Muhd Nur Sangadji | Mareku, Si Mungil yang Tertata

  • Whatsapp
Ilustrasi Pelakita.ID

SMALL CHANGE, BIG IMPACT, Mareku, Si Mungil yang Tertata, merupakan tulisan seri kedelapan oleh Muhd Nur Sangadji, dosen Fakultas Pertanian Universitas Tadulako Palu.

PELAKITA.ID – Dalam perjalanan pulang, istri saya menulis pesan ini kepada sahabatnya di Sulawesi. Sebuah colekannya kepada Sitti Ahra, kawan karibnya yang akrab disapa “Eya”.

Saya membacanya di grup WhatsApp kami — grup angkatan kuliah S1 tahun 1982, alumni Fakultas Pertanian Universitas Tadulako. Grup ini masih terawat erat silaturahminya hingga kini.

Tahun 1982, adalah tahun ketika saya meninggalkan kota Ternate, Maluku Utara, untuk menempuh kuliah di Kota Palu. Sejak itu, saya menetap di sana—hampir setengah abad lamanya.

Tulisan yang berisi kesan dan pesan dari istri saya ini saya salin dengan menambahkan sedikit tanda baca, tanpa mengubah satu huruf pun demi menjaga keasliannya.

Berikut kutipannya:

“Tks Bu Eya, seru jalan dari pulau ke pulau. Pulau Tidore itu tenang, damai, bersih. Warganya ramah sekali, kekeluargaan kental sekali. Rumah terbuka sampai malam, tak ada yang mencuri. Pelayanannya ok punya, alias makan gratis. Utamanya: papeda + ikan segar dengan berbagai macam rasa. Sayur lili diolah enak sekali.

Benar-benar masakan tradisional dari desa mungil di Mareku. Lalu main bambu gila dan silat tradisional, bikin asam urat dan kolesterol pergi jauuuuhhh.

Yang seruuu bambu gila—seandainya asap yang ditiup naik ke atas, bisa bamboonya terbang ke atas dan orang ikut akan tergantung. Itu kalau bamboonya menggila dan menghempas orang. Gila ilmunya.

Seenak apa pun di desa orang lain, tetap ingat kampung sendiri. Maka kamipun pulang, meninggalkan Ternate menuju Palu. Mampir semalam di Makassar.

Banyak hal yang harus dibuat dalam sebuah tulisan. Demikian.”

Kesan dan pesan singkat ini ditulis apa adanya. Saya jadi teringat suasana tahun 2008.

Nur Sangadji dan Tidore (dok: Istimewa)

Saat itu, kami sekeluarga tinggal di Melbourne, Australia, untuk sementara waktu di Monash University. Kesan tentang rasa aman, dengan rumah berpagar pendek, cukup terasa.

Apartemen kami—yang lebih cocok disebut “rumah kos”—bahkan tidak berpagar. Tapi Mareku, dengan ketenangan, keramahan, kesejukan, dan kebersihannya, terasa lebih alamiah. Ini adalah modal utama.

Saya membayangkan suatu waktu Mareku bisa menjadi destinasi pariwisata yang berakar pada nilai religi dan adat dalam bingkai kebudayaan.

Mareku punya potensi itu. Ia menyimpan artefak yang bernilai internasional. Lima ratus tahun silam, bangsa Spanyol mendarat di sini. Sejarahnya panjang dan bervariasi—tentang kebijakan global dalam pembagian wilayah, tentang rempah cengkeh dan pala, tentang biodiversitas dan budaya masyarakatnya.

Reaktualisasi sejarah dan potensi lokal menyimpan kekayaan luar biasa. Tinggal digarap dengan serius, maka kesejahteraan yang beradab dan bermartabat bisa tercipta.

Semoga masyarakat dan pemerintah daerah yang baru dapat saling membahu, bergerak bersama. Sebagai perbandingan kecil, ada pengalaman dari satu kota mungil di Amerika Serikat.

Karena suhu dingin ekstrem, penduduknya meninggalkan kota, dan kota itu terpuruk. Lalu terpilihlah seorang walikota baru yang mengusung tagline: “To be a cooling city in America.” (Menjadi kota terdingin di Amerika).

Orang-orang penasaran dan datang untuk merasakan suasananya. Kota itu pun jadi ramai, dan ekonomi kembali tumbuh.

Semoga perbandingan ini menguatkan tekad.

Makassar, 06/04/2024