‘Academic Novel’ Andi Adri Arief | Dalam Bayang Ponggawa, di Rahim Laut

  • Whatsapp

Sketsa sosiologi maritim oleh Guru Besar Sosiologi Perikanan Unhas, Prof Dr Andi Adri Arief, M.Si ini adalah bagian hasil penelitian empiris, yang dinarasikan dalam bentuk academic novel agar Gen Z sebagai sasaran pembaca lebih tertarik membacanya dan sekaligus reflektif akademik tetap kuat di dalamnya.

PELAKITA.ID – Angin timur menampar lembut pantai Pajukukang pagi itu. Cahaya matahari menari di permukaan air, nampak kilauan seperti serpihan kaca.

Perahu-perahu kecil terikat rapi di dermaga kayu, menunggu sentuhan ponggawa dan sawi yang setiap hari menorehkan cerita tentang hidup dan mati di laut.

Udara berbau asin, bercampur bau solar dan amis ikan yang menempel di tubuh para sawi sejak dini hari.

Di sudut kampung, H. Baco Cinda, Sang Ponggawa Lompo, duduk bersila di beranda rumah panggungnya. Tangannya yang keriput memegang rokok kretek, mengepul pelan di udara pagi.

Sorot matanya menembus debur ombak, seolah membaca masa depan—masa depan para sawi yang menggantungkan hidup pada kebijaksanaannya. Di sampingnya, Sakka, Sang Ponggawa Laut, berdiri sambil menatap laut lekat-lekat.

Tubuhnya tegap, kulitnya legam terbakar matahari, matanya tajam seperti mata elang.

Sakka: “Puang, kalau hari ini angin timur makin kencang, kita tetap berangkat?”

H. Baco Cinda: (menghela napas panjang) “Laut tak pernah menunggu kita, Nak. Tapi ingat, jangan melawan laut. Dengarkan dia. Kalau kau tak melaut hari ini, besok anakmu makan apa?”

Sakka menunduk hormat. Ia mengerti. Laut bisa menjadi sahabat yang memberi, tapi juga bisa menjadi musuh yang menelan.

Menurut James C. Scott (The Moral Economy of the Peasant: Rebellion and Subsistence in Southeast Asia), subsistence ethics adalah etika paling purba yang menjaga manusia tetap hidup, meskipun dalam keterjepitan.

Etika inilah yang merangkai hubungan ponggawa dan sawi, menjahit kesenjangan ekonomi dengan benang moral dan solidaritas sosial.

Bagi nelayan Pajukukang, moral ekonomi bukan teori kosong—ia hidup, menuntun, dan menenangkan hati mereka di setiap gelombang kehidupan.

LAUT SEBAGAI RAHIM DAN MISTERI

Laut bagi masyarakat Desa Pantai Pajukukang adalah segalanya. Laut adalah rahim yang melahirkan harapan dan misteri yang mengintai maut.

Tak ada yang lebih menenangkan daripada suara ombak di subuh hari, ketika perahu menembus kabut, dan matahari muncul pelan di ufuk timur. Namun, tak ada yang lebih menakutkan ketika badai datang tiba-tiba, menenggelamkan perahu dan menelan nelayan tanpa jejak.

Dalam istilah Emile Durkheim, laut menciptakan conscience collective — kesadaran kolektif yang menuntun perilaku dan keyakinan hidup bersama. Laut menuntut rasa hormat, keberanian, dan ketundukan pada hukum alam.

Di atas perahu Lakara, purse seine, Muing duduk memeluk lututnya sambil menatap gelombang yang berkejaran.

Angin menerpa wajahnya, menusuk hingga tulang.

Muing: “Tompo, kalau ombak makin besar begini, kita tetap tebar jaring?”

Tompo: (memperbaiki ikatan tali di tangannya) “Selama Ponggawa belum suruh pulang, kita tebar saja. Rezeki itu menunggu yang berani menjemputnya.”

Sakka berdiri di haluan, matanya menerawang menembus horizon.

Sakka: “Kalian jangan takut. Laut ini memang rahim, tapi juga misteri. Kalau kita hormati dia, dia beri kita ikan. Kalau kita sombong, dia telan kita hidup-hidup.”

Durkheim dalam The Division of Labour in Society menuliskan “Conscience collective is the totality of beliefs and sentiments common to average citizens of the same society, forming a determinate system with a life of its own,” kesadaran kolektif masyarakat lahir dari pengalaman bersama yang diulang-ulang hingga menjadi kebenaran moral.

Bagi mereka, laut adalah kebenaran tertinggi.

PONGGAWA, SAWI, DAN DIALEKTIKA KUASA

H. Baco Cinda adalah “ponggawa lompo (besar)” dengan tiga “ponggawa kecil” atau juragan yang masing-masing memiliki sawi.

