Buku, Dewan Anak, dan Takalar Lama

  • Whatsapp
Penulis, Rusdin Tompo (dok: Istimewa)

Ahmad kaget, dia rem mendadak. Sepeda motornya terpental. Tubuh saya jatuh menghantam aspal. Saya sempat tak sadarkan diri. Terdengar suara-suara datang menolong. Ada yang terasa memegang pergelangan tangan saya, lalu memeriksa denyut nadi saya.

___
Buku, Dewan Anak, dan Takalar Lama, ditulis oleh Rusdin Tompo (Pegiat Literasi dan Koordinator SATUPENA Sulawesi Selatan)

PELAKITA.ID – Jarak Makassar dan Takalar Lama yang mencapai lebih 40 km tak soal bagi saya, meski ke sana hanya naik angkutan pete-pete.

Saya selalu punya cara membunuh kebosanan di perjalanan, yakni dengan membaca buku. Jadi setiap kali ke lokasi dampingan Dewan Anak di Takalar Lama, saya selalu membawa buku.

Ini cerita di awal milenium, tahun 2000.

Kala itu, saya baru berusia 32 tahun dan belum mengenakan kacamata baca. Sehingga goncangan selama berada di atas kendaraan umum bukan kendala bagi saya untuk melanjutkan bacaan.

Kenangan selama masih di Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Sulawesi Selatan ini saya bagikan, karena menyimpan banyak catatan terkait dengan pembelajaran pengorganisasian kelompok anak, berproses memfasilitasi kegiatan bersama anak, melihat realitas hidup anak-anak desa, dan bagaimana liatnya membumikan konsepsi ideal hak-hak anak di lapangan.

Alamat kantor LPA Sulawesi Selatan, ketika itu, tak lagi di Jalan Veteran Selatan, tapi sudah pindah ke Jalan Andi Tonro No 11, dekat lampu merah.

Rujab Bupati Lama, yang kuning di belakang kantor Bupati Lama tapi sudah dipugar menjadi bangunan baru (dok: Rusdin Tompo)

Pertama kali saya tahu nama Takalar Lama dari staf Plan Indonesia PU Takalar, Nurhayati Karaeng Intang, atau akrab disapa Bu Ati.

Bu Ati, suatu hari, datang ditemani Christina Joseph, Wakil Ketua LPA Sulawesi Selatan, menyampaikan rencana mengadakan Pelatihan Dewan Anak.

Dewan Anak merupakan kelompok anak dampingan Plan Indonesia PU Takalar. Mereka adalah anak-anak (foster children) dari Kecamatan Mappakasunggu (Mapsu) yang akan diberi materi seputar Kovensi Hak-Hak Anak (KHA), kepemimpinan dan organisasi, serta public speaking.

Juga bagaimana membangun kepercayaan diri, mengembangkan kreativitas dan materi-materi lainnya.

Dewan Anak, kala itu, merupakan konsep baru, masih mencari bentuk. Makanya, penamaan untuk kelompok anak, berbeda-beda. Ada yang menyebutnya Forum Anak, ada pula yang menggunakan nama keren, Parlemen Anak.

Organisasi ini memang dalam bayangan kita, saat diskusi, merupakan wujud implementasi Hak Partisipasi Anak. Hak Partisipasi merupakan Hak Sipil dan Politik (Sipol) anak. Melalui wadah ini, anak-anak bisa menyuarakan aspirasi dan mengekspresikan ide dan gagasannya.

Dewan Anak di Takalar Lama ini, merupakan cikal bakal Dewan Anak di Sulawesi Selatan. Saya ikut berdiskusi merancang materi pelatihannya.

Pemateri, yang juga nanti jadi pendamping, antara lain Mulyadi Prayitno, Fadiah Machmud, dan Selle KS Dalle. Saya kebagian materi kreativitas. Kami semua merupakan pengurus LPA Sulawesi Selatan.

Di awal Pelatihan Dewan Anak, yang diadakan di Aula Kantor Camat Mappakasunggu, saya masih di Jakarta.

Saya tengah mengikuti Training of Trainer (TOT) Bantuan Psikososial Penanganan Pengungsi Anak, kerjasama Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Universitas Indonesia (UI), Cash for Skill Initiative (CFSI) Filipina, dan UNICEF, tahun 2000.

