PELAKITA.ID – Pemasyarakatan merupakan salah satu subsistem dalam sistem peradilan pidana di Indonesia yang memiliki posisi sejajar dengan aparat penegak hukum lainnya, seperti Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan.
Fungsi Pemasyarakatan mencakup seluruh tahapan proses peradilan, baik pada tahap pra-ajudikasi, ajudikasi, maupun pasca-ajudikasi.
Dalam pelaksanaannya, Pemasyarakatan memiliki beberapa unit pelaksana teknis (UPT), yaitu Rumah Tahanan Negara (Rutan), Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), dan Balai Pemasyarakatan (Bapas).
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan, Pasal 20 menyebutkan bahwa pelayanan terhadap tahanan di Rutan meliputi: penerimaan tahanan, penempatan tahanan, pelaksanaan pelayanan tahanan, dan pengeluaran tahanan.
Yang dimaksud dengan tahanan adalah tersangka atau terdakwa yang sedang menjalani proses peradilan dan ditempatkan di Rumah Tahanan Negara.
Para tahanan ini merupakan titipan dari penyidik, kejaksaan, maupun lembaga peradilan di berbagai tingkatan — mulai dari Pengadilan Negeri hingga Mahkamah Agung. Proses penyerahan tahanan dilakukan dengan membawa berkas lengkap berupa surat perintah atau penetapan penahanan dan berita acara serah terima.
Petugas Rutan kemudian memeriksa keabsahan dan kecocokan identitas tahanan berdasarkan berkas tersebut. Jika dinyatakan sah, maka dilakukan proses serah terima resmi.
Dalam praktiknya, terdapat dua kelompok tahanan di Rutan, yaitu mereka yang baru pertama kali menjalani penahanan dan mereka yang sudah pernah ditahan sebelumnya, atau disebut sebagai residivis.
Setelah proses penerimaan selesai, identitas tahanan diinput ke dalam Sistem Database Pemasyarakatan (SDP) yang mencakup data pribadi, foto, dan sidik jari.
Namun, penginputan data ini sepenuhnya bergantung pada informasi yang tertera dalam surat perintah atau penetapan penahanan. Karena tahanan umumnya tidak membawa dokumen identitas resmi seperti KTP atau Kartu Keluarga, maka validitas data sangat bergantung pada keakuratan berkas tersebut.
Kondisi ini sering kali menimbulkan perbedaan identitas antara data tahanan yang pernah ditahan sebelumnya dengan data penahanannya yang baru. Beberapa faktor penyebabnya antara lain:
-
Sistem database pemasyarakatan belum terintegrasi antarunit pelaksana teknis.
-
Sistem database pemasyarakatan belum tersinkronisasi dengan data Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil).
-
Operator database di Rutan hanya menginput data berdasarkan surat perintah atau penetapan penahanan tanpa verifikasi tambahan.
-
Tidak tersedianya dokumen pendukung seperti KTP atau KK untuk mencocokkan identitas asli tahanan.
-
Kemungkinan terjadinya kesalahan atau ketidaksesuaian data pada surat perintah penahanan, baik karena human error maupun unsur kesengajaan.
Akibat perbedaan identitas ini, sistem database Pemasyarakatan dapat mencatat tahanan residivis seolah-olah sebagai tahanan baru. Hal tersebut menimbulkan sejumlah implikasi penting, antara lain:
-
Pemberatan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 58 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP tidak dapat diterapkan karena sistem tidak mengenali riwayat penahanan sebelumnya.
-
Ketidakmungkinan diversi bagi anak, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
-
Penetapan tingkat risiko dalam Assessment Risiko Residivisme Indonesia menjadi tidak akurat, yang berdampak pada penempatan tahanan dan pola pembinaan.
-
Kekeliruan dalam program pembinaan, karena tahanan residivis diperlakukan sebagai tahanan baru.
-
Kesulitan dalam pencabutan hak integrasi, jika yang bersangkutan merupakan klien Bapas yang melakukan pelanggaran pada masa pembimbingan.
Untuk mengatasi permasalahan identitas ganda tahanan residivis, penulis menawarkan beberapa solusi:
-
Solusi jangka panjanng.
Pemerintah perlu memperkuat integrasi sistem database pemasyarakatan antarunit pelaksana teknis, serta memastikan sinkronisasi dengan sistem kependudukan nasional. Dengan demikian, setiap tahanan dapat dilacak berdasarkan identitas biometrik dan riwayat penahanannya di seluruh Indonesia.
-
Solusi jangka pendek:
Perlu dilakukan kerja sama antara Rumah Tahanan Negara dengan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil setempat untuk melakukan verifikasi identitas tahanan baru. Jika ditemukan perbedaan antara identitas dalam surat penahanan dengan data resmi Disdukcapil, maka pihak Rutan harus berkoordinasi dengan instansi penahan untuk melakukan koreksi. Langkah ini akan memastikan keabsahan identitas tahanan sesuai dengan data kependudukan nasional.
Dengan penerapan langkah-langkah tersebut, diharapkan sistem pemasyarakatan dapat lebih akurat, transparan, dan mampu memberikan keadilan administratif bagi seluruh tahanan, termasuk mereka yang berstatus residivis.
