Prediksi saya ternyata salah. Perolehan suara Prof JJ bukannya 55%, tetapi 80%. Surprise. Setuju atau tidak, suka atau tidak, reprensentasi Unhas bernama Senat Akademik itu, masih menginginkan Prof. JJ memimpin Unhas untuk periode 2026 – 2030.
Yarifai Mappeaty, alumni Perikanan Unhas, angkatan 1985
PELAKITA.I – Pemilihan Calon Rektor Unhas oleh Senat Akademik, usai sudah. Terpilih Prof. Jamaluddin Jompa (JJ), Prof. Budu, dan Prof Sukardi Weda.
Namun tidak hanya Prof. JJ yang menang, tetapi saya juga menang. Yaitu, memenangkan taruhan satu slop Gudang Garam Merah dan traktir minum kopi selama tiga kali setiap bertemu dengan lawan taruhan, kapan dan di mana saja.
Taruhan? Sebulan lalu di sebuah kedai kopi di Jakarta, secara tak sengaja, saya kembali jumpa dengan kawan lama yang baru bertemu lagi setelah Pilpres 2024.
Kawan itu, juga sesamA alumni Unhas. Tetapi, dalam kontestasi di dunia politik, tak sekalipun kami punya pilihan sama, namun selalu berbeda. Anehnya, dia selalu menang.
Bayangkan, pada Pilpres 2004, saya di Amin – Siswono, ia di SBY – JK, menang. Pilpres 2009, saya di Mega – Pro, ia di SBY – Budiono, menang lagi. Pilpres 2014, saya di Prabowo – Hatta, ia di Jokowi – JK, masih tetap menang. Pilpres 2019, saya tetap di Prabowo, ia tetap di Jokowi, masih menang juga.
Benar-benar sial. Giliran saya tinggalkan Prabowo dan mendukung Anies pada Pilprs 2024, ia malah ke Prabowo, dan ternyata menang lagi.
“Jangan-jangan kau ini mengalami kutuk. Kutukan pendukung kalah. Setiap yang kamu dukung, apalagi menjadi timses, pasti kalah,” kelakarnya sewaktu kami bertemu terakhir pasca pilpres 2024.
Kedengarannya seperti guyon, tapi realitasnya memang begitu dan tidak terbantahkan. Lima kali bertaruh di Pilpres, tak sekalipun saya menang melawannya.
Setelah lama ngolor-ngidul, sampailah percakapan menyinggung pemilihan Rektor Unhas.
“Menurutmu, siapa tiga besar?” tanyanya menodong. Maklum, kawan itu tidak biasa menggunakan “kata pengantar”. Ia tipikal orang yang tidak suka berbasa-basi, tapi langsung to the point.
“Dua besar sudah bisa ditebak. Prof. JJ dan Prof. Budu. Sebab sejauh ini, hanya mereka berdua yang tampak mengemuka berbagi panggung, sedangkan empat balon rektor lainnya cenderung pasif. Namun siapa yang ketiga, ini lebih sulit diterka, tergantung Prof. JJ dan Prof. Budu,” jawabku.
“Maksudnya?”
“Agar tidak terjadi pemilihan lanjutan khusus untuk mencari yang ketiga, jika, baik Prof. JJ maupun Prof. Budu, merasa menang mutlak, maka akan melarikan satu atau dua suaranya kepada salah satu balon lainnya, untuk sekadar memenuhi paket tiga besar.”
“Lalu, kira-kira siapa yang unggul, Prof. JJ atau Prof. Budu?” desaknya.
“Saya pegang petahana 55 persen.”
Kawan itu tampak sedikit gusar mendengar jawabanku yang lugas meski terkesan asal sebut. Gusar karena rupanya ia condong ke Prof. Budu. Sehingga mungkin dalam hatinya, “sekali lagi kita berbeda, bro.”
“Oke, kita kembali bertaruh jika Prof. JJ mampu meraih suara 55%,” timpalnya menantang tanpa bisa sembunyikan kegusarannya.

Mendengar tantangannya itu, jujur, saya sedikit kecut, sebab jangan sampai ia memiliki informasi lebih akurat, membuat dirinya tampak sangat percaya diri. Tapi karena gengsi dan sudah terlanjur, saya terima saja tantangannya.
Tak terasa kami berbincang hampir dua jam lamanya. Usai menghabiskan kopinya pada satu tegukan terakhir, ia kemudian memperbaiki letak duduknya. Kedua lengannya ditumpukan pada sisi meja sembari menatap saya dengan serius.
“Saya melihat kutukanmu belum sepenuhnya hilang. Jika kali ini mau menang taruhan, maka jangan menjadi pendukung Prof. JJ,” ujarnya kemudian buru-buru pergi. Mungkin takut kulempar asbak. Saya yang ditinggal sendiri hanya melongo sembari memperhatikan ia hilang di balik pintu.
Sebetulnya, saya tidak asal sebut angka 55 persen itu, tetapi saya menggunakan suatu basis analisis. Kendati belum teruji secara akademis, namun sudah berkali-kali terbukti akurat di lapangan.
Basis analisis itu saya sebut sebagai “Postulat Andi Nawir”. Menyebutnya demikian karena pertama kali saya dengar dari mulut Andi Nawir (alm) – semoga Allah senantiasa melapangkan kuburnya.
“Kalau ada petahana kalah, itu petahana bodoh,” ungkapnya suatu waktu. Andi Nawir adalah Bupati Pinrang dua periode. Terpilih Anggota DPR RI pada Pileg 2014 melalui Partai Gerindra, kemudian meninggal dunia pada 2017.
Menurutnya, sebelum berkontestasi petahana sudah mengantongi 30 persen kemenangan hasil investasi selama memerintah.
Begitu berkontestasi, petahana kembali mendapatkan tambahan 25 persen karena penguasaannya terhadap instrument pemerintahan. Taruhlah investasinya tergerus hingga tersisa 15 persen, maka petahana tetap menang dengan perolehan 40 persen.
Tetapi, Pilkada dan Pilrek berbeda, tentu saja. Pilrek ruang lingkupnya kecil dan pemilihnya dapat dihitung jari sehingga mudah dikonsolidasi, baik oleh petahana sendiri maupun oleh lawan-lawannya. Hanya saja, jangan lupa kalau pemilik suara Pilrek (Anggota Senat Akademik) memiliki kemandirian yang tinggi sehingga relatif tak mudah dirayu.
Oleh karena itu, jika pada dasarnya petahana mereka nilai baik (investasi positif), maka ia sangat sulit dikalahkan, dan nilai investasinya cenderung makin besar.
Sebaliknya, jika pada dasarnya petahana dinilai gagal, maka sangat memungkinkan terjadi persekongkolan di kalangan pemilik suara untuk menjatuhkannya.
Apa yang terjadi kemudian? Prediksi saya ternyata salah. Perolehan suara Prof JJ bukannya 55%, tetapi 80%. Surprise. Setuju atau tidak, suka atau tidak, reprensentasi Unhas bernama Senat Akademik itu, masih menginginkan Prof. JJ memimpin Unhas untuk periode 2026 – 2030.
___
Makassar, 4 November 2025
