Terobosan Pertanian di Sulteng: Dari Tantangan Menuju Lompatan Kemajuan

  • Whatsapp
Ilustrasi Pelakita.ID

Distribusi alat dan mesin pertanian sebaiknya berbasis kebutuhan nyata wilayah serta kesiapan kelembagaan petani. Lebih dari sekadar penyerahan alat, yang dibutuhkan adalah pendampingan teknis berkelanjutan agar pemanfaatannya benar-benar produktif dan berkelanjutan.

PELAKITA.ID – Sulawesi Tengah (Sulteng) adalah salah satu provinsi dengan potensi agraria yang besar di Kawasan Timur Indonesia. Namun potensi itu belum sepenuhnya tergarap secara optimal.

Dalam beberapa tahun terakhir, persoalan klasik seperti rendahnya produktivitas, minimnya nilai tambah, hingga ketergantungan pada pasokan luar daerah masih menjadi tantangan serius.

Untuk menjawab tantangan itu, Sulteng membutuhkan terobosan pertanian yang bukan sekadar program teknis, melainkan lompatan transformasional dari hulu ke hilir.

Salah satu tantangan paling mendasar adalah soal struktur pertanian yang tidak efisien. Banyak petani di Sulteng masih menggarap lahan sempit dan tersebar, seringkali tanpa dukungan irigasi yang memadai.

Infrastruktur penunjang seperti jalan tani, gudang penyimpanan, hingga fasilitas pengolahan pascapanen masih sangat terbatas. Situasi ini menyebabkan banyak hasil panen tidak dapat ditangani secara cepat dan efisien, sehingga kehilangan nilai ekonominya.

Di sisi lain, tantangan sumber daya manusia dan kelembagaan juga tidak bisa diabaikan. Meski jumlah petani cukup besar, dominasi petani berusia lanjut menjadi persoalan regenerasi yang nyata.

Penyuluh pertanian yang seharusnya menjadi ujung tombak pengembangan kapasitas petani jumlahnya terbatas dan belum semua memiliki dukungan pelatihan yang memadai.

Kelembagaan petani seperti kelompok tani dan koperasi pun belum banyak yang mampu bertransformasi menjadi entitas ekonomi yang kuat dan mandiri.

Persoalan teknologi dan pembiayaan menjadi lapisan tantangan berikutnya.

Akses terhadap alat dan mesin pertanian (alsintan) belum merata, dan distribusinya sering kali tidak disertai dengan pelatihan teknis. Petani juga masih kesulitan mengakses pembiayaan produktif karena keterbatasan agunan, rendahnya literasi keuangan, serta status lahan yang belum legal formal.

Semua ini menciptakan lingkaran ketertinggalan yang sulit diputus jika tidak ada intervensi yang terarah.

Tiga pintu masuk

Lalu dari mana sebaiknya terobosan pertanian di Sulteng dimulai? Tiga pintu masuk strategis dapat menjadi landasan awal.

Pertama adalah pemberdayaan sumber daya manusia pertanian. Pembangunan, di manapun, mestinya menjadi manusia sebagai inti, pelaku sekaligus sasaran. Oleh sebab itu, ini bisa dilakukan dengan penguatan kapasitas penyuluh, fasilitasi pelatihan bagi petani milenial, serta pengembangan sekolah lapang yang responsif terhadap tantangan iklim dan permintaan pasar.

Pemberdayaan SDM juga berarti memperluas akses informasi dan inovasi di tingkat desa.

Pintu kedua adalah penguatan akses dan distribusi alsintan secara merata dan terencana.

Distribusi alat dan mesin pertanian sebaiknya berbasis kebutuhan nyata wilayah serta kesiapan kelembagaan petani. Lebih dari sekadar penyerahan alat, yang dibutuhkan adalah pendampingan teknis berkelanjutan agar pemanfaatannya benar-benar produktif dan berkelanjutan.

Pintu ketiga adalah keberanian menyusun kebijakan daerah yang progresif dan kontekstual, tidak sekadar ‘business as usual’ atau sekadar saja.

