Premanisme: Luka Sosial atau Ruang Ekspresi Baru?

  • Whatsapp
Ilustrasi Pelakita.ID

Sebuah studi oleh Komnas HAM (2023) menunjukkan bahwa 70% kasus kekerasan jalanan dan pemalakan di kota besar melibatkan anak muda usia 16–30 tahun yang tidak memiliki pekerjaan tetap.

PELAKITA.ID – Di antara suara azan yang mengangkasa dan denting palu di pasar yang sibuk, kadang terdengar pekik kasar, langkah sepatu yang tak santun, dan tatapan tajam dari mata yang haus kuasa.

Mereka hadir seperti bayangan kelam di balik cahaya: para preman—”alumni dari ketimpangan dan ketidakadilan sosial.” Premanisme, bukan sekadar cerita klasik di pelabuhan tua atau sudut terminal kota. Ia kini menjelma menjadi gejala laten yang menyelinap dalam nadi kehidupan bangsa.

Sejak Kapan Mereka Ada?

Premanisme bukanlah cerita baru dalam sejarah Indonesia. Dalam catatan sejarah, sejak masa kolonial Belanda, para “jagoan kampung” telah menjadi alat kekuasaan informal.

Mereka diberi ruang oleh rezim, diberi tugas menakut-nakuti, bahkan kadang diberi panggung untuk menjadi perpanjangan tangan kekuasaan.

Di masa Orde Baru, kita mengenal “penumpang gelap pembangunan”—mereka yang berpakaian sipil namun bersenjata, menjaga proyek-proyek besar, menundukkan rakyat kecil demi “stabilitas nasional.”

Kekuasaan otoriter kerap memelihara premanisme karena ia mengabdi pada ketakutan, bukan keadilan. Bahkan di era reformasi, premanisme tidak mati.

Apa Hakikat Premanisme?

Premanisme bukan sekadar aksi kekerasan. Ia adalah manifestasi dari kecacatan struktur sosial. Ketika hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah, ketika pendidikan tidak merata dan pengangguran merajalela, lahirlah kekuatan liar yang mencari tempat di luar jalur negara.

Premanisme adalah produk dari perasaan tertindas yang tak menemukan ruang ekspresi. Ia adalah bahasa kekuasaan dari mereka yang kehilangan harga diri.

Sosiolog Ariel Heryanto pernah menulis bahwa premanisme adalah bentuk resistensi dan sekaligus kompromi dengan ketimpangan. Mereka menentang sistem, tapi juga menghidupi dirinya dari sistem itu sendiri.

Mengapa Premanisme Terus Ada di Indonesia?

Indonesia, negeri dengan jutaan pemuda, namun sebagian masih terjebak dalam lingkaran pengangguran, putus sekolah, dan keluarga yang tercerai-berai.

Dalam ruang sempit tanpa peluang, kekerasan menjadi satu-satunya jalan menuju “pengakuan.”

Sebuah studi oleh Komnas HAM (2023) menunjukkan bahwa 70% kasus kekerasan jalanan dan pemalakan di kota besar melibatkan anak muda usia 16–30 tahun yang tidak memiliki pekerjaan tetap.

Gejala Apa Sebenarnya Ini?

Premanisme adalah gejala dari tubuh sosial yang sakit. Ia adalah tumor dari sistem hukum yang tidak adil, kanker dari ketimpangan ekonomi yang kronis, dan borok dari nilai-nilai moral yang terkikis.

Dalam pendekatan psikososial, premanisme lahir karena “krisis identitas”—seseorang yang tidak merasa dihargai oleh masyarakat akan menciptakan cara sendiri untuk diakui.

Dari sudut pandang politik, premanisme kadang dipelihara sebagai “aktor bayangan” untuk mengendalikan suara. Mereka dipakai untuk memobilisasi massa, menekan oposisi, bahkan menciptakan teror psikologis.

Solusi untuk Negeri: Dari Negara, Masyarakat, dan Nurani

Solusi terhadap premanisme tidak bisa sebatas penangkapan pelaku. Ia harus menyentuh akar dan sistem. Pertama, negara harus hadir secara adil.

Hukum tak boleh dipolitisasi. Polisi tak boleh takut pada kekuatan ormas. Aparat harus berani menindak siapa pun yang melanggar hukum, bukan hanya ketika viral.

Dr. Hermawan Sulistyo, peneliti LIPI, menyebut bahwa “penumpasan premanisme membutuhkan keberanian moral dari penegak hukum untuk tak berkompromi.” Kita butuh penegakan hukum yang merata, bukan yang tunduk pada kuasa dan popularitas.

Kedua, pendidikan karakter harus menjadi arus utama kurikulum. Bukan sekadar hafalan Pancasila, tapi penanaman nilai-nilai kejujuran, tanggung jawab, dan keberanian hidup dalam kebenaran.

Anak-anak muda harus diberi ruang untuk tumbuh, bukan ditekan dengan sistem pendidikan yang kaku dan dunia kerja yang tertutup.

Ketiga, masyarakat harus membangun sistem sosial yang inklusif. Setiap anak muda yang kehilangan arah harus dibimbing, bukan dijauhi. Gerakan pemuda, masjid, komunitas seni, hingga organisasi sosial harus menjadi ruang kreatif, bukan medan konflik.

Solusi Agama: Jalan Spiritual Menuju Damai

Dalam Islam, Nabi Muhammad SAW telah memberikan teladan tentang bagaimana menghadapi kekerasan dengan rahmat.

Beliau tidak membalas keburukan dengan keburukan, melainkan dengan cinta dan pengampunan.

Dalam hadis riwayat Muslim, Rasul bersabda: “Seorang mukmin bukanlah orang yang suka mencela, bukan pula yang suka melaknat, atau berkata kotor, dan kasar.”

Agama bukan hanya mengutuk premanisme sebagai dosa sosial, tapi juga menawarkan jalan pertobatan dan transformasi. Masjid bukan hanya tempat salat, tapi bisa menjadi ruang rehabilitasi moral.

Saatnya Negara Tumbuh dengan Nurani

Premanisme bukan hanya soal hukum. Ia adalah cermin dari krisis kemanusiaan kita. Kita butuh negara yang bukan sekadar kuat, tapi juga adil.

Kita butuh masyarakat yang bukan hanya cerdas, tapi juga peduli. Dan kita butuh agama yang tidak hanya memvonis, tapi juga memeluk dan membimbing.

Jangan biarkan negeri ini terus ditakuti oleh suara sepatu liar dan tatapan garang. Bangunlah Indonesia yang bebas dari premanisme, bukan dengan senjata, tapi dengan keadilan, kasih sayang, dan keberanian untuk berubah.

Wallahu A’lamu Bissawaab.
Moel’S@17052025