Senator DPD Waris Halid Dengarkan Aspirasi Masyarakat di Area Tambang Luwu Timur

  • Whatsapp
Anggota DPD asal Sulsel, Abdul Waris Halid (dok: Tribun Timur)

PELAKITA.ID – Kunjungan Anggota DPD RI, Abdul Waris Halid, ke Luwu Timur menjadi sorotan penting di tengah meningkatnya ketegangan antara masyarakat adat dan perusahaan tambang.

Salah satu agenda utamanya adalah memediasi Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara masyarakat adat rumpun Pong Salamba dan PT Vale Indonesia Tbk, yang berlangsung pada Jumat (16/5/2025).

RDP ini digelar sebagai respons atas banyaknya keluhan warga yang menilai aktivitas pertambangan telah menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup dan warisan budaya lokal.

Bertempat di Luwu Timur, pertemuan yang dimulai pukul 14.00 Wita dan berlangsung hingga menjelang magrib ini dihadiri hampir 100 peserta, termasuk perwakilan masyarakat adat.

Selain dari pihak PT Vale, RDP ini juga dihadiri oleh Asisten I Pemkab Luwu Timur, Dinas Lingkungan Hidup, serta perwakilan dari Kanwil BPN Sulawesi Selatan.

“Keluhan dari masyarakat adat masuk ke Komite II DPD RI dan sudah kami bahas di beberapa alat kelengkapan dewan, termasuk Badan Akuntabilitas Publik,” ungkap Abdul Waris kepada Tribun-Timur.com, Sabtu (17/5/2025).

Menurutnya, isu yang paling menonjol dalam forum ini bukan soal sengketa lahan, melainkan kekhawatiran terhadap kelestarian budaya dan lingkungan sekitar tambang.

“Warga adat, terutama rumpun Pong Salamba, menuntut perhatian lebih terhadap keberadaan cagar budaya yang berada di sekitar area operasional. Mereka tidak ingin melihat warisan leluhur mereka hilang karena dampak industri,” jelasnya.

Selain itu, masyarakat juga meminta agar PT Vale lebih banyak melibatkan tenaga kerja lokal dalam berbagai aktivitasnya. “Ada harapan besar agar warga sekitar dibina dan dilibatkan secara nyata dalam kegiatan perusahaan,” tambah Waris.

RDP berlangsung terbuka. Masyarakat bebas menyampaikan pertanyaan dan keluhan secara langsung, dan PT Vale pun diberikan ruang untuk merespons. Abdul Waris berharap forum seperti ini menjadi langkah awal menuju praktik pertambangan yang lebih transparan dan berkelanjutan.

“Kita meyakini bahwa kehadiran PT Vale semestinya membawa kesejahteraan. Maka, keterlibatan masyarakat adat perlu dijaga, baik dalam hal pelestarian budaya maupun perlindungan lingkungan,” ujarnya.

Pong Salamba Turun ke Jalan

Sebelum RDP ini digelar, gelombang protes datang dari kelompok Aliansi Mahasiswa dan Rakyat (Amara) Pong Salamba yang menggelar aksi unjuk rasa di depan Kantor Eksternal PT Vale di Luwu Timur, Rabu (30/4/2025).

Mereka menuduh PT Vale menyerobot lahan rumpun Pong Salamba yang terletak di wilayah Seba-seba, perbatasan Luwu Timur dan Morowali.

Lahan tersebut, menurut mereka, kini telah digunakan untuk kegiatan pertambangan. Amiruddin Kamli, jenderal lapangan aksi, menyampaikan sejumlah tuntutan dalam aksi itu. “Kami menuntut PT Vale menghentikan semua aktivitas di area perkebunan Seba-seba,” tegasnya dalam kutipan dari Tribun Timur.

Massa juga menuntut agar lahan yang diklaim digunakan tanpa izin segera dikembalikan kepada masyarakat. “Kami menolak segala bentuk aktivitas tambang di Seba-seba karena itu milik rumpun kami,” ujarnya.

Mereka mendesak keadilan ditegakkan dan hak masyarakat atas tanah dikembalikan secara utuh.

Respons PT Vale

Menanggapi aksi tersebut, PT Vale menegaskan komitmennya terhadap hak demokratis setiap warga negara untuk menyampaikan pendapat secara damai, sebagaimana dijamin oleh konstitusi dan hukum.

“Kami memahami dan menghormati aksi unjuk rasa Amara Pong Salamba yang telah disampaikan secara resmi ke aparat,” kata Head of Corporate Communication PT Vale Indonesia Tbk, Vanda Kusumaningrum.

Ia menjelaskan, seluruh aktivitas perusahaan di wilayah Lantua atau Seba-seba dilakukan di dalam kawasan hutan dan telah sesuai dengan perizinan resmi dari pemerintah, seperti Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dan Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH).

“Area tersebut adalah bagian dari konsesi sah milik perusahaan yang dilindungi oleh negara,” kata Vanda. Ia juga menegaskan bahwa kawasan tambang tersebut dikategorikan sebagai Objek Vital Nasional yang mendapat perlindungan khusus berdasarkan regulasi.

“PT Vale tidak pernah menggunakan pihak tidak resmi dalam urusan pengamanan. Semua dijalankan secara profesional dan bekerja sama dengan aparat penegak hukum, dengan menjunjung tinggi prinsip hak asasi manusia,” imbuhnya.

PT Vale juga menyatakan terbuka untuk berdialog dengan semua pihak, termasuk masyarakat yang memiliki klaim atau keberatan. Mereka mengimbau agar proses penyampaian aspirasi dilakukan secara damai dan sesuai hukum yang berlaku.

Terkait sengketa tanah, Vanda menegaskan bahwa jalur hukum adalah satu-satunya cara yang akan dihormati perusahaan. “Kami siap menjalankan putusan hukum yang telah berkekuatan hukum tetap,” ujarnya.

Menurutnya, keberadaan PT Vale sangat penting dalam mendukung hilirisasi industri dan pertumbuhan ekonomi di daerah. “Karenanya, mari kita jaga stabilitas dan kelangsungan proyek ini demi kepentingan bersama,” pungkasnya.

Tak Hanya Soal Lahan

Kehadiran Abdul Waris Halid di Luwu Timur juga menyoroti beragam isu lain yang mencuat dari masyarakat. Bukan hanya soal sengketa lahan di Seba-seba, tetapi juga berbagai aduan lain dari komunitas adat, seperti kelompok di bawah komando Pancai Pao, yang menyuarakan isu lingkungan, pemberdayaan masyarakat lokal, dan pendekatan sosial yang lebih inklusif.

Isu ketenagakerjaan, pelibatan warga sekitar, serta konflik agraria di wilayah konsesi tambang—baik yang dikelola PT Vale maupun perusahaan-perusahaan baru di kawasan segitiga Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Tengah—menjadi sorotan penting.

Dengan begitu banyak persoalan yang muncul, upaya mediasi dan dialog yang dibuka oleh anggota DPD seperti Abdul Waris menjadi langkah strategis untuk menjembatani kepentingan masyarakat dan korporasi, demi keberlanjutan pembangunan yang lebih adil dan inklusif.

Redaksi