Beliau menenun damai seperti ulama, namun bekerja seperti manajer ulung.
PELAKITA.ID – Di usia 83 tahun, Jusuf Kalla tetap berdiri tegak bak pohon rindang di tengah padang tandus peradaban. Seorang negarawan yang hadir bukan untuk mencari kekuasaan, melainkan untuk mengabdi—dalam senyap, namun penuh makna.
Dari lorong-lorong Makassar hingga Istana Negara, dari medan konflik Poso dan Ambon hingga panggung diplomasi dunia, jejaknya menyisakan harapan dan kearifan.
Ia tak bersuara nyaring, tapi suaranya menggema. Ia tak melangkah cepat, namun tapaknya membekas dalam.
“Pak JK itu seperti mata air di tengah dahaga,” ungkap Anies Baswedan suatu ketika.
“Beliau datang membawa solusi, bukan amarah. Dengan senyum, bukan sindiran. Dengan kerja nyata, bukan sekadar wacana.”
Delapan puluh tiga tahun bukan sekadar angka. Itu adalah mozaik perjuangan. Dalam setiap lembar usia yang bertambah, tersimpan episode pengorbanan dan kebijakan—sering tak tercatat di berita, tapi hidup dalam hati rakyat.
Ia menjadi jalan keluar di tengah kebuntuan karena sejak muda ia percaya: hidup adalah soal kebermanfaatan.
“Seorang pemimpin sejati tak hanya memimpin saat senang, tapi hadir dalam derita. Itulah Pak JK,” kenang Prof. Din Syamsuddin, mengingat masa-masa dialog lintas iman yang dipelopori sang tokoh. “Beliau menenun damai seperti ulama, namun bekerja seperti manajer ulung.”
Kita melihatnya dalam seragam PMI, dalam sidang-sidang perdamaian, dalam peluncuran usaha kecil, dalam gagasan pembangunan berkelanjutan.
Ia bukan hanya Wakil Presiden dua periode, tapi juga wakil dari hati nurani rakyat yang merindukan keteladanan. Saat yang lain sibuk menata kata, ia sibuk menata bangsa. Saat yang lain mencari sorotan, ia mencari jalan keluar.
Dalam syair kehidupan bangsa, namanya adalah bait yang menenangkan. Dalam lorong zaman yang bising, beliau adalah suara nalar yang menuntun. Di usia 83, ia tak lelah menginspirasi. Langkahnya mungkin melambat, tapi semangatnya tetap menyala.
Dalam setiap tutur, terselip pesan bagi generasi muda: “Bangun negeri ini dengan hati, bukan hanya dengan janji.”
Hari ini, kita merayakan bukan sekadar usia, tapi makna dari perjalanan hidupnya. Delapan puluh tiga tahun yang dipenuhi teladan. Jejaknya menjadi pelita. Kearifannya menjadi penuntun. Namanya menjadi simbol harapan.
Teruslah menjadi penyemangat anak negeri, Pak JK.
Teruslah menabur benih kebaikan di ladang Indonesia.
Sebab dalam setiap jejak kearifanmu, kami menemukan jalan keluar.
Dan dalam dirimu, kami temukan semangat untuk mencintai negeri ini—setulus hati.
“Jangan berhenti bekerja hanya karena tidak mendapat pujian,” pesan Pak JK suatu ketika.
“Yang penting, kerja kita bermanfaat. Untuk orang banyak. Untuk masa depan.” Dan itulah warisan terbesarnya: semangat kerja tanpa pamrih, ikhlas untuk negeri, dan cinta mendalam terhadap rakyat kecil.
Hari ini, anak-anak muda bangsa menengadah dan berkata: “Kami ingin seperti beliau—bijak tanpa sombong, aktif tanpa gaduh, kuat tanpa kekerasan, dan ikhlas dalam memberi.”
83 tahun adalah anugerah, namun juga cahaya.
Dalam usia itu, kita melihat sosok yang tak sekadar menjalani hidup,
tapi mengisi hidup dengan makna.Dalam diri Pak JK, kita temukan Jejak Kearifan.
Dalam tutur dan tindakannya, kita temukan Jalan Keluar.Selamat Ulang Tahun, Pak JK.
83 Tahun Penuh Makna.
Teruslah menjadi inspirasi dan penyemangat anak negeri.
Karena bangsa ini butuh lebih banyak orang sepertimu—yang bekerja dalam senyap, dan bersinar dalam hikmah.— Moel’S @15052025