Malino, dalam keheningannya, mengajarkan bahwa di setiap ketinggian, Tuhan telah menanamkan kehidupan yang paling cocok untuk tumbuh.
PELAKITA.ID – Lama sekali saya tak mengunjungi tempat ini. Dalam jejak perjalanan wisata dan keilmuan, Malino adalah satu titik penting yang—bagi sebagian orang di Sulawesi Selatan—menjadi ruang pengantar perenungan.
Terletak di Kabupaten Gowa, sekitar 70 kilometer dari jantung Kota Makassar, Malino bukan sekadar destinasi wisata.
Ia adalah panggung besar alam yang menyuguhkan pelajaran tentang vegetasi, iklim, dan keindahan ciptaan Tuhan yang tak henti-hentinya berkisah.
Saya masih mengingat dengan jelas—seperti lukisan yang tak lekang oleh hujan ingatan—saat pertama kali menempuh mata kuliah Pengantar Ilmu Pertanian.
Dari Pantai Losari yang riuh dengan debur ombak dan lalu-lalang manusia, kami menempuh perjalanan menanjak, melewati hutan pinus dan ladang teh, menembus kabut pagi menuju Malino. Saat itu, bukan hanya kendaraan kami yang mendaki, tetapi juga kesadaran kami tentang makna ketinggian.
Setiap kilometer perjalanan seolah membuka satu lembar buku alam. Dari dataran rendah yang ditumbuhi kelapa dan pisang, vegetasi perlahan berganti.
Di ketinggian tertentu, jagung dan singkong menyapa, lalu berganti dengan sayuran dataran tinggi, hortikultura, hingga bunga-bunga yang hanya bersedia bermekaran dalam suhu sejuk dan kelembaban nyaris sempurna.
Malino, dalam keheningannya, mengajarkan bahwa di setiap ketinggian, Tuhan telah menanamkan kehidupan yang paling cocok untuk tumbuh.
Tak ada yang lebih tinggi, tak pula lebih rendah, karena masing-masing memiliki ekosistem yang saling menyeimbangkan dan menghidupi.
Vegetasi dataran tinggi tak akan tahan di dataran rendah—begitu pun sebaliknya. Begitulah cara alam mendidik: bahwa setiap tempat memiliki panggungnya sendiri untuk menjadi yang terbaik.
Maka jangan pernah cemburu pada kesejukan Malino. Jangan iri pada deretan hortensia biru, lili putih, atau krisan kuning yang hanya bermekaran di sana.

Sebab di tempatmu pun, Tuhan telah menitipkan sesuatu yang tak dimiliki Malino—pantai yang menawan, laut yang luas, tanah subur, dan cahaya matahari yang hangat. Semua punya keindahan dalam takaran yang sempurna.
Namun di Malino, waktu seolah berhenti untuk memberi ruang bagi jiwa-jiwa yang ingin menyepi dari hiruk-pikuk dunia. Udara yang disaring oleh ribuan pohon pinus terasa seperti doa yang turun dari langit.
Dinginnya tak menggigit, hanya cukup untuk membuatmu menengadah dan bersyukur. Setiap helaan napas adalah meditasi. Setiap langkah di kebun teh atau taman bunga, semacam syahadat baru bagi para pencinta alam.
Malino juga adalah buku sejarah yang belum selesai dibaca. Di masa kolonial, ia menjadi tempat peristirahatan kaum Belanda—jejak keanggunan Eropa itu masih tampak di sejumlah bangunan tua.
Bahkan, Perjanjian Malino—bagian penting dalam rekonsiliasi konflik Ambon—pernah digelar di sini. Malino bukan hanya milik wisatawan, tapi juga milik sejarah bangsa.
Kini, Malino telah menjelma menjadi ruang pelarian bagi mereka yang ingin menyentuh kesejukan sejati. Di akhir pekan, mobil-mobil melaju perlahan di jalan berliku, menuju warung kopi di tepi tebing, ke spot-spot swafoto, atau sekadar mencari kesunyian. Tapi bagi kami yang datang dengan hati belajar,
Malino adalah laboratorium terbuka. Setiap titik ketinggian adalah data. Setiap perubahan suhu adalah isyarat. Setiap tanaman yang tumbuh atau mati adalah pelajaran ekologi yang tak diajarkan di ruang kelas.
Dan inilah rahasia terbesar Malino: bahwa ketinggian bukan semata angka dalam meter di atas permukaan laut. Ia adalah ruang di mana manusia bisa lebih dekat pada keheningan, dan dari sanalah, mendengar suara Tuhan dalam gemerisik dedaunan dan desir kabut.
Di dunia yang semakin bising oleh hiruk-pikuk digital dan kegaduhan sosial, Malino menawarkan kesunyian yang menyembuhkan. Ia adalah puisi yang ditulis oleh hujan, kabut, dan angin.
Ia adalah simfoni yang digubah oleh suhu, vegetasi, dan ketinggian.
Maka datanglah ke Malino, bukan hanya untuk berlibur, tetapi juga untuk belajar mencintai bumi dengan cara yang lebih dalam. Hirup udaranya perlahan, sentuh tanahnya dengan hormat, dan pulanglah dengan hati yang lebih luas.
Karena di Malino, kita belajar bahwa dalam setiap ketinggian, terdapat keindahan yang diciptakan secara spesifik untuk tumbuh, berkembang, dan menginspirasi.
Wallahu A’lamu Bissawaab.
Malino dan Rahasia Ketinggian: Sebuah Simfoni Keindahan dan Pengetahuan ditulis oleh: Muliadi Saleh.
Moel’S @10052025