PELAKITA.ID – Di sebuah lorong sunyi di pelosok negeri, seorang anak perempuan menggenggam bunga melati. Usianya baru menginjak lima belas, namun wajahnya telah ditutupi cadar putih dan tubuhnya dibalut gaun pengantin.
Di hadapannya, seorang pria jauh lebih tua bersiap menyematkan cincin, sementara sang ayah mengusap air mata — entah karena haru, atau justru karena ragu.
Di balik kebaya putih itu, tersembunyi tanya yang belum sempat tumbuh: Apakah ini cinta?
Ataukah sekadar warisan tradisi yang menjelma luka? Pernikahan dini masih menjadi narasi duka yang dinormalisasi — atas nama adat, keperluan, atau bahkan pelarian dari aib.
Menurut laporan UNICEF (2023), Indonesia menempati posisi keempat tertinggi di dunia dalam jumlah pernikahan anak.
Setidaknya satu dari sembilan anak perempuan di negeri ini menikah sebelum usia 18 tahun. Ini bukan sekadar angka. Ini adalah potret ribuan mimpi yang dipangkas sebelum mekar, ratusan cita-cita yang layu di ranjang kewajiban rumah tangga.
Pemerintah telah berupaya. Melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019, usia minimal pernikahan ditetapkan 19 tahun untuk laki-laki dan perempuan. Namun, celah masih terbuka lebar lewat dispensasi kawin.
Pada 2022, lebih dari 50.000 dispensasi dikabulkan — mayoritas untuk anak perempuan. Hukum telah membangun pagar, tetapi celahnya tetap terbuka karena tekanan budaya, ekonomi, dan stigma sosial.
Agama kerap dijadikan pembenaran, seolah Islam melegitimasi pernikahan anak karena tidak menetapkan batas usia yang pasti.
Padahal, dalam maqashid syariah — tujuan utama hukum Islam — ditegaskan pentingnya menjaga jiwa (hifz an-nafs) dan keturunan (hifz an-nasl). Pernikahan yang memaksa anak menanggung beban di luar kemampuannya justru bertentangan dengan semangat Islam: rahmat dan perlindungan.
Menikahkan anak sebelum cukup ilmu dan kematangan jiwanya, ibarat melepas burung kecil ke tengah badai. Islam mengajarkan kesiapan — bukan sekadar kematangan biologis, tetapi juga emosional, intelektual, dan tanggung jawab sosial.
Nabi Muhammad SAW menikahkan Fatimah Az-Zahra dengan Ali bin Abi Thalib bukan semata karena usia, tetapi karena kesiapan jiwa mereka menapaki hidup bersama.
Namun, di banyak desa, tradisi bicara lain. Menstruasi pertama sering dianggap tanda “siap nikah”. Tak peduli apakah sang anak mengerti tentang rumah tangga, tubuhnya sendiri, hak dan tanggung jawabnya sebagai istri dan ibu. Di tempat seperti itu, kehormatan keluarga sering lebih penting daripada masa depan anak.
Alasan ekonomi juga sering jadi pemicu. Kemiskinan membuat keluarga merasa harus “menyederhanakan beban” dengan menikahkan anak perempuan. Diberi mahar, diantar pergi, dan satu persoalan dianggap selesai. Padahal, yang sesungguhnya terjadi adalah lahirnya satu generasi baru yang rentan: anak yang menjadi ibu sebelum cukup bekal, mendidik anak sebelum selesai mendidik dirinya sendiri.
Pernikahan dini bukan hanya luka pribadi — ia juga luka sosial. Studi menunjukkan korelasi kuat antara pernikahan anak dengan angka putus sekolah, kemiskinan antargenerasi, dan stunting.
Ibu yang menikah di usia belia lebih rentan mengalami komplikasi kehamilan dan melahirkan anak bergizi buruk.
Indonesia menargetkan penurunan pernikahan anak hingga 8,74% pada 2024 dan 6,94% pada 2030, namun target ini mustahil tercapai tanpa perubahan sosial yang mendalam.
Akar dari semua ini adalah minimnya pendidikan — bukan hanya di sekolah, tetapi dalam keluarga dan dalam hati.
Pendidikan yang mengajarkan bahwa perempuan bukan beban yang harus segera dilepas, melainkan cahaya masa depan yang mesti disiapkan untuk bersinar.
Meski demikian, harapan belum padam. Di berbagai daerah, komunitas perempuan bangkit memberi penyuluhan, mendampingi, menyuarakan bahwa anak perempuan berhak tumbuh, belajar, dan bermimpi.
Program seperti PATBM (Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat) mulai menjangkau desa-desa terpencil.
Para ulama progresif pun angkat suara: pernikahan dini bukan ajaran Islam, melainkan warisan ketidaktahuan yang mesti dikoreksi.
Dalam tasawuf, cinta bukan nafsu yang terburu-buru, tapi cahaya yang muncul setelah pengenalan diri.
Syekh Ibnu ‘Athaillah dalam Al-Hikam menulis: “Segala sesuatu memiliki waktu, dan tergesa-gesa mendatangkan kerusakan.” Pernikahan yang dijalankan karena ketakutan pada dosa semu, justru bisa menjadi ladang luka nyata — kekerasan, kemiskinan, kesengsaraan.
Kita butuh kearifan baru untuk menafsirkan ulang tradisi dan ajaran. Kearifan yang melihat anak-anak sebagai amanah, bukan harta yang harus segera dipindah tangankan.
Kearifan yang lahir dari cinta sejati — bukan cinta yang melegalkan pernikahan, melainkan cinta yang membiarkan anak tumbuh, memilih, dan membangun takdirnya sendiri.
Hari ini, masih banyak pengantin kecil melangkah ke pelaminan dalam diam. Bunga-bunga disematkan di rambut mereka, tapi dalam hati, bunga masa kecil telah gugur.
Mari kita rawat yang tersisa. Mari hentikan arak-arakan pengantin yang lahir dari ketakutan dan keterpaksaan. Mari bangun generasi masa depan yang menikah bukan karena desakan, tetapi karena kesiapan — lahir dan batin, jiwa dan pengetahuan.
Sebab sejatinya, pernikahan bukanlah pelarian. Ia adalah perjalanan panjang menuju kedewasaan. Dan tak seorang pun seharusnya dipaksa memulai perjalanan itu sebelum cahaya dalam dirinya benar-benar menyala.