PELAKITA.ID – Di tengah hamparan sawah yang hijau di Desa Lantapan, Kecamatan Galang, Kabupaten Tolitoli, Sulawesi Tengah, hidup seorang petani bernama Nancing.
Usianya kini 55 tahun, dan sejak tahun 1989 ia telah menjadikan tanah sebagai sahabat sejatinya.
Tahun ini, sesuai perbincangan penulis dengan Nancing diperoleh informasi bahwa dia kini siap menunaikan rukun Islam kelima—naik haji—berkat hasil dari sawah seluas 3 hektare yang ia kelola dengan penuh ketekunan.
Perkenalan penulis dengan Nancing pada tahun 1999. Sejak awal, hubungan kami bukan hanya sekadar pertemanan, tapi saling mendukung dan mendorong agar kami bisa menjadi yang terbaik di bidang masing-masing.
Kami tahu betul bahwa perubahan besar selalu berawal dari kerja kecil yang dilakukan dengan konsisten dan penuh keberanian.
Saya tahu persis, Nancing bukan datang dari keluarga petani mapan. Ia memulai semuanya dari bawah—sebagai buruh tani serabutan.
Ia menanam, memanen, dan mengangkut hasil sawah orang lain. Namun ia tidak mengeluh. Hari demi hari, tahun demi tahun, ia terus belajar. Perlahan, ia mulai mengelola sawah sendiri, dan kini memiliki lahan seluas 3 hektare.
Menurut Nancing, selama mengelola lahan 3 hektare-nya dia aktif membangun komunikasi dengan Dinas Pertanian, mendapat penyuluhan dan merencanakan penanaman padi dengan teratur dan dikoordinasikan dengan petani lainnya dalam Gapoktan yang diketuainya. Gapoktan adalah Gabungan Kelompok Tani.
Sebuah pencapaian yang tak datang dalam semalam, tetapi melalui ketekunan dan ketelatenan yang tak putus. Nancing mengaku berlajar dari tahun ke tahun untuk memperbaiki proses cocok tanam, termasuk menjalin komunikasi dengan Gapoktan agar bisa terjalin sinergi penananam dan pemasaran produk pertanian.
Produksinya mungkin belum sampai 7 ton perhektar, tapi secara perlahan dia bisa mencapai 5 atau 6 hektar selama ini.
Yang luar biasa, ia tak berhenti di situ. Nancing juga membangun usaha penggilingan gabah sendiri.
Kini ia mengoperasikan sebuah unit usaha gilingan padi yang mempekerjakan 20 orang.
Di tempat itu, suara mesin berpadu dengan harapan—harapan untuk hidup lebih baik bagi banyak keluarga di sekitarnya. Usahanya menjadi sumber penghidupan bagi puluhan orang, dan ia menjadi teladan bagi para petani lain di desanya.
Sebagai yang pernah Kepala Dinas Pertanian di Tolitoli, saya bisa menyebut bahwa petani seperti Nancing telah membuat loncatan usaha yang luar biasa.
“Yah, petani harus berani membuat loncatan ke arah yang lebih baik,” sebut penulis saat bersua Nancing.
Kami duduk di bawah pohon sambil memandangi hamparan sawahnya. Kalimat sederhana itu adalah rangkuman dari perjalanan hidupnya—keberanian untuk melangkah, meski dari nol, meski tertatih-tatih di awal.
Kini, langkahnya sampai ke tanah suci. Ia berangkat haji bukan karena undian atau warisan, tapi karena hasil cucuran keringatnya sendiri. Karena sawah yang dirawat dengan cinta, dan keyakinan bahwa petani pun bisa mulia jika dijalani dengan sabar dan kerja keras.
Kisah Nancing adalah pengingat bagi kita semua, bahwa kerja di ladang bukan pekerjaan yang rendah.
Justru dari tanah yang digarap dengan hati, kehidupan yang penuh makna bisa tumbuh. Dan dari desa kecil seperti Lantapan, jejak kaki seorang petani bisa sampai ke Mekkah—tempat di mana setiap langkah menjadi doa.
Penulis: H. Rustan Rewa
Editor: Denun