“Kita pernah tidur di ranjang yang sama, tapi mimpi kita berbeda. Kita bersujud di masjid yang sama, tapi doa kita tak selalu sama. Kita berguru pada ustaz yang sama, tapi jalan ilmu kita masing-masing punya warna.”
(Muliadi, 82–88)
PELAKITA.ID – “Subuh belum tiba, suara gemercik air wudhu dan bunyi sandal sudah bersahutan.” Begitu kata Jahidin, teman sekamar yang paling suka bangun paling akhir, tapi paling cerewet mengingatkan orang lain bangun.
Ironi khas santri. Begitulah kehidupan di pesantren — antara kantuk dan taat, antara kasur tipis dan cita-cita tinggi.
Malam itu, seperti malam-malam biasa, suara ketukan di pintu asrama terdengar: tok tok tok!
“Bangun, bro! Tahajjud dulu, azan subuh sudah dekat. Katanya mau jadi ustaz internasional!” seru Jahidin — setengah berteriak, setengah menguap.
Aku hanya membalikkan badan, tapi nurani menegur: Hei, kau mau ketinggalan barisan orang-orang yang didoakan malaikat?
Lalu aku berdiri, membasuh muka, dan menapak pelan ke masjid. Di langit, bulan sabit menggantung malu-malu. Di masjid, para santri berderet dalam sunyi — doa-doa naik perlahan, seperti asap dupa menuju langit.
Setelah tahajjud, suasana berubah riuh. Ada yang menyiapkan ngaji kitab kuning, ada yang masih berzikir dalam diam. Ustaz Qasim — guru karismatik sekaligus humoris — masuk membawa Tafsir Jalalain.
“Siapa yang bisa artikan ayat ini?” tanyanya sambil menatap kami.
Jahidin langsung berdiri dengan percaya diri luar biasa. Tapi hasilnya? “Alhamdulillah, artinya sudah benar setengah,” kata ustaz tersenyum. “Setengahnya lagi entah ke mana.”
Kami pun pecah dalam tawa. Di pesantren, kesalahan bukan hanya hukuman — tapi juga bahan tawa dan pelajaran.
Dua Dunia, Satu Jalan Ilmu
Di Pesantren IMMIM, kami tak hanya belajar agama. Kami belajar segalanya. Pagi hari pelajaran umum seperti di sekolah negeri: Matematika, IPA, Bahasa Inggris, Geografi, Ekonomi. Siangnya pelajaran madrasah: Tafsir, Hadis, Fiqih, Nahwu, Sharaf.
Bayangkan, di usia belasan tahun kami memikul dua dunia pengetahuan sekaligus — dunia akal dan dunia qalbu.
Kami menjalani ujian SMP dan SMA sekaligus Tsanawiyah dan Aliyah. Belum lagi hafalan Al-Qur’an dan kajian kitab.
Yang bertahan sampai akhir akan membawa pulang lima ijazah: SMP, Tsanawiyah, SMA, Aliyah, dan Ijazah Pesantren.
Kami sering bercanda, “Kalau ijazah bisa dimakan, mungkin sudah kenyang kita semua.” Namun di balik lelucon itu tersimpan kebanggaan — karena setiap lembar ijazah bukan hadiah, melainkan hasil perjuangan antara malam tanpa tidur dan pagi penuh doa.
Antara Disiplin dan Keisengan
Meski penuh kesungguhan, kehidupan santri tetap berwarna.
Karena tak bebas keluar kampus — izin jalan hanya sebulan sekali — beberapa santri, termasuk Jahidin, mencari “jalan alternatif”.
Mereka menunggu malam paling sepi, lalu… memanjat pagar!
Kalau ketahuan? Besok paginya rambut mereka sudah tak ada. Ustaz hanya berkata datar, “Rambut itu tanda semangat, tapi kalau semangatnya salah arah, biar angin saja yang bawa pergi.”
Kami pun tertawa — sambil berjanji dalam hati: jangan sampai ketahuan juga.
Malam-malam tertentu, pesantren berubah seperti teater rohani.
Setelah salat Isya, terdengar pengumuman yang membuat jantung berdebar: “Daftar nama santri yang melanggar hari ini…”
Semua menunduk, menahan napas. “Nomor 17: Jahidin bin Rahman, berbicara di luar bahasa Arab, lima kalimat!”
Tawa kami pun pecah, meski pelan.
Di pesantren, Qismul Amni — bagian keamanan — bak “algojo lembut”: tegas tapi bersahabat.
Setiap hukuman selalu diakhiri dengan nasihat, bukan amarah.
Nikmat yang Tak Bisa Dibeli
Salah satu momen paling dinanti adalah makan bersama. Kami duduk rapi di meja panjang, piring kaleng berjajar, aroma lauk sederhana mengalir bersama tawa. Menunggu aba-aba dari santri senior:
“Bismillah… mulai!”
Serentak sendok-sendok menari. Tapi jika ada santri yang belum datang, makanannya jadi incaran.
“Eh, itu punya siapa?”
“Kayaknya Rahmat belum datang…”
Dalam sekejap, tangan-tangan cekatan berebut.
“Cepat, sebelum dia datang!”
“Sudah habis, tapi kita doakan semoga dia kenyang juga!”
Tawa pun meledak.
Dalam kesederhanaan itu, kami belajar tentang kejujuran, solidaritas, dan nikmat kebersamaan yang tak bisa dibeli.
Dari Pesantren ke Peradaban
Kini waktu telah berjalan jauh. Kami tak lagi tidur di ranjang bertingkat itu, tak lagi rebutan ember mandi, atau bersaing siapa paling cepat hafal hadis. Namun kenangan itu tetap hidup — seperti azan subuh yang terus membangunkan hati dari kantuk dunia.
Alumni Pesantren IMMIM kini tersebar di seluruh nusantara, bahkan hingga mancanegara. Kami berhimpun dalam IAPIM — Ikatan Alumni Pesantren IMMIM, melanjutkan pengabdian, menebar ilmu, dan menanam bakti untuk negeri.
Dari desa hingga istana, dari masjid kecil hingga forum dunia, kami membawa satu tekad: Pesantren IMMIM untuk Nusantara dan Dunia.
Selamat menyongsong 50 Tahun Pesantren IMMIM. Separuh abad bukan sekadar waktu — ia adalah kisah cinta antara ilmu, iman, dan pengabdian.
Kita pernah tidur di ranjang yang sama, tapi mimpi kita berbeda.
Kita bersujud di masjid yang sama, tapi doa kita tak selalu sama.
Kita berguru pada ustaz yang sama, tapi jalan ilmu kita berliku-liku berbeda.
Namun di antara semua perbedaan itu, ada satu kesamaan yang abadi:
Kami pernah menjadi santri IMMIM — dan itu adalah kehormatan seumur hidup.
Selamat Hari Santri! Untuk semua yang pernah menahan kantuk di sepertiga malam, yang pernah tertawa di sela azan, dan yang pernah mencintai ilmu lebih dari segalanya.
Semoga semangat santri tetap menjadi cahaya bagi negeri — dari pesantren menuju peradaban.
