Kita, Lingkungan, dan Jalan Pengetahuan: Refleksi dari Seorang Aktivis

  • Whatsapp
Ziaulhaq Nawawi, pendiri Eco Natural Society (dok: Pelakita.ID)

Dari Diskusi Dampak Pengusahaan Tambang pada Pesisir dan Laut: Geger dan Cemas dari Raja Ampat oleh Jaringan LSM dan Praktisi Kelautan dan Perikanan di Cafe Boska Tanjung Bunga Makassar, Sabtu. 14 Juni 2025.

PELAKITA.ID – “Lingkungan itu harus selaras,” katanya tegas di tengah diskusi, “karena kita manusia sering merasa paling tahu—menanam jagung di bukit, di gunung, dan ketika banjir datang, kita menyalahkan alam.”

Itulah satu dari sekian banyak potongan refleksi kritis dari seorang aktivis lingkungan bernama Ziaulhaq Nawawi yang berbicara bukan hanya dari teori, tapi dari pengalaman panjang di lapangan.

Bagi narasumber ini, perjuangan lingkungan tidak semata tentang menyelamatkan pohon atau laut. Ini tentang mengembalikan akal sehat. Tentang menghadirkan ruang belajar yang benar-benar hidup, bukan sekadar ruang kuliah yang kehilangan rohnya.

“Kampus sekarang,” ujarnya, “seringkali hanya melahirkan sarjana yang jadi kakitangan kapital.”

Ia mengkritisi RP3 (Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup) yang dinilai kerap disusun tanpa melibatkan akal sehat ekologis.

Padahal, jika disusun dengan benar, RP3 seharusnya jadi benteng awal sebelum izin-izin usaha keluar. Namun kenyataan sering berkata lain—banyak dosen, bahkan alumni kampus sendiri, yang justru terlibat dalam proses menyusun dokumen yang sarat masalah.

Ia bercerita tentang kasus di Selayar, di mana perjuangan mereka untuk menyelamatkan kawasan mangrove seluas 1,47 hektar akhirnya membuahkan hasil. Di daerah, mereka kalah. Tapi di pusat, mereka menang.

Kemenangan kecil yang mengandung pelajaran besar: bahwa advokasi lingkungan adalah jalan panjang yang butuh kekuatan bersama, bukan ego sektoral.

“Kita ini terlalu lama main-main,” katanya, menyindir gaya kerja NGO yang terjebak dalam diskusi berulang tanpa solusi nyata. Baginya, advokasi harus berdampak langsung ke masyarakat.

Ia mencontohkan program-program sederhana, seperti mengajarkan ibu-ibu membuat abon ikan atau dodol nenas di wilayah terpencil. “Hal kecil itu bisa mengubah hidup,” katanya. “Bukan seminar, tapi keterampilan.”

Dalam pengalamannya selama lebih dari satu dekade, termasuk di Papua, ia melihat bahwa konflik lingkungan tak pernah benar-benar selesai selama masyarakat tidak diberi pilihan alternatif yang layak.

“Apa benar konservasi itu lebih baik dari eksploitasi? Kita belum pernah kasih tawaran yang adil kepada masyarakat,” ujarnya.

Ia juga mengingatkan tentang bahaya ketika urusan lingkungan dicampuradukkan dengan agenda politik. “Saya tidak peduli siapa yang jadi ketua kelompok kerja atau rektor. Selama dia tidak berbicara dengan bahasa pengetahuan, saya tidak anggap penting,” tegasnya.

Karena bagi dia, satu-satunya kompas moral dalam isu lingkungan adalah pengetahuan yang murni dan keberpihakan pada semesta.

Kasus tambang nikel di Papua, menurutnya, jadi contoh betapa masyarakat seringkali hanya jadi penonton di tanah mereka sendiri.

“Wayag itu jantung dunia. Tapi ketika izin keluar dan eksploitasi dimulai, siapa yang menjaga hak masyarakat?” tanyanya. Ia menekankan pentingnya pendekatan yang arif dan tidak rakus dalam mengelola sumber daya.

Diskusi ditutup dengan kritik pedas namun jujur terhadap lembaga-lembaga pelestarian internasional lainnya. Banyak uang digelontorkan, banyak lahan digarap, tapi hasilnya?

“Coba cek sekarang, apakah kawasan-kawasan itu masih dijaga oleh warga?” katanya, mempertanyakan keberlanjutan program yang katanya berbasis masyarakat tapi kerap hanya memperkaya segelintir elite proyek.

Dari semua yang ia sampaikan, satu pesan kuat mengemuka: kita butuh kembali pada akal sehat, pada pengetahuan yang jujur, dan pada keberanian untuk mengakui bahwa jalan pelestarian bukan soal siapa yang paling vokal, tapi siapa yang paling konsisten berpihak pada bumi dan manusianya.

Editor Denun