikanan tangkap.

“Pemerintah perlu terus meningkatkan upaya perlindungan awak kapal perikanan, baik yang bekerja di kapal ikan dalam maupun luar negeri,” kata Abdi saat menjadi pembicara pada Workshop Penyusunan Deteksi Dini Praktik-Praktik Kerja Paksa dan Perdagangan Manusia di Masyarakat, yang digelar selama dua hari dari tanggal 7 hingga 8 September 2020 ini di Kota Tegal.

Menurut Abdi, bentuk perlindungan yang bisa diberikan Pemerintah, antara lain dengan menelusuri tempat asal para AKP yang bekerja di dalam maupun luar negeri.

“Mengetahui keberadaan tempat asal mereka, akan memberi informasi yang sangat baik untuk memberikan perlindungan yang maksimal saat bekerja sebagai AKP,” kata Kordinator Nasional DFW Indonesia ini.

Hari Sadewo dari Yayasan Plan Internasional Indonesia menyatakan tujuan workshop ini adalah dalam rangka untuk membuat perangkat bahan edukasi masyarakat tentang adanya gejala-gejala adanya praktek kerja paksa terhadap awak kapal perikanan.

“Praktik-paktik eksploitatif terhadap ABK terbukti cukup masif dan menempatkan para ABK dalam posisi lemah dan rentan, sehingga pada akhirnya mengakibatkan kerugian seperti masalah gaji, masalah jaminan sosial dan sebagainya,” jelas Hari.

“Praktik tidak adanya perjanjian kerja laut (PKL) adalah satu yang sering ditemukan, dan Fisher Center di Tegal mencatat kasus aduan gaji tidak di bayar sebanyak 35 persen,” ungkap Hari.

Dia menekankan bahwa masyarakat, calon ABK dan ABK sendiri dapat lebih mendidik tentang bagaimana cara bekerja yang lebih aman.

“Dengan memahami lebih baik adanya gejala-gejala terhadap 11 indikator kerja paksa, maka masyarakat dapat mengambil keputusam secara tepat apabila akan bekerja menjadi ABK,” ucapnya.

Substansi workshop

Sementara itu, Direktur SAFE Seas Nono Sumarsono menegaskan kasus-kasus pekerja ABK Indonesia yang banyak terjadi di luar negeri termasuk sebagai kategori human trafficking.

Suasana workshop (dok: Jawadin/DFW Indonesia)

“Kalau saya menyebutnya kejadian ini adalah kejadian organized crime dari sisi human trafficking. Ini kategorinya human trafficking karena sudah lintas negara,” sebut Nono saat ditemui di Hotel Primebiz, Kota Tegal.

Dia juga mencatat bahwa regulasi yang ada di Indonesia saling tumpang tindih terkait perekrutan pekerja, dan juga menanggapi banyak kasus perbudakan dan kejahatan terhadap AKP di tengah regulasi yang karut marut, serta mengungkapkan ABK perlu memiliki seafarer book atau buku pelaut untuk mencegah kejadian tersebut saat bekerja.

Direktur SAFE Seas Nono Sumarsono adalah salah satu narasumber dalam kegiatan workshop yang diikuti 20 orang perwakilan dari 5 kabupaten serta delapan orang panitia.

Secara rinci peserta tersebut datang dari Kelurahan Sugih Waras Kabupaten Pemalang, Desa Kluwut Kabupaten Brebes, Desa Kramat Kabupaten Tegal, Desa Bongkok Kabupaten Tegal dan Mujung Agung Kabupaten Tegal.

Dalam paparannya, Nono menekankan bahwa Plan International Indonesia berupaya mendorong perbaikan regulasi, koordinasi, kerja sama antara lembaga; serta mendorong adanya inspeksi bersama untuk mencegah praktik kerja paksa.

“Diharapkan kegiatan ini juga akan berkontribusi pada peningkatan kesadaran awak kapal supaya mampu mengenali ciri-ciri kerja paksa dan berani melaporkan jika menemukan praktiknya,” imbuhnya.

Kegiatan workshop ini ini menurut Nono didasarkan pada situasi di lapangan dimana terjadinya praktik-praktik eksploitasi terhadap awak kapal perikanan seperti halnya hubungan kerja, upah dan waktu kerja dan lain-lain.

Di sisi lain, data situasi kekerasan termasuk jumlah korban di sektor perikanan masih sangat terbatas. Informasi dan pengetahuan masyarakat yang terbatas membuat hak-hak kerja awak kapal perikanan tidak terpenuhi.

“Belum ada mekanisme pelaporan dan rujukan yang memudahkan akses masyarakat, sehingga bila terjadi masalah di lapangan sulit dilakukan penangannya,” sebutnya.

Pasca workshop, SAFE Seas Project (SSP) bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Tegal akan menyelenggarakan rangkaian kegiatan diskusi bersama dengan para pihak termasuk sektor swasta dan agen penyelenggara serta awak kapal dan masyaraka Suasana workshop
(dok: Jawadin/DFW Indonesia)

Abdi Suhufan kembali menambahkan, kegiatan workshop ni secara substantif untuk berbagi pengetahuan dan informasi praktik penyelenggaraan jasa sektor perikanan sekaligus mencari solusi dalam penyelenggaraan peningkatan kapasitas awak kapal dan calon pekerja lainnya.

“Tujuannya agar masyarakat dapat memahami hak-hak dalam bekerja di sektor awak kapal perikanan serta adanya dukungan dari Pemerintah,” jelasnya.

Pada workshop tersebut, Amrullah, fasilitator DFW Indonesia di Tegal menjelaskan tentang Safe Seas Project di Jawa Tengah telah membentuk Fishers Center dan merupakan salah satu wadah bagi awak kapal perikanan yang bekerja untuk kapal perikanan didalam dan luar negeri.

“Tujuannya untuk mendapatkan edukasi, informasi dan bisa juga menyampaikan aduan apa yang telah dialami selama bekerja diatas kapal dan merugikan pihak ABK Perikanan,” katanya.

Sejak Juli 2019 sampai Bulan Juli 2020, total aduan yang telah diterima oleh Fishers Center dengan rincian ada 15 aduan dimana 9 aduan dari ABK Perikanan migran, 6 aduan dari ABK perikanan dalam negeri.

“Jumlah kasus dari aduan sebanyak 33 korban,” ungkap Amrullah.

Fishers Center telah diresmikan pada tanggal 7 juli 2020 oleh Menteri Kelautan Perikanan Bapak Edhy Prabowo di Pelabuhan Tegal Sari Jawa Tengah.

“Kegiatan yang intens dilakukan oleh Fishers Center adalah sosialisasi dan edukasi ke masyarakat bagaimana tenaga kerja paksa, atau human trafficking di wilayah dampingan SAFE Seas berkurang,” pungkas Amrullah.

Laporan kontributor Pelakita.ID: Jawadin dari Kota Tegal

Related posts