PELAKITA.ID – Beberapa hari sebelum acara Launching dan Bedah Buku Mengenang Jejak Mappinawang, Kak Armin Mustamin Toputiri mengirimkan gambar flyer dan undangan untuk menghadirinya.
Dan wow! Salah satu pengulas adalah Kak Alwy Rahman — dosen saya, teman diskusi, dan tempat saya bertanya tentang apa pun.
Sejujurnya saya tidak bisa memastikan kehadiran karena sedang mengejar tenggat lima puisi budaya sebagai syarat mengikuti Pertemuan Penyair Tiga Negara, yang akhirnya saya batalkan karena hanya saya sendiri yang mewakili dari Sulsel. Namun akhirnya, saya bisa hadir dalam Launching dan Bedah Buku tersebut.
Peluncuran buku kali ini terasa sangat berbeda dengan yang pernah saya hadiri sebelumnya.
Dari awal, suasananya sudah penuh haru. Tetes kenangan dari keluarga dan kolega Almarhum Kak Mappinawang mewarnai acara ini. Saya yang bahkan tidak mengenalnya secara pribadi ikut menangis, terhanyut dalam suasana.
Almarhum adalah sosok—benar-benar sosok. Memori tentangnya abadi dalam kata-kata yang menggema dalam sanubari keluarga dan sahabatnya.
Mantan Direktur Lembaga Bantuan Hukum Ujung Pandang (1997–2004) ini dikenal sangat peduli pada orang-orang di sekitarnya. Sepak terjangnya dalam dunia advokasi tidak diragukan lagi. Sulawesi Selatan sangat kehilangan figur seperti Almarhum.

Saat sesi pamit kepada istri Almarhum yang bermata sembab, tanpa sadar tangannya saya genggam dan berkata, “Sabarki. Saya sudah delapan tahun ditinggal suami. Insya Allah, kita kuat.”
Sore semakin beranjak. Bersama Kak Judy Rahardjo dan istri, juga Kak Alwy Rahman, saya pulang.
Dalam perjalanan, masih terasa euforia dari launching yang mengharukan itu.
Semua kita akan pergi, tak kembali.
Semua kenangan tentang kita akan pelan-pelan meredup.
Hanya nisan bertuliskan nama kita
sebagai penanda bahwa kita pernah ada di dunia ini.
Makassar, 9 Mei 2025
Penulis, Arniyaty Amin, alumni Fakultas Ilmu Budaya dan Sastra Unhas, 1988