Wilayah dan Wali: Hakikat Wilayah dalam Pandangan Ilmiah dan Spiritualitas Islam

  • Whatsapp
Ilustrasi

Wilayah dan Wali: Hakikat Wilayah dalam Pandangan Ilmiah dan Spiritualitas Islam, ditulis oleh  Muliadi Saleh, Direktur Eksekutif Lembaga SPASIAL, Alumnus Pesantren IMMIM

PELAKITA.ID – Kata wilayah dalam akar bahasa Arab tidak dapat dipisahkan dari kata wali (وَلِيّ), yang bermakna pelindung, pemimpin, sahabat setia, atau penanggung jawab.

Dalam Al-Qur’an, Allah disebut sebagai wali bagi orang-orang beriman:

“Allah adalah wali (pelindung) bagi orang-orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya.” (QS Al-Baqarah: 257)

Dari akar kata yang sama, lahirlah istilah wilayah, yang secara harfiah merujuk pada kekuasaan atau tanggung jawab yang berada dalam perlindungan seorang wali.

Maka dalam perspektif Islam, wilayah bukan sekadar ruang fisik atau administratif, tetapi ruang amanah yang dititipkan untuk dipelihara dan ditata oleh para wali yang mendapat mandat dari Allah.

Wali Allah dan Spiritualitas Wilayah

Para Wali Allah bukan hanya sosok saleh yang ahli ibadah atau sufi. Dalam konteks sejarah Nusantara, mereka adalah aktor transformasi wilayah—pembawa cahaya peradaban ke ruang-ruang yang sebelumnya gelap oleh ketidakadilan, kebodohan, dan keserakahan.

Lihatlah Wali Songo di Jawa. Mereka tidak datang dengan pasukan atau senjata, melainkan dengan kasih sayang, ilmu, dan seni.

Membangun masjid berarti juga membangun pasar, pesantren, dan sawah. Bagi mereka, pengembangan wilayah adalah bagian dari ibadah. Masyarakat dirangkul, budaya lokal dihormati, dan alam dijaga.

Sunan Kalijaga, misalnya, dikenal sebagai wali yang membumikan Islam melalui pendekatan budaya. Ia tidak merusak tatanan lama, tetapi menyulamnya dengan nilai-nilai baru. Pendekatan ini sejalan dengan prinsip tadrij dalam dakwah—perubahan bertahap yang berakar kuat. Di situlah spiritualitas wilayah bertumbuh: ketika ruang fisik diisi dengan nilai-nilai ruhani dan sosial.

Wilayah sebagai Ladang Keteladanan

Para wali membangun wilayah bukan untuk mengeksploitasi, melainkan untuk menyuburkan. Mereka menjadikan wilayah sebagai ladang amal dan kebajikan.

Hidup bersama rakyat, mendengar jerit bumi, dan menangis dalam doa untuk negeri menjadi bagian dari peran mereka.

Hari ini, kita merindukan kembali sosok wali dalam makna yang luas: pemimpin yang menjadi pelindung, pemikir yang menjadi penerang, dan perencana wilayah yang memuliakan bumi serta seluruh penghuninya.

Wilayah Modern: Kekosongan Ruhani dalam Tata Ruang

Sayangnya, perencanaan wilayah modern kerap kehilangan ruh spiritualitas. Ruang dibangun demi investasi, bukan demi kesejahteraan.

Gedung-gedung menjulang tanpa akar budaya; jalan-jalan dibangun untuk memisahkan, bukan menyatukan; dan tata ruang kehilangan cinta.

Padahal dalam Islam, ruang bukanlah benda mati. Ia memiliki ruh, fungsi sosial, dan moral. Setiap jengkal tanah akan bersaksi: apakah ia digunakan untuk kebaikan atau kerusakan.

Menuju Wilayah yang Dirahmati

Kini saatnya kita menata ulang paradigma pembangunan. Kita membutuhkan perencana wilayah yang juga wali—bukan dalam arti kesucian semata, tetapi dalam semangat tanggung jawab spiritual dan sosial.

Wilayah harus dikelola tidak hanya dengan angka dan grafik, tetapi juga dengan hati yang takut kepada Tuhan dan cinta kepada sesama manusia.

Bayangkan jika setiap desa memiliki seorang wali—pemimpin arif yang tak hanya membangun jalan, tetapi juga menghidupkan keadilan.

Bayangkan jika kota tidak hanya menjadi pusat ekonomi, tetapi juga ruang yang aman dan ramah bagi fakir miskin dan anak yatim. Itulah wilayah yang dihidupkan oleh para wali—yang memandang pembangunan sebagai jalan menuju surga, bukan sekadar pencapaian dunia.

Menjadi Wali bagi Wilayah Kita

Kita semua dipanggil untuk menjadi wali atas wilayah kita. Mungkin bukan seperti Wali Songo, tetapi cukup menjadi wali bagi sawah yang kita garap, jalan yang kita lalui, dan kampung yang kita tinggali. Menjadi pelindung bagi yang lemah, dan penjaga bagi ruang hidup yang lestari.

Wilayah bukan semata urusan tata ruang, tetapi juga tata jiwa. Ketika jiwa para wali meresapi ruang-ruang itu, maka pembangunan akan menjadi pengabdian, dan negeri ini akan menjadi rahmat bagi semesta alam.

Wallāhu A‘lamu biṣ-Ṣawāb
—Moel’S©07052015—