Jangan Dulu Gunting Rambut, Cukur Jenggot, Potong Kuku: Hakikat Larangan dalam Kacamata Sufi, ditulis oleh Muliadi Saleh, penulis, pemikir, penggerak literasi dan kebudayaan. Menulis untuk Menginspirasi, Mencerahkan, dan Menggerakkan Peradaban.
PELAKITA.ID – Dalam hening malam yang disinari cahaya bulan, di bawah langit yang membisikkan zikir semesta, para sufi menunduk dalam kekhusyukan.
Bukan hanya hati mereka yang bersuci, tetapi tubuh mereka pun dijaga dalam adab yang tinggi. Di antara petuah yang diwariskan, ada satu nasihat yang tampak sederhana namun sarat makna:
“Jangan potong rambutmu, jangan cukur jenggotmu, jangan potong kukumu… bila niatmu telah menggema ke langit, menanti Hari Raya Kurban.”
Larangan ini bukan lahir dari kekakuan hukum, melainkan dari kelembutan batin dan kedalaman rasa. Ia tumbuh dari cinta dan takut kepada Tuhan, lalu mekar menjadi bunga ketaatan yang harum di taman cinta Ilahi.
Jejak Sunah dan Sabda
Rasulullah SAW bersabda:
“Jika kalian melihat hilal Dzulhijjah dan salah seorang di antara kalian ingin berkurban, maka janganlah ia memotong rambut dan kukunya hingga ia menyembelih kurbannya.”
(HR. Muslim No. 1977)
Hadis ini tidak menghadirkan larangan mutlak dalam hukum syariat. Ia adalah etika spiritual, bentuk partisipasi batin dengan mereka yang wukuf di Arafah. Sebuah persiapan diri — penyucian lahir sebelum penyembelihan suci — sebagai lambang pengorbanan Nabi Ibrahim dan ketundukan Nabi Ismail.
Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan:
“Hadis ini menunjukkan bahwa makruh hukumnya memotong rambut dan kuku bagi orang yang ingin berkurban, dari awal Dzulhijjah hingga menyembelih. Namun, ini bukan haram karena tidak ada dalil yang menunjukkan larangan tegas.”
Namun bagi para sufi, wilayah makruh adalah samudra tafakur. Mereka tak memandangnya semata soal hukum, tetapi soal berkah atau tidak, dekat atau jauh, beradab atau lalai di hadapan Sang Maha Hadir.
Hakikat Menahan Diri: Lahir Menunggu Luhur
Syekh Abdul Qadir al-Jailani dalam Futuh al-Ghaib menulis:
“Seseorang tidak akan sempurna imannya hingga ia menjadikan keinginan Allah sebagai keinginannya, dan waktu Allah sebagai waktu yang ia patuhi.”
Larangan memotong rambut dan kuku sebelum kurban, dalam pandangan para sufi, adalah latihan ketaatan. Menahan tangan dari pisau dan gunting adalah cara mengajarkan hati menahan diri dari nafsu dan keinginan.
Ini bukan sekadar soal rambut yang tumbuh, tetapi soal ruh yang sedang disiapkan. Sebab kurban sejati bukan hanya menyembelih hewan, melainkan menyembelih ego, memotong keakuan.
Rambut yang dibiarkan tumbuh adalah saksi bahwa pemiliknya sedang menunggu perintah Allah. Kuku yang tak dipotong menjadi lambang bahwa jiwa ini belum selesai disucikan, dan hanya boleh “diperbaiki” saat kurban telah ditunaikan. Semuanya menjadi simbol, bahasa tubuh yang berbicara kepada langit:
“Aku siap mengorbankan apa pun, bahkan diriku.”
Antara Lahir dan Batin: Simbol Cinta
Rambut adalah mahkota. Jenggot adalah fitrah. Kuku adalah ujung tubuh. Ketiganya sering menjadi bagian yang kita rawat untuk mempercantik diri, menjadi representasi identitas kita di mata manusia. Maka saat kita diminta menahannya, kita sejatinya diminta menanggalkan ego dan menyerahkan diri kepada-Nya.
Ibnu Athaillah dalam Al-Hikam menulis:
“Terkadang Allah menahanmu agar kau datang, bukan untuk menghukummu, tetapi agar kau bersandar penuh pada-Nya.”
Larangan ini bukan karena Allah menginginkan kuku atau rambut kita tetap utuh, tapi karena Dia ingin hati kita tetap utuh dalam cinta dan kepasrahan.
Syekh Yusuf al-Maqassari, ulama sufi dari Nusantara, dalam surat-surat ruhaniahnya menulis:
“Setiap bentuk larangan lahir, bila disertai niat yang benar, akan menumbuhkan adab batin dan rasa malu kepada Allah.”
Dan rasa malu itulah yang menjadi sumber taqwa — bukan sekadar takut, tapi hormat, kagum, dan rindu.
Sisi Ilmiah dan Etika Kesucian
Ahli fikih dan kedokteran Islam seperti Ibnu Sina dan Imam Ghazali menekankan pentingnya menjaga adab tubuh dalam ibadah dan kesehatan.
Dalam konteks modern, menahan diri dari memotong kuku atau rambut selama 10 hari awal Dzulhijjah tidak menimbulkan risiko kesehatan. Bahkan, bisa menjadi sarana mindfulness — kesadaran tubuh dan batin yang utuh.
Prof. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah menegaskan:
“Perintah dan larangan Allah tak selalu rasional dalam penampakan, tapi sarat makna simbolik dan spiritual yang membentuk karakter dan adab.”
Menyambut Kurban dengan Kesadaran Jiwa
Larangan ini bukan semata hukum, tetapi pintu menuju rasa. Kurban sejati tak terletak pada pisau yang memotong, melainkan pada niat yang tulus mengorbankan rasa milik. Bahwa hidup ini bukan untuk disombongkan, tetapi untuk dikurbankan — dalam cinta kepada Allah.
Di hari-hari agung menjelang Idul Adha, mari kita belajar menahan diri. Biarkan rambut tumbuh, jenggot menebal, kuku memanjang — bukan karena lalai, tetapi karena kita tengah bersiap menyambut momen suci:
menyembelih bukan hanya kambing, tetapi menyembelih keakuan.
Itulah makna yang diajarkan para sufi:
Bahwa tubuh yang dijaga adalah cermin hati yang sedang bersujud.
Makassar, 28 Mei 2025