Kemiskinan: Luka Lama Peradaban yang Tak Kunjung Pulih

  • Whatsapp
Ilustrasi Pelakita.ID

Anak-anak yang tak punya gawai tak bisa belajar; petani yang tak tahu aplikasi tak bisa menjual panen dengan harga layak. Mereka hidup di zaman modern, tapi tersingkir dari kemajuan.

PELAKITA.ID – Ada kesunyian yang tak terdefinisi dari lorong-lorong kota yang remang. Ada suara yang tertelan malam dari kampung-kampung yang ditinggalkan harapan.

Kemiskinan, sejak dulu, selalu menjadi bayang-bayang gelap dalam cahaya pembangunan. Ia hadir seperti kabut: tak selalu terlihat jelas, namun terasa menusuk di dada. Ia bukan sekadar kekurangan, melainkan keterasingan. Ia bukan hanya kelaparan, tetapi kehilangan hak untuk hidup layak sebagai manusia.

Angka-angka telah bicara, namun bahkan angka pun bisa menyimpan cerita yang berbeda. Bank Dunia, dengan cermin globalnya, melihat bahwa separuh rakyat Indonesia hidup dalam garis kemiskinan.

Sementara Badan Pusat Statistik (BPS), dalam bingkai nasionalnya, mencatat bahwa hanya sekitar 9,36 persen atau 25,9 juta jiwa tergolong miskin. Dua kebenaran dalam dua lensa yang tak sama. Dua kisah tentang rakyat yang sama-sama rapuh, namun dihitung dengan timbangan yang berlainan.

Bank Dunia menetapkan garis kemiskinan pada standar internasional: USD 2,15 per hari (PPP). Sebaliknya, BPS meracik pendekatannya dari kebutuhan pokok harian dan konversi harga lokal.

Maka jangan heran jika seseorang dinyatakan tidak miskin oleh BPS, tetapi tetap tergolong miskin dalam pandangan dunia. Dan sejatinya, mereka tetap lapar, tetap hidup tanpa jaminan, tetap gelisah setiap malam menunggu esok tanpa kepastian.

Namun sesungguhnya, kemiskinan bukan sekadar perkara berapa rupiah dalam genggaman. Ia menyelinap dalam sistem yang timpang, dalam budaya yang pasrah, dalam alam yang murka, dan kini dalam dunia digital yang tak semua bisa akses. Inilah kemiskinan yang berlapis: struktural, kultural, natural, dan digital.

Kemiskinan struktural dibangun dari ketimpangan yang dilembagakan. Ketika pendidikan bermutu hanya milik kota, ketika lapangan kerja hanya menyambut mereka yang punya koneksi, ketika tanah hanya berpindah dari satu konglomerat ke konglomerat lain, maka rakyat kecil hanya bisa menonton dari luar pagar.

Mereka terlempar dari putaran ekonomi, terpinggirkan dari percakapan pembangunan.

Franz Magnis-Suseno menulis, “Kemiskinan bukan karena malas, tetapi karena struktur sosial yang melumpuhkan.” Inilah fakta yang tak bisa dibantah: bahwa sistem, terkadang, melahirkan kemiskinan dan mengabadikannya dalam diam.

Lalu lahirlah kemiskinan kultural—warisan pikiran yang membuat manusia menyerah sebelum berjuang. Ada yang menganggap miskin adalah takdir, bukan tantangan. Maka semangat redup, asa mati, dan program-program pemberdayaan pun hanya sebatas formalitas.

Kemudian datang kemiskinan natural, yang mekar di negeri kita yang sering menangis karena bencana. Gempa, banjir, kekeringan, longsor—semua merenggut harta dan harapan.

Di pedalaman yang jauh dari pusat, mereka hidup tanpa listrik, tanpa internet, tanpa suara yang bisa didengar negara.

Dan hari ini, zaman telah berubah. Dunia tak lagi sekadar berbicara soal pabrik dan tanah, tapi juga data dan jaringan. Siapa yang tak mampu mengakses digital, tertinggal. Inilah kemiskinan era baru—miskin digital.

Anak-anak yang tak punya gawai tak bisa belajar; petani yang tak tahu aplikasi tak bisa menjual panen dengan harga layak. Mereka hidup di zaman modern, tapi tersingkir dari kemajuan.

Namun haruskah kita diam? Tidak. Karena setiap bentuk kemiskinan punya celah solusi.

Untuk kemiskinan struktural, negara harus hadir seutuhnya—dengan reformasi agraria, pemerataan pendidikan, jaminan sosial universal, hingga pajak progresif yang adil.

Untuk kemiskinan kultural, dibutuhkan gerakan perubahan cara berpikir—pendidikan karakter, motivasi kolektif, dakwah yang membangkitkan semangat juang.

Untuk kemiskinan natural, dibutuhkan mitigasi bencana dan pembangunan yang berpihak pada mereka yang rentan. Dan untuk kemiskinan digital, jawabannya adalah infrastruktur, literasi teknologi, dan akses digital untuk semua.

Dalam pandangan Islam, kemiskinan bukan sesuatu yang dimuliakan. Ia adalah keadaan yang harus dilawan dan diberdayakan. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Hampir saja kemiskinan membawa seseorang kepada kekufuran.” (HR. Abu Nu’aim). Ini adalah peringatan sekaligus seruan.

Al-Qur’an menegaskan bahwa fakir dan miskin adalah dua dari delapan golongan yang wajib disantuni lewat zakat (QS. At-Taubah: 60). Ini adalah sistem ekonomi spiritual yang bertujuan menyembuhkan luka sosial.

Ibnu Khaldun, dalam Muqaddimah-nya, menulis bahwa negara wajib menjamin kebutuhan dasar rakyatnya. Jika perut rakyat kosong, kata dia, maka akal pun tak bisa bekerja, dan iman bisa tergelincir. Zakat, sedekah, dan infak bukanlah belas kasihan semata, melainkan pilar keadilan yang mengalir dari ajaran tauhid.

Kini kita dihadapkan pada pilihan sejarah: membiarkan kemiskinan menjadi cerita abadi, atau menjadikannya babak terakhir dari masa lalu yang ingin kita tinggalkan.

Dunia yang adil bukanlah mitos. Ia adalah kerja keras yang dilakukan oleh tangan-tangan yang tak ingin melihat anak-anak tertidur dalam kelaparan.

Dan dalam keyakinan kita, pada setiap harta yang kita miliki, ada hak orang lain. Allah berfirman, “Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.” (QS. Adz-Dzariyat: 19). Maka mari membangun dunia yang tak hanya kaya dalam angka, tapi adil dalam rasa.

Wallahu A’lamu Bisshawab.
—Moel’S @04052025