Takalar Lama sejauh mata menandang (dok: Rusdin Tompo)

Saya dan Nur Ala, dari Sanggar Anak Dayo, diutus oleh LPA Sulawesi Selatan. Karena kami aktif mendampingi pengungsi yang ditampung di mess Kodam VII/Wirabuana (sekarang Kodam XIV/Hasanuddin) Jalan Jenderal Urip Sumoharjo, Makassar.

Pelatihan Bantuan Psikososial Penanganan Pengungsi Anak ini diselenggarakan beberapa hari di Kampus UI, Depok, dengan trainer asal Filipina yang–kami dengar–berpengalaman menangani pengungsi korban perang Balkan, khususnya di Kosovo, 1998-1999.

Hanya sehari setelah pulang dari Jakarta, saya langsung diminta ke Takalar Lama, ke lokasi pelatihan. Saya dikasi gambaran rute atau trayek pete-pete yang mesti saya naiki, dengan beberapa varian kemungkinannya.

Sudah malam, saat ke sana. Itu pun tak langsung dapat pete-pete ke tempat tujuan. Saya hanya dapat pete-pete yang sampai di Pasar Patallassang kemudian harus nyambung dengan pete-pete lain untuk ke Kantor Camat Mappakasunggu, yang jadi tempat pelatihan.

***

Pasca pelatihan, dilanjutkan dengan kegiatan pendampingan. Lokasi kegiatannya, sedikit lebih jauh daripada tempat pelatihan dahulu. Tempatnya berupa bangunan tradisional berbentuk panggung yang cukup besar. Namanya Baruga Datu Sawitto.

Ketika saya kembali ke sana, pada bulan Juli 2024–untuk melakukan napak tilas–baruga itu sudah tidak ada, hanya tersisa lapangan luas yang dahulu ditempati baruga.

Baruga tersebut posisinya bersebelahan dengan SDN No 227 Inpres Takalar II. Di seberang jalannya, tak jauh dari baruga terdapat Puskesmas Mappakasunggu. Sementara di sebelah lapangan, berdiri Kodim 1426 Sudanga Korem 1426-06.

Baruga ini dibangun oleh Plan Indonesia PU Takalar, untuk kegiatan anak-anak dan warga setempat. Lokasinya berada di Dusun Cilallang, sekarang menjadi Lingkungan Cilallang.

Saya membayangkan dahulu bila melewati jalan ini. Jalan yang lebar dengan pohon-pohon asam yang tumbuh besar di sisi kiri dan kanannya. Bangun-bangunan dengan atap tinggi dan jendela-jendela lebar, sebagai penanda bahwa ini kota tua.

 

Rumah yang nampak ini adalah rumah sepupunya bapak Parawansa Kr. Rurung (dok: Rusdin Tompo)

Sementara di depan Kantor Camat Mappakasunggu, terdapat beberapa pohon lontar dan pohon asam.

Berdiri pula rumah atas (balla rate), di sampingnya. Sayang kondisi bangunan-bangunan ini terlihat kurang terawat baik. Barangkali sudah tidak difungsikan lagi.

Kota Takalar Lama di masa lampau merupakan pusat aktivitas ekonomi dan pemerintahan. Dahulu terdapat Rumah Sakit Umum Takalar, penjara lama, kantor pos dan Sekolah Rakyat (SR). Kabarnya, orang Gowa dan Jeneponto bersekolah di situ.

Kota tua ini memang merupakan kota bersejarah. Ada banyak jejak historis di sini, termasuk rel kereta api pertama yang menghubungkan Takalar dengan Pasar Butung, di Makassar. Menurut cerita warga, di belakang baruga, dekat lapangan, merupakan jalur rel kereta api.

Kegiatan pendampingan kami di Takalar Lama, rutin dilakukan, setiap hari Ahad. Anak-anak yang ikut kegiatan merupakan keluaran Pelatihan Dewan Anak. Mereka antara lain, Acculu (Nasrullah), Risal, Bia, Maro, Ramlah, dan Mile (Muhtar).

Anak-anak ini berasal dari berbagai dusun, yakni Dusun Kunjung Mae, Dusun Kampung Beru, Dusun Takalar, Dusun Cilallang, Dusun Pattitangngang, dan Dusun Masalleng. Anak yang paling jauh rumahnya berasal dari Dusun Kunjung Mae, yang sekarang menjadi Lingkungan Parialau.

 

Saya pernah bermalam di dusun ini. Untuk ke sana, kami mesti melewati Tempat Pelelangan Ikan (TPI), lalu jalan meniti di tambak-tambak penduduk, sebelum tiba di dusun yang berada di ujung ini. Saya diajak nginap bersama beberapa anak dampingan, bakar ikan, dan nyanyi-nyanyi dengan gitar di malam hari.