Pemerintah kabupaten dan kota perlu perlu difasilitasi oleh Pemerintah Provinsi untuk memanfaatkan ruang otonomi daerah untuk mendesain kebijakan yang lebih membumi, seperti insentif produksi untuk komoditas unggulan lokal dan penguatan ekosistem pascapanen.

Pemerintah Provinsi dengan kepemimpinan yang ada telah menunjukkan komitmen untuk mendorong kolaborasi lintas sektor dan pelibatan masyarakat menjadi kunci dalam menyukseskan kebijakan ini. Inilah yang harus terus digaungkan dan dijalankan oleh organisasi perangkat terkait.

Harapannya, agar semua langkah di atas tidak berhenti sebagai wacana, perlu disusun prioritas aksi secara bertahap.

Atensi tersebut termasuk di dalamnya juga dengan memaksimalkan lahan rawa sebagai input atau basis terobosan pertanian, di mana saat ini terdapat lebih 200 ribu hektar lahan rawa pertanian yang perlu dimaksimalkan produksi dan pengelolaannya, termasuk pemberdayaan petani yang ada di sekitarnya.

Hal demikian bisa saja selama ini tidak bisa berbuat apa-apa karena tiadanya dukungan kebijakan dan penganggaran.

Solusi jangka pendek

Dalam jangka pendek, langkah-langkah mendesak antara lain pendataan dan validasi petani serta lahan secara digital melalui sistem yang terintegrasi dengan pemetaan spasial.

Penguatan peran penyuluh dan sekolah lapang tematik seperti sekolah lapang iklim, pengendalian hama terpadu, dan mekanisasi juga perlu digalakkan.

Selain itu, reformulasi sistem distribusi pupuk dan benih agar sesuai dengan karakteristik agroekosistem lokal menjadi agenda penting, termasuk moratorium benih dan pupuk yang tidak adaptif terhadap kondisi setempat.

Dalam jangka menengah, transformasi kelembagaan petani menjadi pilar pembangunan harus dikawal secara serius.

Koperasi tani – apalagi dengan adanya Koperasi Merah Putih di bawah pantauan Presiden Prabowo perlu diarahkan menjadi agregator hasil produksi sekaligus pengelola proses pascapanen. Ini bisa diselaraskan dengan Brigade Alsintan yang menjadi unit layanan Kementan.

Di saat yang sama, pembangunan infrastruktur pendukung seperti jalan tani, rumah pengering, cold storage, dan unit pengolahan hasil di tingkat desa harus dipercepat.

Pemerintah Provinsi dan jajarannnya juga dapat memberikan insentif bagi praktik pertanian regeneratif dan berkelanjutan, misalnya untuk skema pertanian organik, lahan kering terpadu, dan sistem agroforestri.

Sementara itu, pada jangka panjang, Sulteng perlu mendorong industrialisasi komoditas unggulan berbasis kawasan.

Kawasan seperti Lindu dapat difokuskan pada pengembangan sawah organik, Lore untuk kopi arabika, Poso untuk kakao berkelanjutan, dan Tolitoli untuk kelapa dalam.

Kemitraan riset-terapan antara perguruan tinggi, petani, dan dunia usaha perlu dipupuk agar inovasi teknologi bisa langsung diterapkan di lapangan.

Terakhir, pertanian perlu diintegrasikan dengan agenda konservasi lanskap dan ekowisata, terutama di kawasan penyangga taman nasional dan hutan lindung, sehingga keberlanjutan lingkungan dan ekonomi bisa berjalan seiring.

Sulawesi Tengah memiliki semua modal dasar untuk menjadi sentra pertanian modern di Indonesia Timur. Tanahnya subur, komoditasnya beragam, dan masyarakat desanya punya semangat gotong royong yang kuat.

Yang kini dibutuhkan adalah keberanian mengambil keputusan strategis dan konsistensi dalam eksekusi. Terobosan pertanian bukanlah pilihan, melainkan kebutuhan mendesak agar petani tidak tertinggal dan pertanian Sulteng tidak stagnan.

Jika pertanian dikelola dengan visi jangka panjang, maka Sulteng tidak hanya akan menyejahterakan petaninya, tapi juga menginspirasi Indonesia.

Penulis bersama Mentan Andi Amran Sulaiman (dok: Istimewa)

Toli-Toli, 10 Mei 2025