Weekend Story: Narasi dan Opera di Meja Makan

  • Whatsapp
Ilustrasi (Pelakita.ID)

PELAKITA.ID – Jam dinding di ruang makan berdetak pelan, seolah tahu bahwa tengah hari bukanlah waktu untuk terburu-buru.

Di luar, matahari bersinar seterang harapan ibu-ibu menjelang lebaran. Tapi di dalam rumah, di atas meja penuh kenangan, aroma udang bakar dan nasi hangat menyatu seperti kenanga yang tak pernah basi.

Hari ini kami makan siang bersama. Bukan makan siang biasa, ini semacam pertunjukan Broadway versi dapur rumahan. Tiketnya gratis, tapi tempat duduknya rebutan.

Tak ada pramusaji—hanya ibu dengan daster kebanggaannya dan senyum legendaris yang mengalahkan iklan pasta gigi.

Ia datang membawa piring besar berisi udang bakar, yang telah dioles sambal rahasia keluarga sejak zaman kakek masih rajin main domino.

“Eh, jangan dulu diambil! Tunggu foto dulu!” teriak sang anak—generasi Instagram, yang lebih takut makan tanpa konten daripada makan tanpa lauk.

Kamera ponselnya mengelilingi meja seperti detektif menyelidiki kejahatan rasa. Tapi kami yang lapar tak punya kesabaran sebanyak RAM ponselnya.

Maka begitu kata “oke” terdengar, tangan-tangan cekatan dan sendok garpu mulai berdenting seperti gamelan pengiring tari.

Di sudut meja, sayur bening bayam dengan jagung muda tampak sederhana. Tapi jangan remehkan dia. Ia adalah penyeimbang, penjaga moralitas hidangan—semacam pak ustaz di tengah kerumunan anak motor. Kuahnya bening seperti hati yang sedang bahagia.

Dan rasanya? Masya Allah, menghangatkan dada lebih dari ucapan apa pun.

Lalu datang ikan asin dolo-dolo—kecil, kurus, tapi jagoan rasa. Ia ibarat anak rantau yang pulang membawa cerita. Renyahnya seperti kritik dosen pembimbing: menyakitkan tapi membangun. Disandingkan dengan bajabu—olahan ikan berbumbu rahasia dan digoreng kering—hidangan ini membuat siapa pun yang sedang diet jadi murtad dalam lima detik.

Masih ada perkedel mairo. Tak perlu tampil cantik. Cukup bulat acak dengan aroma menggoda, semua pasti luluh. Kentangnya lembut, ikannya tajam rasa, ditambah bawang goreng—lengkaplah ia jadi jodoh yang sulit dilepas.

Namun puncak dari semuanya adalah sambal cobek: campuran cabai rawit, bawang merah, sedikit garam, dan setetes cinta dari tangan ibu.

Dihaluskan manual di atas cobek batu yang usianya mungkin lebih tua dari republik ini. Tambahkan irisan jeruk nipis dan cabai segar utuh—ini bukan sambal biasa. Ini sambal sakral: pembangkit selera, penyatu keluarga, pemersatu bangsa!

Nasi panas mengepul di tengah meja, putih dan polos seperti niat awal sebelum diet gagal. Ia menjadi landasan seluruh kelezatan ini. Setiap suapan bukan hanya mengisi perut, tapi juga memenuhi ruang-ruang kosong dalam hati.

Dalam sunyi makan siang itu, hanya terdengar sendok beradu dan sesekali desahan puas, “Aduh, enak betul ini udang…”

Tak ada yang berani bicara politik atau utang saat makan siang seperti ini. Satu-satunya perdebatan yang diizinkan hanyalah: “Sambalnya siapa yang ambil terakhir?” — biasanya dijawab, “Itu bukan saya, itu kucing!”

Kucing pun ikut bahagia. Duduk manis di bawah meja, menunggu remah ikan dolo-dolo jatuh seperti hujan keberkahan. Ia tahu, dalam rumah yang penuh makanan dan tawa, semua makhluk dapat rezekinya.

Setelah kenyang, kami bersandar. Ada yang mengelus perut, ada yang membuka kancing celana, ada pula yang langsung rebahan—seperti pahlawan yang baru selesai perang.

Ayah menghela napas pelan, “Beginilah seharusnya hidup,” katanya. “Makan siang, keluarga lengkap, sambal mantap. Nikmat mana lagi yang kamu dustakan?”

Inilah formasi itu (dok: Muliadi Saleh)

Kami pun tertawa. Tawa ringan seperti aroma bawang yang tertinggal di jemari. Tawa yang menyatukan, lebih kuat dari ikatan politik atau sinyal Wi-Fi. Tawa yang lahir dari kenyang dan kasih sayang—tawa yang membuat kita yakin: dunia boleh ribut, tapi di meja makan ini, damai selalu menang.

Lalu aku sadar, kadang surga tidak perlu ditunggu. Ia bisa hadir saat udang dibakar, nasi ditanak, dan keluarga berkumpul dengan sambal di tangan. Surga adalah makan siang di rumah—dengan menu seadanya, tapi cinta yang tak terbatas.

Maka bersyukurlah. Karena tak semua orang bisa mencicipi perkedel mairo buatan ibu sambil tertawa bersama keluarga. Dan kalau hari ini kamu bisa, maka kamu lebih kaya dari raja mana pun.

– Moel’S | 04.05.2025