Anak-anak memang sempat protes karena pertemuan selalu diadakan di Dusun Cilallang, tempat baruga berada.

Agar adil, maka kami bersepakat untuk sesekali mengadakan pertemuan di dusun-dusun lainnya, sesuai kesediaan kader Plan Indonesia PU Takalar yang mau ditempati rumahnya.

Kader Plan ini merupakan contact person kami dengan anak-anak. Kader Plan, saat itu, terdiri dari Nidia, Hasnah, Mabe, Murni, Sunggu (alm), dan Fatma.

Ada kejadian di mana seorang anak, yang akan diutus mengikuti kegiatan di Jakarta, batal berangkat hanya gegara dia muntah-muntah saat berada di pete-pete. Rupanya, anak itu baru pertama kali naik pete-pete.

Belum lama berada di atas pete-pete, kepalanya pusing. Dia tak tahan saat angkot yang ditumpangi dalam perjalanan menuju Bandara Sultan Hasanuddin. Akibatnya dia muntah-muntah. Anak itu akkhirnya kembali pulang, dan batal ke Jakarta.

Untuk saya sendiri, perjalanan ke Takalar Lama tidak selalu lancar. Kala itu, saya tidak selalu bisa mendapatkan tumpangan yang langsung ke Takalar Lama.

Sadar akan kondisi seperti itu, maka saya akan menyetop pete-pete merah, lalu bertanya, sampai di mana sopirnya bisa mengantar saya.

Puskesmas sekarang. Rumah Sakit Umum yang lama bangunannya ada di samping kantor Pos Lama. Kantor Pos Lama yang depan Puskesmas dekat kantor Koramil.

Kadang pete-petenya hanya sampai di Pa’leko. Kadang bisa sampai di Pa’ri’risi, atau Pasar Patallassang. Nanti dari situ saya nyambung lagi agar bisa tiba di baruga dan bertemu dengan anak-anak dampingan.

Setiap kali naik pete-pete, saya mengambil posisi tepat di belakang sopir. Tujuannya agar, kalau ada penumpang baru yang naik, saya tak harus geser tempat duduk.

Dengan begitu, zona nyaman saya membaca buku tidak terganggu hehehe.

Pernah suatu hari, saya tidak naik pete-pete ke Takalar Lama, tapi dibonceng oleh Nur Ahmad. Dia ini salah seorang reporter Majalah AnaKita LPA Sulawesi Selatan.

Ketika melewati Limbung terjadi musibah. Ahmad tak bisa mengendalikan sepeda motornya yang melaju kencang. Pasalnya, ada mobil Panther dari arah berlawanan begitu dia mau melambung kendaraan di depannya.

Ahmad kaget, dia rem mendadak. Sepeda motornya terpental. Tubuh saya jatuh menghantam aspal. Saya sempat tak sadarkan diri. Terdengar suara-suara datang menolong. Ada yang terasa memegang pergelangan tangan saya, lalu memeriksa denyut nadi saya.

Bersyukur itu tak lama. Saya bangun, kemudian di bawa ke salah satu rumah warga yang tak jauh dari lokasi kejadian. Saya diberi obat Betadine pada bagian kaki yang lecet.

Setelah itu saya dan Ahmad melanjutkan perjalanan ke Takalar Lama.

Tiba di Baruga Datu Sawitto, sudah ada anak-anak ditemani Selle KS Dalle (sekarang Wakil Bupati Soppeng).

Kami menceritakan kejadian yang baru dialami. Selle berkomentar, “Pantas lama baru tiba.” Selle hari itu jadi partner saya memfasilitasi kegiatan bersama anak-anak.

Ahmad kemudian menimpali, “Saya sempat bingung, bagaimana nanti menjelaskan ke mamanya Gilang, kalau terjadi sesuatu pada Kak Rusdin. Sebab tadi saya yang jemput ki di rumahnya.”

Alhamdulillah, hari itu, kami tetap menjalankan kegiatan Dewan Anak seperti biasa. Dan ini jadi bagian dari kenangan dan pembelajaran saya ikut memfasilitasi kegiatan bersama anak-anak di Takalar Lama. Juga mengenang masa-masa keasyikan membaca buku di perjalanan, setiap kali ke lokasi dampingan.

Pemeriksa aksara: Denun