Struktur itu tidak sekadar hierarki ekonomi, melainkan jejaring moral ekonomi.

Weber menyebut pranata sosial seperti ini sebagai institusi tradisional, tempat tindakan ekonomi terikat oleh nilai dan norma, bukan sekadar kalkulasi untung rugi.

Setiap pagi, sebelum matahari menembus celah pelepah kelapa, Sakka berjalan dari rumah ke rumah, mengetuk pelan dinding kayu.

Sakka: “Rabang! Ummase! Sangkala! Bangun, nak. Angin masih bersahabat hari ini.”

Rabang keluar mengusap matanya, menggeliat pelan.

Rabang: “Puang, semalam hujan besar. Kalau laut masih marah, apa kita tetap berangkat?”

Sakka: (menepuk bahunya) “Kita hidup dari laut, Rabang. Tapi jangan takut. Kalau laut mengusir kita hari ini, kita pulang. Besok kita datang lagi.”

Keberangkatan mereka bukan hanya untuk mencari ikan, melainkan menegaskan siapa pemimpin dan siapa pengikut, siapa yang menanggung dan siapa yang ditanggung.

Ritual itu menegaskan hierarki dan solidaritas sekaligus.

Weber menulis, dalam patrimonial domination, kuasa moral lebih kuat daripada kuasa ekonomi.

Ponggawa bukan sekadar pemilik modal, ia adalah penjamin hidup.

KEKERABATAN DAN REPROSITAS: WARISAN YANG TERUS HIDUP

Para sawi bukan sekadar pekerja. Mereka adalah kerabat, ipar, menantu, sepupu. Tidak ada garis tegas antara hubungan ekonomi dan hubungan darah di Desa pantai Pajukukang.

Semua saling terikat oleh sejarah, hutang budi, dan kekerabatan yang diwariskan sejak leluhur mereka pertama kali menancapkan tiang rumah panggung di tepi pantai ini.

Clifford Geertz (1973) dalam The Interpretation of Cultures menulis, ekonomi desa selalu dililit oleh web of significance – jalinan makna yang menundukkan kalkulasi rasional pada logika moral dan kekerabatan.

Di sinilah, upah bukan sekadar nominal, melainkan cara menjaga harga diri dan kehormatan keluarga; pinjaman bukan sekadar hutang, melainkan penegas ikatan sosial yang tak kasat mata.

Pagi itu, mentari masih malas bangkit dari ufuk timur.

Di pelataran rumah Sakka, Tahe menumbuk es dengan palu kayu, serpihannya beterbangan menimpa kakinya yang telanjang. Udara dingin menyentuh kulitnya, memaksanya merapatkan sarung di pinggangnya.

Ummase duduk di sampingnya, mengikat jaring yang putus dengan cekatan.

Suara serat nilon bergesekan dengan jarum bambu menimbulkan irama pelan, seirama dengan kicau burung pipit di atas atap rumah.

Ummase: “Tahe, kau tahu kenapa aku ikut Sakka melaut?”

Tahe: “Karena dia Daengmu (abangmu)?”

Ummase: (menghela napas panjang, menatap laut yang mulai memerah di ujung sana) “Bukan hanya itu. Kalau bukan Daengku?, mana ada orang lain yang mau meminjamiku beras waktu istriku melahirkan? Kalau bukan karena dia ponggawa’ta, anakku sudah mati kelaparan waktu itu.”

Ummase menghentikan tangannya sejenak. Matanya menerawang jauh, menembus barisan perahu yang tertambat di dermaga.

Ia teringat malam itu, ketika hujan turun deras, istrinya menjerit kesakitan menahan kontraksi, sementara di dapur hanya tersisa setengah liter beras dan air sumur keruh. Sakka datang membawa satu karung beras dan sebotol minyak kayu putih.

Ummase: “Daengku itu ponggawa, artinya dia juga bapak bagi kita. Orang kota tak akan mengerti… mereka hanya lihat angka di buku kas. Mereka tak pernah lihat air mata istri yang lapar saat melahirkan.”

Tahe berhenti menumbuk es, menatap Ummase lama. Di matanya, terpancar penghormatan dan kepasrahan.

Mereka tahu, di desa ini, hubungan darah dan hubungan kerja terjalin rapat – seperti simpul jaring yang tak bisa dilepas satu per satu tanpa merusak semuanya.

Seekor camar terbang rendah, sayapnya menyentuh air laut yang mulai pasang.

Angin pagi membawa bau asin dan amis laut, menembus rongga hidung mereka dan menghidupkan kembali kesadaran akan siapa mereka: anak laut, sawi, ponggawa, dan bagian dari rahim besar bernama Desa Pantai Pajukukang.

Editor Denun